Komoditas beras sebagai instrumen diplomasi adalah hal yang baik dan dapat membuka celah peningkatan hubungan antarnegara
Jakarta (ANTARA) - Salah satu hal yang layak diperhatikan dalam perdagangan komoditas beras antarnegara adalah hanya sekitar lima persen dari produksi padi global yang diperdagangkan di pasar internasional.

Hal itu dapat ditemukan dalam salah satu kajian dari Bank Dunia, yang fenomena itu juga menunjukkan bahwa perubahan sedikit saja seperti dalam pasokan dan permintaan, sangat sensitif terhadap perubahan harga komoditas tersebut.

Terkait dengan perdagangan beras di tingkat internasional, lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menginginkan ekspor beras dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk diplomasi, seperti ke sejumlah negara yang mengalami bencana atau berpotensi menjadi pasar beras Indonesia pada masa depan.

Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman dalam keterangan tertulis menyatakan, komoditas beras sebagai instrumen diplomasi adalah hal yang baik dan dapat membuka celah peningkatan hubungan antarnegara.

"Harapannya, beras dapat dijadikan instrumen diplomasi Indonesia kepada negara lain. Praktik ini tentunya seringkali dilakukan Indonesia dan patut dipertahankan," katanya.

Selain itu, ujar dia, perlahan dapat menjadi salah satu strategi untuk memperkenalkan beras Indonesia ke negara lain, seiring dengan adanya revisi regulasi dan juga penyesuaian standar kualitas beras yang sesuai dengan permintaan dunia.

Ia mengingatkan bahwa wacana ekspor beras yang digaungkan oleh pimpinan Bulog Budi Waseso pada Januari lalu semakin menguat karena mempertimbangkan masa panen yang akan segera berakhir. Apabila serapan beras mencapai target, maka dapat diperkirakan ada surplus sebanyak 300.000 ton beras yang berpotensi untuk diekspor.

Namun, Ilman mengingatkan bahwa potensi ekspor ini bukannya tidak memiliki tantangan, yaitu wacana ekspor beras medium berlebih berisiko bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2018 dan juga tantangan teknis seperti penyesuaian kualitas dengan permintaan di pasar internasional.

Saat ini, lanjutnya, ekspor untuk beras medium masih belum diizinkan, hanya beras premium/khusus yang boleh diekspor.

"Ketentuan ini sudah diatur di Permendag Nomor 1 Tahun 2018. Selain itu, kalau mengacu kepada acuan komoditas beras internasional yang dipakai oleh Bank Dunia, jenis-jenis beras yang ada memiliki derajat pecahan beras tertentu yang dijadikan standar dunia. Sehingga apabila Indonesia ingin mengekspor berasnya, harus melakukan penyesuaian terhadap kualitas tersebut atau setidaknya mencari pasar yang mau menyerap jenis beras dengan kualitas yang saat ini mampu diproduksi petani Indonesia. Kedua opsi tersebut tentunya tidak bisa memakan waktu singkat," jelas Ilman.

Ia menambahkan, dengan mempertimbangkan kedua faktor tadi, wacana untuk mengekspor surplus beras sebanyak 300.000 ton itu cukup berat untuk dilaksanakan.

Namun tentunya, menurut dia, ambisi untuk mengekspor sepatutnya ditanggapi positif, karena memang hal tersebut dapat membantu meningkatkan cadangan devisa Indonesia.

Harga pokok penjualan
Ilman juga menyoroti permasalahan rendahnya harga pokok penjualan (HPP) beras yang dinilai menjadi salah satu penyebab terhambatnya realisasi penyerapan beras yang dilakukan oleh Bulog.

Ia berpendapat bahwa jika memang Bulog mau memiliki tingkat penyerapan yang lebih tinggi, maka sebaiknya lembaga itu juga diberikan akses untuk menyediakan standar harga HPP Gabah Kering Panen yang lebih bersaing.

Apalagi, ungkap dia, realisasi penyerapan beras oleh Bulog hingga April 2019 baru mencapai sekitar 17 persen dari target serapan yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1,8 juta ton pada 2019.

Untuk itu, pemerintah dinilai sebaiknya meninjau ulang keberadaan HPP, apalagi dasar hukum implementasi HPP itu diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 yang artinya sudah berjalan sekitar empat tahun.

Saat ini, HPP GKP (Gabah Kering Panen) berada di kisaran angka Rp3.700,00 per kilogram, dengan fleksibilitas harga sebesar 10 persen. Dengan demikian maka berarti Bulog bisa menawarkan harga pembelian sekitar Rp4.050,00 per kilogram.

Angka ini sedikit berada di bawah hasil survey IRRI (International Rice Research Institute) yang menyatakan biaya produksi padi mencapai Rp4.082/kilogram pada 2014.

"Angka yang ada saat ini masih sedikit di bawah hasil survei lembaga internasional tersebut, dan survey tersebut menunjukkan hasil untuk 2014. Lalu, di 2019 ini tentunya banyak sekali faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perubahan harga seperti inflasi, biaya transportasi, dan perubahan margin keuntungan petani yang meningkat dari tahun ke tahun," papar Ilman.

Dalam merespon situasi ini, lanjutnya, sebaiknya pemerintah meninjau ulang relevansi HPP. Jika dirasa memang HPP masih dibutuhkan, sebaiknya besaran HPP diperbaharui dengan kondisi pasar yang ada saat ini.

Namun, dalam jangka panjang, polemik lemahnya penyerapan beras Bulog ini berpotensi akan kembali berulang pada masa mendatang sehingga perlu ada semacam upaya pemutakhiran berkala.

Selain itu, cara-cara lainnya untuk memastikan harga beras terjangkau bagi konsumen serta tetap menyejahterakan petani adalah intervensi pada segi produksi dan distribusi melalui program-program pemerintah yang juga diintegrasikan dengan penerapan teknologi.


Harga eceran tertinggi
Di hilir, Kementerian Perdagangan juga telah meminta pelaku usaha bekerja sama menjalankan kebijakan mengenai harga eceran tertinggi atau HET beras untuk pasar rakyat, toko modern, dan tempat penjualan eceran lain.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan di Bandarlampung, Jumat (3/5/2019) menyatakan bahwa hal itu sesuai Permendag Nomor 57/M-DAG/PER/8/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras.

Menurut Kasan, Permendag itu sudah jelas sehingga para pelaku usaha dapat melakukan kegiatan sesuai dengan peraturan yang ada.

"Jika para pelaku usaha kedapatan melakukan penimbunan atau hal-hal yang melanggar regulasi, tentu nanti kami akan bersinergi dengan pemda atau instansi setempat untuk melakukan teguran bahkan hingga pencabutan izin usaha," tegas Kasan.

Kemendag juga menyarankan kepada ritel modern untuk memasang spanduk/standing banner yang memuat informasi ketersediaan beras, minyak goreng kemasan sederhana, gula, dan daging beku sesuai HET.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menginginkan adanya keseimbangan antara jumlah produksi dengan tingkat penjualan gabah petani mengingat di beberapa lokasi, kapasitas gudang Bulog sudah dinilai penuh namun terkendala pendistribusian.

Menurut Daniel Johan, di beberapa tempat, kapasitas gudang Bulog dinilai sudah penuh, namun di sisi lain lembaga tersebut sudah tidak lagi melakukan distribusi beras sejahtera.

Sebelumnya, Lembaga Pangan Malaysia (Padiberas Nasional/Bernas) tertarik menggalang perdagangan beras dengan perum Bulog sebagai upaya untuk menjamin dan memasok ketersediaan pangan yang berkualitas di negara tersebut.

"Bernas Malaysia sudah sejak lama mengetahui kualitas beras Bulog yang baik sehingga perlu dilakukan kerja sama lebih serius yang bisa memberikan banyak manfaat dan saling menguntungkan bagi kedua negara," kata Kepala Departemen Industri Penelitian dan Analisa Bernas Malaysia Salman Muhammad, dalam siaran pers.

Salman Muhammad telah berkunjung ke Parepare, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu, yang merupakan tindak lanjut dari kunjungan delegasi Perum Bulog yang dipimpin Direktur Komersial Bulog beberapa waktu lalu sebagai upaya untuk membuka akses pasar berskala internasional.


Impor
Bagaimana halnya dengan persoalan impor? Board Member CIPS Arianto Patunru mengusulkan agar harga beras dijadikan sebagai indikator perlu atau tidaknya melakukan impor komoditas yang merupakan makanan pokok masyarakat itu.

"Kita lihat saja yang paling sederhana dari harga. Bila harga tinggi, berarti ketersediaan langka, maka lakukan impor," kata Arianto Patunru.

Menurut dia, bila harga tinggi, maka ketersediaan beras di pasaran berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, sehinga impor juga bisa dijadikan sebagai pilihan untuk mengisi kekurangan pasokan dan menstabilkan harga.

Namun, lanjutnya, kalau pergerakan harga dianggap tidak cukup membuktikan adanya kelangkaan pasokan beras.

Ia juga menyarankan pemerintah untuk menggunakan teknologi untuk memantau hasil produksi beras, karena penggunaan teknologi dinilai bisa mencegah terjadinya konflik antar instansi pemerintah yang seringkali memiliki data komoditas pangan yang berbeda satu sama lain.

Arianto menyebutkan bahwa perbedaan data antara satu instansi dengan instansi lain seharusnya tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Sebelumnya, Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Budi Waseso mengatakan tidak akan lagi ada impor beras di sisa tahun sepanjang 2019, dan pihaknya sedang berupaya untuk meningkatkan ekspor beras.

Budi, dalam perayaan ulang tahun ke-52 Perum Bulog, di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (27/4) malam, menjanjikan stok dan persediaan beras di dalam negeri akan mencukupi hingga akhir tahun.

Kepala Bulog mengatakan dirinya dan jajaran Bulog sedang membuktikan bahwa Indonesia akan surplus beras, dan bisa menjadikan beras sebagai komoditas ekspor unggulan.

Dengan adanya kebijakan domestik yang tepat terkait dengan beras, maka ke depannya kondisi komoditas tersebut di Republik Indonesia juga akan lebih tahan terhadap fluktuasi di pasar perdagangan mancanegara.

Baca juga: Bulog katakan tidak akan ada lagi impor beras tahun ini
Baca juga: CIPS usulkan tingkat harga sebagai indikator impor beras

Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019