Jakarta (ANTARA) - Pihak Mabes Polri menjelaskan prosedur penggunaan peluru tajam saat menghadapi kerusuhan aksi massa yang membahayakan masyarakat maupun aparat keamanan.

Hal itu terkait polemik penemuan peluru tajam pada salah satu mobil Brimob saat aksi 22 Mei 2019 di Slipi, Jakarta Barat.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Jakarta, Kamis, menjelaskan mobil itu milik Komandan Kompi (Danki) Brimob.

Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP), Danki Brimob boleh membawa peluru tajam untuk kepentingan peleton antianarkisme dan harus melalui kontrol yang ketat dari komandan batalyon.

"Komandan kompi Brimob nanti membagikannya harus seizin kepada komandan batalyon, baru bisa diserahkan kepada pleton anti anarkis. Pleton anti anarkis ini pun sangat selektif yang boleh menggunakan peluru tajam," ujar Dedi Prasetyo.

"Tahapan-tahapannya adalah peluru hampa kemudian peluru karet, peluru tajam sesuai SOP penanganan rusuh anarkis. Itu ada SOP dan peraturan Kapolri," kata Dedi Prasetyo.

Dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, menurut dia, ada enam tahapan dalam menangani para pengunjuk rasa yang bertindak anarkis.

Tahap pertama, kekuatan yang memiliki dampak deteren berupa kehadiran aparat Polri maupun kendaraan anti-huru-hara di lokasi unjuk rasa. Tahap kedua melalui perintah lisan.

Ketiga, kendali tangan kosong lunak berupa gerakan membimbing atau kuncian tangan yang tidak menimbulkan cedera fisik. Tahap keempat adalah kendali tangan kosong keras yang menimbulkan cedera, seperti bantingan atau tendangan yang melumpuhkan.

Kemudian tahapan kelima melalui kendali senjata tumpul yang disesuaikan dengan perlawanan tersangka lantaran berpotensi menyebabkan luka ringan. Dalam tahapan ini, aparat kepolisian menggunakan gas air mata dan tongkat untuk menghalau massa.

Adapun tahap keenam adalah kendali dengan menggunakan senjata api. Tindakan terakhir ini dilakukan dengan pertimbangan matang bahwa perusuh telah membahayakan masyarakat dan petugas.

"Tembakan salvo dengan menggunakan peluru hampa, kemudian tembakan dengan menggunakan peluru karet, tembakan pantul 15 derajat, tembakan dengan peluru tajam juga menggunakan tembakan pantul dulu 45 derajat," ujarnya.

Dia menuturkan apabila tindakan lunak tidak efektif, maka penggunaan senjata api menjadi opsi terakhir untuk melindungi korban, petugas dan masyarakat yang terancam akibat aksi brutal perusuh.

"Tahapan-tahapan tersebut merupakan SOP yang secara ketat dikontrol. Dan peleton antianarkis itu yang mengendalikan hanya Kapolda," kata Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo.

Lebih lanjut dia menjelaskan saat perusuh telah melakukan tindakan yang sistematis membahayakan dan bersifat destruktif, seperti pengrusakan, penghancuran hingga pembakaran objek secara masif yang dimiliki masyarakat dan fasilitas publik, maka penggunaan peluru tajam diperbolehkan guna melumpuhkan perusuh anarkis tersebut.

"Itu Kapolda langsung yang memerintahkan. Seperti itu tahapan-tahapannya," ucapnya.

Pewarta: Sugiharto Purnama dan Taufik Ridwan
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019