kelebihan bahan nanoserat ini yaitu mampu menangkap partikel-partikel halus yang berukuran nanometer
Bandarlampung (ANTARA) - Hasil penelitian dosen Program Studi Fisika Institut Teknologi Sumatera (Itera) Abdul Rajak MSi  tentang pemanfaatan limbah styrofoam sebagai bahan penyaring udara meraih penilaian tertinggi dalam  jurnal internasional Nanotechnology.

Informasi dari Humas Itera, di Bandarlampung, Jumat, Abdul Rajak bersama empat penulis lainnya yakni Dian Ahmad Hapidin, Ferry Iskandar, Muhammad Miftahul Munir dan Khairurrijal menulis paper berjudul "Controlled Morphology of Electrospun Nanofibers from Waste Expanded Polystyrene for Aerosol Filtration".

Paper tersebut disusun dari penelitian yang mengubah limbah styrofoam menjadi bahan serat halus berukuran nanometer yang dikenal dengan nanoserat (nanofiber) untuk penyaring udara.

Nanoserat itu dipintal menggunakan teknik electrospinning, sehingga membentuk sebuah lembaran. Nanoserat yang dihasilkan dapat diaplikasikan ke berbagai bidang seperti biomaterial, obat-obatan, sensor, energi, dan bahan penyaringan.

Menurut Abdul Razak, pilihan untuk memanfaatkan lembaran nanoserat styrofoam sebagai media penyaringan udara, karena permasalahan polusi udara dari berbagai sumber seperti kebakaran hutan, aktivitas industri, kendaraan bermotor di Indonesia semakin meningkat.

Apalagi kelebihan dari media penyaringan menggunakan bahan nanoserat ini yaitu mampu menangkap partikel-partikel halus yang berukuran nanometer yang terkandung di udara dibandingkan dengan media penyaringan udara konvensional.

Paper itu disusun Abdul Razak saat menempuh studi S3 di Institut Teknologi Bandung (ITB)  dan berawal dari kekhawatiran penulis tentang peningkatan penggunaan bahan material styrofoam atau dikenal dengan nama ilmiah expanded polystyrene (EPS).

Styrofoam umumnya digunakan sebagai pelindung peralatan elektronik, kemasan makanan dan untuk dekorasi atau kerajinan. Semua penggunaan bahan tersebut menghasilkan limbah yang mengkhawatirkan. Styrofoam merupakan klasifikasi plastik jenis yang keenam dari tujuh jenis yang ada dan sulit terurai secara alami oleh tanah.

Ia menceritakan, sebelum dipublikasikan, draf tulisan yang diajukan sejak 29 Maret 2019 ke Jurnal Nanotechnology itu diperiksa oleh 3 orang reviewer yang berasal dari institusi di Jepang dan Amerika. 

Abdul Rajak mengaku tidak menyangka bahwa tulisannya  diterima di jurnal yang cukup berkelas seperti Nanotechnology. Apalagi sampai bisa menempati klusterisasi tertinggi, yakni Q1.

Sebab dalam publikasi ilmiah, scopus yang merupakan suatu lembaga pengindeks dan database jurnal membagi jurnal-jurnal tersebut dalam empat klusterisasi berdasarkan kualitasnya, yaitu Q1, Q2, Q3 dan Q4. Dimana Q1 adalah kluster paling tinggi atau paling utama dari sisi kualitas jurnal diikuti dengan Q2, Q3 dan Q4.

Menurut Abdul Rajak, untuk bisa meraih peringkat Q1 sebuah publikasi ilmiah dari penerbit IOP Science itu harus memenuhi beberapa kriteria, seperti adanya aspek kebaruan dalam penelitian, penggunaan bahasa, hingga visual pendukung penelitian yang berkualitas.

 
Baca juga: Aplikasi Tekno Plasma Nano Bubble diterapkan di Tukad Badung Denpasar
Baca juga: Nano Ceramic buat tampilan mobil Anda seperti baru

 

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019