Materi di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sudah jauh tertinggal, tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, memang pemerintahan sebelumnya sudah berupaya untuk melakukan perubahan namun tidak pernah terealisasi.
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jendral Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia, Totok Lusida menginginkan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria segera disahkan untuk memberikan kepastian hukum bagi anggotanya.

"Saya berharap materi terkait penanganan sengketa lahan dan kepemilikan hunian bagi warga negara asing sudah terakomodir dalam RUU PA baru itu," kata Totok kepada wartawan di Jakarta, Jumat.

Totok menilai bahwa materi di dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sudah jauh tertinggal, tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, memang pemerintahan sebelumnya sudah berupaya untuk melakukan perubahan namun tidak pernah terealisasi.

"Tidak pernah berhasil disahkan karena masa tugas anggota DPR-RI keburu berakhir. Sekarang ini mumpung masa tugas akan berakhir pada  30 September 2019, diharapkan RUU PA itu dapat segera disahkan," ujar Totok.

Totok mengatakan, pada prinsipnya REI mendukung materi yang tertuang dalam RUU Pokok Agraria baru tersebut sesuai dengan surat yang sudah disampaikan kepada DPR-RI dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang meminta agar segera diundangkan.

Totok mengaku ada hal-hal yang belum sepakat dengan beberapa anggota DPR-RI terkait RUU Pokok Agraria tersebut diantaranya mengenai topik kepemilikan hunian bagi orang asing.

"Beberapa anggota ada yang pasang kuda-kuda duluan begitu kita bicara soal kepemilikan hunian bagi orang asing. Untuk itu kami kami terus-menerus memberikan masukan," jelas dia.

Baca juga: Menanti solusi terbentuknya Kemenko Agraria

REI menurut Totok mengusulkan batasan waktu 50 tahun untuk perpanjangan, sedangkan dalam undang-undang sebelumnya 30 tahun, untuk kemudian dapat diperpanjang 20 tahun, kemudian 30 tahun lagi.

Kemudian juga soal kepastian hukum apabila terjadi sengketa lahan yang memakan waktu bertahun-tahun, diharapkan melalui undang-undang baru tersebut sudah ada solusi.

"Usulan kami sengketa pertanahan harus ada batas waktu untuk menjadi gugatan perdata," ujar dia.

Kalau sekarang ini sudah ada putusan PK (Peninjauan Kembali), namun di kasus yang sama bisa ada PK lagi. Ini yang membuat penanganan hukum sengketa pertanahan lamanya minta ampun," ujar Totok.

Padahal, jelas Totok, masalah tanah ini menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga semua orang membutuhkan kepastian hukum apalagi saat ini ada kepemilikan pulau, reklamasi, konsesi laut, dan banyak hal yang luput dari perhatian undang-undang pertanahan yang lama.

"Terutama soal sengketa tanah ini terkadang penyelesaiannya seolah-olah tidak ada ujungnya. Padahal pernah anggota kami sudah membayar tanah tersebut namun ada ahli waris yang merasa tidak pernah dibayar serta melakukan gugatan ke pengadilan, sehingga tanah itu akhirnya tidak bisa dibangun," ujar Totok yang didampingi Wakil Ketua REI bidang pengembangan kawasan Hari Ganie.

Totok mengatakan kalau sudah di ranah perdata akan lebih memberikan kepastian hukum bagi pengembang karena harga tanah sudah dapat dihitung serta penerima sudah mengetahui haknya masing-masing seperti diterapkan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur saat ini.
Baca juga: Bappenas sebut REI siap bangun ibu kota baru

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019