Budi juga berstatus terpidana kasus korupsi pembangunan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong tahap III di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Kementerian Perhubungan sehingga harus dihukum selama 5 tahun penjar
Jakarta (ANTARA) - Mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) Budi Rachmat Kurniawan dituntut 7 tahun penjara dan uang pengganti Rp1,045 miliar karena dinilai terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) kabupaten Agam, Sumatera Barat dan IPDN Rokan Hilir, Riau.

"Menyatakan, terdakwa Budi Rachmat Kurniawan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 7 tahun ditambah denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum KPK Wawan Yunarwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Baca juga: Mantan GM PT Hutama Karya didakwa rugikan negara Rp56,913 miliar

Tuntutan itu berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Budi juga dituntut membayar uang pengganti sebanyak suap yang ia terima.

"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp1,045 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dan dalam hal terdakwa tidak mempunya harta benda yang mencukupi maka dipidana penjara selama 2,5 tahun" ungkap jaksa Wawan.

JPU KPK juga mengabulkan permintaan status pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) kepada Budi.

Baca juga: KPK perpanjang penahanan GM Hutama Karya, Bambang Mustaqim

"Terkait permohonan terdakwa untuk menjadi 'justice collaborator', terdakwa bukanlah pelaku utama, mengakui dan menyesali perbuatannya, saat memberikan keterangan baik disampaikan penyidikan konsisten saat di persidangan dan membantu menemukan kebenaran materiil sehingga permohonan 'justice collaborator' terdakwa dapat dikabulkan," tambah jaksa Wawan.

Dalam perkara ini, Budi Rachmat Kurniawan selaku General Manager DIvisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) tahun 2009-2012 bersama-sama dengan Dudi Jocom selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Bambang Mustaqim selaku Senior Manager Pemasaran Regional I PT HK dinilai telah merugikan keuangan negara seluruhnya sejumlah Rp56,913 miliar.

Rinciannya, kerugian negara dari pembangunan gedung kampus IPDN Riau adalah sebesar Rp22,109 miliar dan dari pembangunan gedung kampus IPDN Sumbar adalah Rp34,804 miliar.

Kemendagri pada 2019 memasukkan rencana pembangunan 7 kampus IPDN dengan rencana pada 2010-2012 pembangunan kampus IPDN Gowa Sulawesi Selatan, Rokan Hilir, Riau, Bukit Tinggi Sumbar dan Minahasa Sulawesi Utara karena memang tanah sudah tersedia. Tahap selanjutnya adalah IPDN Mataram MTB, IPDN Papua dan IPDN Pontianak, Kalimantan Barat.

Proyek pembangunan IPDN Agam Sumatera Barat adalah senilai Rp127,893 miliar sedangkan IPDN Riau senilai anggaran Rp99,957 miliar.

Pada 2010 di Bakoel Koffie Menteng, dilakukan pertemuan antara Dudy Jocom, Mulyaman, Irman Indrayadi dan Arry Aryadi (PT HK), Ari Priyo Widagdo (PT Adhi Karya) dan Slamet Sunaryo (PT Waskita Karya) membicarakan pembagian 4 gedung kampus IPDN yang disepakati untuk PT HK mendapat pekerjaan IPDN Bukittinggi dan Rokan Hilir sedangkan IPDN Minahasa Selatan dan Goya diserahkan kepada PT Adhi Karya atau PT Waskita Karya,.

Pada awal 2011, Senior Manager Pemasaran PT HK Bambang Mustaqim bertemu dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Dudy Jocom pada pusat AKPA Sekjen Kemendagri 2011. Dudy Jocom meminta "commitment fee" sebesar 7 persen dari nilai kontrak yang diserahkan kepada pihak Kemendagri.

Budi Rachmat lalu menyetujui nilai penawaran yang sudah memperhitungkan "commitment fee" tersebut yaitu Rp125,686 miliar untuk IPDN Bukittinggi TA 2011 dan Rp91,62 miliar.

Budi Rachmat Kurniawan menurut jaksa juga melakukan pengaturan proses pelelangan untuk memenangkan PT HK memasukkan 'arranger fee' dalam komponen Nggaran Biaya lelang (ABL) untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait pelelangan dan untuk kepentingan pribadinya, menandatangani kontrak meski mengetahui terdapat rekayasa dalam pelelangan, melakukan subkontrak pekerjaan utama tanpa persetujuan PPK, membuat pekerjaan fiktif untuk menutup biaya 'arranger fee', menerima pembayaran seluruhnya atas pelaksanaan pekerjaan meski pelaksaan pekerjaan belum selesai 100 persen.

Atas perbuatannya, Budi, Dudy Jocom dan Bambang Mustaqim telah memperkaya Budi Rachmat sebesar Rp1,045 miliar serta memperkaya orang lain yaitu Dudy Jocom (Rp5,35 miliar), Bambang Mustaqim (Rp500 juta), Hendra (Rp4 miliar), Sri Kandiyati (Rp300 juta), Mohammad Rizal (RP510 juta), Chaerul (Rp30 juta).

Perbuatan Budi juga memperkaya korporasi yaitu PT HK RP40,856 miliar, CV Prima Karya sebesar Rp3,343 miliar, CV Restu Kreasi Mandiri sebesar Rp265,711 juta dan PT Yulian Berkah Abadi sebesar Rp70,403 juta dari pembangunan gedung IPDN Rokan Hilir dan Buktitinggi atau seluruhnya merugikan keuangan negara hingga Rp56,913 miliar

Budi juga berstatus terpidana kasus korupsi pembangunan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong tahap III di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Kementerian Perhubungan sehingga harus dihukum selama 5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan dan pidana uang pengganti Rp567,5 juta

Sedangkan Dudy Jocom selaku mantan Kepala Pusat Administrasi Keuangan dan Pengelolaan Aset (AKPA) Sekjen Kemendagri juga sudah divonis 4 tahun penjara ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp4,2 miliar karena melakukan korupsi pengadaan pembangunan Gedung Kampus IPDN Bukittinggi TA 2011 pada 14 November 2018 lalu.

Baca juga: Dirjen Perhubungan Laut divonis lima tahun penjara
 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019