Jakarta (ANTARA) - Kalimantan, bagian dari pulau besar bernama Borneo yang juga merupakan jantung peradaban Suku Dayak, punya banyak catatan tentang interaksi dengan berbagai ras dan suku bangsa sejak berabad-abad lalu.

Wilayah itu setidaknya memiliki enam suku besar, yakni Klemantan, Iban, Apokayan, Murut, Ot Danum-Ngaju, dan Punan. Selain itu Kalimantan punya 405 subsuku kecil.

Dalam hal bahasa, warga wilayah tersebut meliputi lima kelompok, yaitu Barito Raya, Dayak Barat, Borneo Utara, Sulawesi Selatan dan Melayik.

Masyarakat Suku Dayak memiliki agama asli yang dikenal dengan Kaharingan. Namun sejak abad pertama Masehi agama Hindu sudah mulai masuk ke Kalimantan. Candi Agung di Amuntai, Kalimantan Selatan serta temuan-temuan prasasti abad ke-4 Masehi dari masa kerajaan Hindu-Buddha, termasuk dari Kerajaan Kutai, menunjukkan munculnya hukum agama lain di pulau tersebut.

Sementara itu, penemuan Batu Nisan Sandai yang menunjukkan penyebaran agama Islam pada abad ke-7 Masehi menandai kemunculan masyarakat multietnis di Kalimantan. Namun demikian, Suku Dayak penganut Kaharingan tetap ada dan menjalankan hukum agama mereka.

Dalam perjalanan selanjutnya, warga dari daerah lain, dengan suku, agama, dan latar belakang sosial yang lain masuk dan keluar dari Kalimantan. Wilayah itu juga menyaksikan beberapa konflik sosial, termasuk konflik antar-etnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, dan Sambas, Kalimantan Barat.

Aspek-aspek sosial-budaya yang demikian juga mesti menjadi bagian dari perhatian, pemikiran, dan perhitungan dalam merencanakan pemindahan ibu kota negara dari wilayah DKI Jakarta ke Kalimantan.

Penentu kebijakan juga perlu memahami apa yang telah dan mungkin terjadi dalam memilih lokasi baru untuk memindahkan ibu kota negara.


Pelajaran dari konflik horizontal

Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Herry Yogaswara mengingatkan perlunya mengambil pelajaran dari konflik antar-etnis yang pernah terjadi di Kalimantan.

Konflik Sampit tahun 1997 misalnya, hanya bermula dari persoalan individu, karena ada pegawai negeri sipil dari etnis Dayak di kabupaten itu yang tidak masuk dalam pelantikan pejabat eselon tiga. Namun konflik itu kemudian meluas dari level kampung ke desa hingga kecamatan, sampai akhirnya menjadi kerusuhan besar di Kalimantan Tengah.

Dalam teori kerusuhan, Herry mengatakan, ada yang disebut faktor penyebab dan persoalan individu dalam kasus Sampit merupakan faktor pemicunya.

Menurut dia, dalam peristiwa kerusuhan di Sampit juga ada kelompok-kelompok elite dari etnis Dayak dan Madura yang berperan dan memproduksi berbagai rumor yang menjadi pemantik meluasnya konflik sampai akhirnya memunculkan kekerasan horizontal.

"Mungkin Alhamdulillah-nya masa itu enggak ada WA (WhatsApp). Bayangkan kalau ada WA," ujar dia.

Pascakonflik yang menyebabkan 9.000 orang lebih mengungsi itu, menurut Herry, diambil kebijakan strategi natural, yakni dibiarkan begitu saja. Tidak ada rekonsiliasi di tingkat masyarakat, hanya di tingkat elite, berupa upacara-upacara yang tidak bermakna.

Akhirnya orang-orang dari etnis Madura kembali secara natural dengan jalur kekerabatan dan pertemanan. "Saya dua tahun lalu ke Sampit, saya rasa orang Madura sudah 80 persen kembali secara natural ke sana," ujar Herry.

Ia mengatakan kini Kalimantan Tengah telah berubah menjadi wilayah investasi yang penting, menjadi tempat investasi perkebunan kelapa sawit dan tambang. Perjalanan menuju berbagai wilayah kabupaten/kota di sana tidak lagi harus menembus hutan. Sekarang, yang ditemui di mayoritas pinggiran jalan wilayah itu adalah pohon-pohon kelapa sawit.
 
Marni menggendong batu-batu untuk dipecahkan menjadi bagian kecil-kecil sebagai alas pembuatan aspal jalan. Marni warga Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, khawatir akan SDM masyarakat lokal yang akan tertinggal dengan para pendatang jika tempat tinggalnya menjadi Ibu Kota baru, Selasa (30/7/2019). ANTARA/Afut Syafril/am.


Teori rumput kering

Herry membenarkan bahwa faktor seperti kesenjangan antar-etnis atau agama yang melebar, baik dalam hal kesejahteraan maupun cara hidup, bisa menimbulkan persoalan, dan itu tidak hanya berlaku di Kalimantan Tengah saja.

Ia lantas menjelaskan teori rumput kering, yang jika akarnya terbentuk dari aspek sosial, budaya, ekonomi yang diliputi masalah kemiskinan dan kecemburuan maka rumput kering itu akan mudah terbakar.

Lemahnya peran negara di tambah munculnya pemicu yang tidak terduga dan faktor pemantik membuat konflik sosial mudah sekali meledak. Sesuatu yang sifatnya keseharian bisa saja berkembang menjadi kerusuhan besar karena ada yang "memfasilitasi".

"Prinsip saya, kerusuhan besar itu by design (dirancang) dan ada kelompok di belakangnya. Karena kalau by nature (alami) akan selesai dengan sendirinya," ujar Herry.


Kepastian untuk Meredam

Herry mengatakan bahwa pemerintah perlu segera memberi kepastian mengenai lokasi ibu kota negara yang baru guna mencegah terjadinya konflik sosial dan penetapan lokasi itu tentunya dibuat berdasarkan kajian komprehensif yang mencakup perhitungan aspek sosial-budaya.

"Saya ikut diskusi di Bappenas sayangnya cuma satu kalimat terkait isu sosial-budaya. Kalimantan Tengah secara demografi homogen. Loh kenapa cuma itu saja?" kata Herry.

Selanjutnya, menurut dia, pemerintah harus memastikan hak-hak masyarakat lokal terpenuhi. Mekanisme Hutan Adat dalam program Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mesti dijalankan untuk memastikan pemenuhan hak masyarakat adat sebelum persoalan lahan sampai memicu konflik.

Herry mengatakan bahwa selain itu pemerintah perlu melakukan antisipasi, mempersempit ruang kelompok-kelompok yang sering mengatasnamakan agama dan kelompok etnis untuk mengklaim wilayah dan menganggap pendatang harus mengikuti mereka.

Terakhir, Herry mengatakan, pemerintah perlu memberi ruang lebih besar untuk kajian sosial-budaya dalam rencana pemindahan ibu kota dengan melibatkan intelektual lokal yang lebih memahami wilayah mereka.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan bahwa masyarakat adat, khususnya AMAN, belum pernah diajak bicara mengenai pemilihan lokasi ibu kota negara baru di Kalimantan. Menurut dia, pemerintah baru mengajak bicara kelompok-kelompok masyarakat yang kurang lebih mewakili elite.

Pemilik wilayah adat yang sesungguhnya, menurut Rukka, belum pernah diajak bicara. Padahal, menurut dia, mereka merupakan bagian dari aspek sosial yang mesti menjadi perhatian pemerintah.

"Kita tahu betul sejarah Kalimantan, ini seperti menanam api dalam sekam ketika persoalan sosialnya tidak dibereskan dengan baik. Saat ini apalagi di Kalimatan penuh dengan sosok-sosok yang kuat, antara pemerintah dan pengusaha tidak bisa dipisahkan," ujar Rukka.

Menurut pantauan AMAN, ketika Palangkaraya, salah satu daerah yang disebut sebagai calon ibu kota negara baru, lahannya sudah banyak dibeli. Masyarakat yang tidak memiliki pemahaman utuh akan dengan mudah menjual tanah dengan tawaran harga tinggi, tanpa memikirkan nilai asetnya dalam jangka panjang dan konsekuensi penjualan aset tersebut pada perekonomian mereka selanjutnya.

"Bukan tidak mau pemindahan ibu kota, tapi ketika itu tidak dilakukan secara baik maka hanya akan memindahkan persoalan. Seperti yang terjadi di Jakarta saat ini, bagaimana orang-orang Betawi sudah tersingkir dari tanahnya sendiri," kata Rukka.

Jika melihat peta indikatif wilayah adat milik AMAN, menurut Ruka, daerah Tanah Bumbu, Gunung Emas, maupun Palangkaraya merupakan wilayah adat.

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah benar-benar memeriksa dengan teliti di lahan siapa ibu kota negara yang baru akan dibangun supaya pemindahan ibu kota tidak justru menimbulkan konflik dan persoalan baru.

Baca juga:
Bappenas ambil pelajaran dari pemindahan ibu kota di negara lain
Harapan masyarakat adat Kalteng terhadap ibu kota baru

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019