Mekkah (ANTARA) - Tak ada yang salah jika Pemakaman Ma'la di Mekkah yang pada hari-hari biasanya sepi dan dan hanya riuh sesaat ketika puluhan merpati mampir bertandang, tetapi pada satu hari istimewa yang berpayung keteduhan tiba-tiba dipenuhi begitu banyak orang yang justru hampir seluruhnya datang dari luar Mekkah.

Orang Jawa menyebutnya mereka yang hadir ketika itu mendapatkan kehormatan untuk ngalap berkah Kiai Maimoen Zubair yang meninggal di Mekkah dan dimakamkan tak jauh dari pusara Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad. Sementara orang Arab menyebut mereka sedang melakukan tabarruk atau berharap mendapatkan kebaikan dari orang yang menerima ilmu warisan Nabi.

Bagi sebagian besar santri dan masyarakat di Tanah Air ngalap berkah atau tabaruk adalah hal yang lumrah, bahkan banyak yang meyakini tabarruk merupakan bagian dari anjuran Islam. Maka bisa mengurus, menyentuh, bahkan sekadar mendekat atau melihat pun menjadi sebuah kehormatan yang langka.

Tak terkecuali bagi Amirul Hajj Lukman Hakim Saifuddin yang memiliki sejarah panjang sebagai santri sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Sebagai seorang santri Lukman sepertinya paham betul untuk bertabarruk.

Ia memang tak bisa membendung air mata betapapun kuat pertahanannya ketika pertama sekali mendengar Kiai kharismatik asal Rembang yang akrab disapa Mbah Moen itu berpulang. Kawasan Syisyah, tempat dimana Kantor Urusan Haji (KUH) Indonesia Daerah Kerja (Daker) Mekkah, yang ia tinggali selama musim haji pagi itu berpayung mendung ketika pagi.

Laksana cuaca yang anomali, Kota Mekkah dihiasi gerimis pada Selasa, 6 Agustus 2019, sesaat ketika waktu subuh menjelang. Semua terkesiap dan bertanya-tanya, Mekkah yang telah memasuki musim panas pada Agustus 2019 tak pernah bersuhu di bawah 40 derajat celcius dalam setiap harinya.

Ketika mendung masih menggantung, Lukman bergegas keluar dari Kantor KUH di Syisyah, ia meminta jajarannya agar mengantarnya sesegera mungkin ke RS Al Noor yang berjarak tempuh sekitar 20 menit berkendara dari Syisyah. Lukman baru saja sekitar beberapa menit sebelumnya mendapat kabar meninggalnya sang guru KH Maimoen Zubair di RS Al Noor.

Matanya tampak merah dan basah, tapi ia terlihat tak ingin menampakkannya kepada siapapun, termasuk jajarannya. "Segera ya, agak cepat," katanya.

Sesampainya di RS Al Noor, beberapa orang yang kemungkinan merupakan santri-santrinya yang sedang dalam rangkaian ibadah haji sudah berkumpul tak jauh dari gedung tempat Mbah Moen disemayamkan sementara. Mbah Moen masih di kamar perawatan ketika Lukman bergegas masuk.

Sekitar beberapa menit di dalam dan berdialog dengan keluarga Mbah Moen, Lukman keluar dari gedung dan langsung dikerubuti santri dan wartawan. Ia terbata-bata memberikan keterangan dan menyatakan bahwa kepergian Mbah Moen adalah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.

Ia langsung memanggil dua jajarannya dan memerintahkan untuk segera mempersiapkan segala hal, termasuk membuka KUH Daerah Kerja Mekkah sebagai tempat disemayamkannya Mbah Moen sehingga jamaah dari Indonesia bisa memberikan penghormatan terakhir kepada sang kiai.

Lukman juga ingin agar keluarga Mbah Moen yang turut serta, termasuk sang istri Bu Nyai Heni Maryam, untuk difasilitasi selama prosesi acara penghormatan terakhir hingga pemakaman Mbah Moen. Bu Nyai yang menemani Mbah Moen sejak Mbah Moen dilarikan ke RS dari pondokan sekitar jam 03.00 waktu setempat diupayakan oleh Menag agar bisa terus berada di sisi Mbah Moen.

Sebagaimana Bu Nyai, Lukman tak ingin meninggalkan Mbah Moen barang sebentarpun. Ia tetap di sisi Mbah Moen sembari mengondisikan segala keperluan disiapkan untuk prosesi pemakaman Mbah Moen.


Dimakamkan di Ma'la

Bukan mudah bagi Lukman jika tak mendapatkan dukungan dari orang-orang dengan lobi diplomatik begitu baik di Kota Mekkah. Kota ini memiliki kultur birokrasi yang benar-benar berbeda dengan Tanah Air.

Ada begitu banyak hal yang sulit untuk ditembus tanpa alasan yang jelas dan pasti, misalnya ketika aturan menggariskan harus A maka A itu tidak bisa dinegosiasikan dengan cara apapun. Kedutaan Besar RI di Arab Saudi adalah berkah lain.

Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel juga adalah santri yang senantiasa rajin bertabarruk, bahkan pada malam sebelum meninggalnya Mbah Moen ia adalah tamu terakhir yang diterima sang kiai di pondokannya.

Dalam pidato penghormatan terakhirnya di KUH Daker Mekkah, Agus Maftuh, sempat mengisahkan dan bahkan dirinya yakin jika Mbah Moen sudah bisa meramalkan kematiannya. "Maftuh, kamu adalah tamu terakhir saya," kata Maftuh saat menirukan ucapan terakhir Mbah Moen ketika menerimanya pada malam sebelum kematiannya.

Bersama Lukman, Agus Maftuh menggunakan jaringan diplomatiknya untuk mewujudkan wasiat dan keinginan Mbah Moen untuk dimakamkan di Tanah Suci. Ia menerbitkan tiga surat sakti untuk Raja Salman yang ditembuskan kepada Gubernur Mekkah dan Amir Al Muqoddasah yang intinya memberitahukan bahwa ulama besar Indonesia telah berpulang di Tanah Suci dan memohon agar kiranya otoritas Saudi memberikan izin memakamkan di Ma'la.

Lukman dan Agus Maftuh juga diback up oleh kekuatan lobi warga negara Indonesia yang telah lama menetap di Mekkah sehingga memiliki jejaring yang amat kuat untuk bisa menembus birokrasi Kota Mekkah yang benar-benar berbeda.

Sampai kemudian izin pemakaman itu keluar dalam waktu yang amat singkat selaksa keajaiban yang memudahkan dan sayangnya banyak yang kemudian saling klaim telah berjasa dalam pengurusan perizinan tersebut.

Sebab Pemakaman Ma'la adalah kompleks peristirahatan yang dianggap sangat mulia dan hanya diperuntukkan bagi orang asli Mekkah. Maka bukan perkara sembarangan untuk mendapatkan izin memakamkan di Jannatul Ma'la.

Sembari pengurusan perizinan dan penyiapan teknis pemakaman, Mbah Moen diberangkatkan ke pemandian di Masjidil Muhajirin Khalidiyah. Di tempat itu hanya keluarga dan kerabat yang mendapatkan akses untuk bisa masuk dan memandikan jenazah, Lukman Hakim adalah satu-satunya orang yang bukan kerabat tetapi mendapatkan kesempatan untuk turut serta berada dalam ruang tempat Mbah Moen dimandikan, bahkan ikut serta memandikan jenazah.


Kesibukan KUH

Sementara di KUH Daker Mekkah yang senantiasa sibuk pada hari-hari biasa dan merupakan ruangan dengan banyak sekat untuk perkantoran disulap menjadi rumah duka untuk tempat disemayamkannya Mbah Moen. Karpet-karpet tebal yang biasanya digunakan untuk pertemuan seluruhnya digelar.

Seorang pejabat Eselon 2 di Kementerian Agama bahkan meminta agar tempat tidur di kamarnya saja yang digunakan sebagai tempat jenazah Mbah Moen dibaringkan. Hiruk pikuk terjadi dalam waktu yang sangat cepat hingga kemudian jenazah Mbah Moen sampai di KUH Daker Mekkah di Syisyah pada pagi sekitar pukul 08.27 waktu setempat, KUH sudah tersulap menjadi tempat kerumunan orang.

Jamaah dari berbagai pondokan di Mekkah mengarah secara swadaya ke Syisyah untuk mentakziahi Mbah Moen dan banyak dari mereka menyolatkan termasuk para kiai, ulama, dan tokoh masyarakat yang secara kebetulan sedang berada di Mekkah untuk menunaikan rangkaian ibadah hajinya.

Dalam acara penghormatan terakhir yang panjang itu, hadir Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua DPR Fachri Hamzah dan banyak tokoh lain.

Dan selama sekitar dua jam di KUH, jenazah Mbah Moen kemudian diberangkatkan ke Masjidil Haram untuk dishalatkan setelah waktu zuhur. Bersama dengan Mbah Moen ada 10 jenazah lain yang juga dishalatkan di Masjidil Haram.

Jamaah yang ingin ngalap berkah pun berlarian menuju Masjidil Haram untuk bisa turut serta menyalatkan Mbah Moen di tempat suci tersebut. Setelah selesai dishalatkan, jenazah Mbah Moen dibawa dengan menggunakan buggy car menuju ambulans untuk diberangkatkan ke Ma'la.


Penuhnya Ma'la

​​​​​​​Ma'la adalah kisah lain dan akhir tujuan dari banyak orang pada hari itu, termasuk bagi mereka yang ingin mencari panggung.

Ada banyak insiden terjadi di Ma'la yang pada siang itu dipenuhi oleh ribuan orang yang sebagian besar dari Indonesia. Bahkan, jamaah perempuan yang memang tidak diperkenankan untuk masuk ke Kompleks Pemakaman itu melihat dari pagar besi di luar, termasuk Bu Nyai istri Mbah Moen yang hanya bisa menyaksikan prosesi pemakaman dari kejauhan.

Insiden lain yang terjadi adalah kebingungan jamaah dan pelayat. Di tepi liang lahat tempat Mbah Moen akan dibaringkan, ada dua liang lain bagi jenazah yang meninggal pada hari yang sama ketika itu. Banyak jamaah yang sempat keliru dan mengira jenazah lain adalah Mbah Moen.

Di tempat itu pula ketika jenazah Mbah Moen sudah hadir para tokoh yang siap membacakan doa-doa untuk melepas kepergian Mbah Moen, termasuk di antaranya Habib Rizieq Shihab.

Baca juga: Suhu di Mekkah teduh saat hari berpulangnya Mbah Moen

Acara pemakaman yang mengharu biru dan penuh dengan desakan orang itu hampir tidak terkontrol lagi untuk bisa menghadirkan sebuah acara pemakaman dengan protokoler yang rapi. Semua bebas mendoakan, semua bisa memimpin doa untuk dipanjatkan kepada Allah bagi Mbah Moen.

Sebagai Amirul Hajj, Lukman Hakim pun memberikan sambutan di akhir, termasuk juga Duta Besar Agus Maftuh, yang mewakili Pemerintah Indonesia dan menyatakan bertanggung jawab penuh atas seluruh prosesi hingga pemakaman Mbah Moen di Mekkah.

Maka ketika kontroversi menyeruak tak lama setelah kepergian Mbah Moen, bukan semata cerita tentang ngalap berkah kiai yang muncul. Ketika semua berkata dirinya adalah yang memiliki kontribusi terbesar mewujudkan wasiat Mbah Moen di Tanah Suci, maka hanya Tuhan yang tahu segala perbuatan seseorang dari niatnya.

Sebagaimana Mbah Moen pernah menasihatkan di masa hidupnya bahwa berapa banyak amalan kecil, akan tetapi menjadi besar karena niat pelakunya. Dan berapa banyak amalan besar akan tetapi menjadi kecil karena niat pelakunya.
Baca juga: Jokowi unggah foto kenangan bersama KH Maimoen Zubair
Baca juga: Petugas haji berebut sentuh jenazah Mbah Moen

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019