Jayapura (ANTARA News) - Dewan Adat Papua (DAP) di Jayapura menilai proses pemilihan umum (Pemilu) 9 April 2014 lalu kacau.
Sekretaris DAP, Leonard Imbiri, kepada Antara di Jayapura, Minggu, mengatakan bercermin dari sejumlah kasus emilu di tanah air dan lebih khusus di Papua, menggambarkan proses pemilu kali ini kacau, penyelenggara dinilai tidak berorientasi kepada kepentingan negara.
Menurut dia, sejumlah kasus yang membuat pemilu kacau, di antaranya penggelumbungan suara luar biasa yang terjadi di Timika dan perubahan angka dalam kertas suara berhologram di Sarmi. Pengurangan ribuan suara di beberapa daerah pegunungan Papua seperti di Kabupaten Nduga.
Dia mengatakan, budaya atau pandangan politik yang dimiliki oleh para penyelenggara, peserta terutama calon legislatif dan partai politik dalam pemilu, tidak lagi berorientasi pada kepentingan negara dan kepentingan rakyat.
"Saya melihat bahwa orientasinya lebih banyak memihak pada kepentingan individu, partai dan kekuasaan. Apa yang terjadi saat ini dalam pemilu lalu adalah terburuk di Indonesia, itu saya sebut sebagai salah satu malapetaka politik," katanya.
Menurut dia, khusus di Papua, kekacauan pemilu itu akan menambahkan sejumlah masalah yang telah lama ada dan mengakar. Di antaranya, persoalan politik ada persoalan pelanggaran hak asasi manusia, persoalan ketidak adilan, dan persoalan pembangunan atau yang oleh Dewan Adat disebut persoalan hak-hak dasar.
Dia mengatakan, masalah ini perlu diatasi, karena penyelenggara pemilu kali ini menunjukan secara jelas bahwa calon penyelenggara negara nanti. "Jadi, mereka yang terpilih akan duduk sebagai anggota legislatif dan mereka juga akan turut menentukan kebijakan pembangunan," ujarnya.
Ia menambahkan, dengan orientasi pemilu yang mengutamakan kepentingan individu dibanding kepentingan negara, lebih cenderung mendatangkan kekacauan. Beranjak dari itu, kepada partai dan caleg jujur dan mau memperbaiki kesalahan.
Sekretaris DAP, Leonard Imbiri, kepada Antara di Jayapura, Minggu, mengatakan bercermin dari sejumlah kasus emilu di tanah air dan lebih khusus di Papua, menggambarkan proses pemilu kali ini kacau, penyelenggara dinilai tidak berorientasi kepada kepentingan negara.
Menurut dia, sejumlah kasus yang membuat pemilu kacau, di antaranya penggelumbungan suara luar biasa yang terjadi di Timika dan perubahan angka dalam kertas suara berhologram di Sarmi. Pengurangan ribuan suara di beberapa daerah pegunungan Papua seperti di Kabupaten Nduga.
Dia mengatakan, budaya atau pandangan politik yang dimiliki oleh para penyelenggara, peserta terutama calon legislatif dan partai politik dalam pemilu, tidak lagi berorientasi pada kepentingan negara dan kepentingan rakyat.
"Saya melihat bahwa orientasinya lebih banyak memihak pada kepentingan individu, partai dan kekuasaan. Apa yang terjadi saat ini dalam pemilu lalu adalah terburuk di Indonesia, itu saya sebut sebagai salah satu malapetaka politik," katanya.
Menurut dia, khusus di Papua, kekacauan pemilu itu akan menambahkan sejumlah masalah yang telah lama ada dan mengakar. Di antaranya, persoalan politik ada persoalan pelanggaran hak asasi manusia, persoalan ketidak adilan, dan persoalan pembangunan atau yang oleh Dewan Adat disebut persoalan hak-hak dasar.
Dia mengatakan, masalah ini perlu diatasi, karena penyelenggara pemilu kali ini menunjukan secara jelas bahwa calon penyelenggara negara nanti. "Jadi, mereka yang terpilih akan duduk sebagai anggota legislatif dan mereka juga akan turut menentukan kebijakan pembangunan," ujarnya.
Ia menambahkan, dengan orientasi pemilu yang mengutamakan kepentingan individu dibanding kepentingan negara, lebih cenderung mendatangkan kekacauan. Beranjak dari itu, kepada partai dan caleg jujur dan mau memperbaiki kesalahan.