Merauke (Antara Papua) - Rektor Universitas Musamus Philipus Betaubun, meminta pemerintah meninjau kembali hak pengelolaan hutan (HPH) yang dikantongi belasan perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, agar tingkat kerusakan hutan tidak bertambah parah.

"HPH itu perlu ditinjau kembali, mengingat kawasan HPH itu merupakan tempat penyimpanan air bersih," kata Philipus, di Merauke, daerah paling timur Indonesia, Jumat.

Pimpinan universitas negeri di Kabupaten Merauke itu juga mengemukakan hal tersebut, sebelum pelaksanaan kuliah umum dari Deputi Bidang Kerusakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Kementerian LH Arief Yuwono, di Kampus Universitas Musamus, Kamis (9/10).

Philipus mengatakan, kini telah ada belasan perusahaan yang mengantongi HPH di wilayah Merauke, termasuk sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berbasis di Rawa Biru, salah satu sumber air bersih di bagian selatan Pulau Papua.

Perusahaan yang mengantongi HPH itu menebang pohon di areal yang hendak dijadikan perkebunan kelapa sawit, namun tidak mengantisipasi dampaknya setelah jangka waktu HPH selama 20 tahun berakhir.

"Setelah 20 tahun usaha kebun sawit, lahan itu dibiarkan saja, sehingga berdampak pada degradasi sumber air bersih di sekitar kawasan itu. Sekarang kan dampaknya mulai terasa, warga Merauke mulai kesulitan air bersih," ujarnya.

Menurut dia, perusahaan pemegang HPH di sekitar Rawa Biru perlu ditinjau kembali, karena lama kelamaan sumber air bersih di kawasan itu bermasalah.

Para akademisi dari Universitas Musamus terus melakukan kajian, dan mulai mengkhawatirkan kekurangan air bersih yang diandalkan dari Rawa Biru itu.

"Kita kaji terus, tapi situasinya lain jika izin sudah dikeluarkan, makanya HPH perlu ditinjau kembali, terutama HPH di tempat penyimpanan air bersih, jika izin sudah keluar, tidak bisa ribut, harusnya ribut di pihak pemberi izin, karena hanya aturan satu lembar kertas bisa ambil lahan yang menjadi sumber air bagi masyarakat banyak," ujarnya.

Philipus berharap pemerintahan yang baru ditangan Joko Widodo sebagai Presiden, dapat bersikap tegas dalam menyikapi kekhawatiran rakyat Merauke terhadap pengelolaan hutan yang berdampak langsung pada kebutuhan air bersih warga setempat.

"Pemerintah pusat harus berani tarik HPH dari Papua, karena Papua representasi Indonesia dalam hal kawasan hutan. HPH itu harus bisa ditarik dari Papua, karena lama kelamaan kita kekurangan air bersih," ujarnya.

Menanggapi permintaan tersebut, Deputi Bidang Kerusakan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Kementerian LH Arief Yuwono mengatakan, penarikan HPH bukan hal yang mustahil sepanjang didukung data dan fakta.

Menurut dia, tidak semua perusahaan pemegang HPH berkinerja buruk, namun juga tidak boleh menolerir pemegang HPH yang "nakal" karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan.

"Menghentikan HPH bukan tidak mungkin, kalau memang terbukti ke ranah hukum, tentu layak dicabut. Semua HPH berawal dari izin prinsip yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, jadi mestinya kita benahi dulu dari aspek izin dulu baru HPH," ujarnya.

Arief berharap, kalangan akademisi di Merauke terus melakukan kajian sekaligus menghimpun bukti pendukung terkait pengelolaan kawasan hutan yang merusak lingkungan.

Akademisi merupakan komunitas yang berkemampuan dalam mencegah kerusakan lingkungan, sehingga bisa menindaklanjuti masalah yang ada sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

"saya bicara dengan Pak Rektor (Rektor Universitas Musamus), dan saya sarankan kuatkan informasi ke penegakan hukum. Kalau ada masalah bisa didalami lebih jauh kemudian tindaklanjuti ke ranah hukum," ujar Arief. (*)

Pewarta : Pewarta: Anwar Maga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024