"Tidak perlu berdebat panjang lebar. Kalau mau bangun (smelter-red) di Papua, ya mulailah dari sekarang. Tunggu apa lagi," kata Tokoh masyarakat Amungme, Yosep Yopi Kilangin.

Penegasan dari tokoh masyarakat Amungme itu, erat kaitannya dengan "keengganan" manajemen PT Freeport Indonesia untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) disertai berbagai alasan.

Suku Amungme merupakan bagian dari suku bangsa di Papua yang mendiami beberapa lembah luas di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya, antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa.

Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika.

Kini cukup banyak warga suku Amungme yang menetap di kota Timika dan sekitarnya karena proses permukiman kembali oleh PT Freeport Indonesia, namun disertai larangan membuka perkampungan di dekat lokasi penambangan.

Penduduk Amungme khususnya yang berasal dari pegunungan Jayawijaya, telah mendapatkan fasilitas perumahan serta lahan perkebunan dari Freeport. Namun banyak pula yang akhirnya memilih tetap tinggal di kampung-kampung di sekitar pertambangan, yakni Kampung Banti, Waa, Tsinga, Arwanop.

Yopi Kilangin kemudian meminta Freeport tidak perlu terlalu banyak mengajukan syarat-syarat untuk dapat membangun pabrik smelter di Papua.

Ia juga meminta pemerintah lebih bijaksana dalam menyikapi situasi dan kondisi Freeport akhir-akhir ini, seperti konflik internal dengan para pekerja di kawasan tambang.

"Mungkin sekarang Freeport pikir-pikir mau membangun sebuah investasi yang sangat besar, tapi perpanjangan kontrak karya nanti hanya sekitar tujuh tahun. Untuk apa kalau seperti itu," kata Yopi Kilangin.

Menurut Yopi, masyarakat adat Suku Amungme dan Kamoro tentu akan memberikan dukungan penuh untuk keberlanjutan masa kontrak karya Freeport setelah 2021, jika perusahaan investasi asal Amerika Serikat itu serius hendak membangun smelter di Timika.

Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 kilometer pesisir selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia.

Jumlah penduduk Kamoro sekitar 18.000 jiwa terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika

Sebelumnya, Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto mengaku kesulitan untuk merampungkan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) jika dibangun di Timika, Papua, sampai akhir 2016.

"Kewajiban sesuai PP akhir 2016 harus selesai, itu masalahnya, waktunya terlalu pendek untuk kita bangun di Papua, infrastrukturnya harus dibangun dan waktunya terlalu pendek," kata Rozik.

Pembangunan smelter harus mempedomani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian.

Jika merujuk pada regulasi tersebut maka Freeport sangat sulit untuk membangun pabrik smelter di Papua karena limit waktu yang diberikan Pemerintah Indonesia hanya 2,5 tahun.

Untuk membangun smelter di Papua butuh waktu sekitar 4-5 tahun sehingga diperlukan kebijakan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk menambah waktu.

Menurut Rozik, jika harus tetap diwajibkan membangun smelter dalam waktu pendek maka pilihannya di tempat yang sudah ada infrastruktur yakni di Gresik, Jawa Timur.

Jika harus tetap dibangun di Papua, maka Freeport butuh waktu panjang karena harus membangun infrastruktur dan mencari investor pendukung pengoperasian smelter seperti pabrik semen untuk pengolahan limba padat, dan pengolahan cairan yang berbahaya untuk lingkungan.

"Pasti memerlukan waktu yang lebih leluasa, pasti akan lebih lama dari waktu yang ditetapkan. Kami lihat dari sisi teknis demikian," ujar Rozik.

Itulah alasan yang selalu "diandalkan" manajemen Freeport ketika menjawab pertanyaan soal smelter, yang juga diungkapkan saat menemui Gubernur Papua Lukas Enembe, dan menerima kunjungan kerja Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang di Tembagapura, Mimika, Papua, pertengahan November 2014.

Apakah alasan tersebut, merupakan bagian dari upaya membungkus pertimbangan finansial, mengingat butuh biaya yang sangat banyak jika Freeport harus membangun smelter di Papua?.

                                                                  Tekad Gubernur Papua
Apa yang dikemukakan manajemen Freeport soal kendala membangun smelter di Papua, relatif berbeda dengan tekad Gubernur Papua Lukas Enembe, yang bersikeras harus dibangun di Timika Papua.

Gubernur Lukas mengatakan wilayah Timika ke depan dipersiapkan menjadi kawasan industri, bukan hanya ada smelter.

Selain pabrik smelter, kawasan industri Timika juga akan dipersiapkan untuk pembangunan pabrik semen, pupuk, ketersediaan tenaga listrik dan lainnya agar harga-harga bahan bangunan dan kebutuhan pokok lainnya di Papua bisa turun.

Karena itu, pada saat renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia selanjutnya, Pemprov Papua akan memperjuangkan agar perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu harus membangun pabrik smelter di Papua.

"Kami mau ada kawasan industri yang terbangun di Papua karena selama ini semua barang produksi didatangkan dari luar Papua terutama dari Makassar dan Surabaya. Akibatnya, anggaran belanja daerah sebagian besar dipakai untuk membiayai itu. Hampir 70 persen dari APBD Papua dananya terserap ke luar," ujar Lukas.

Menurut dia, Pemprov Papua mendukung keputusan PT Freeport yang saat ini memperluas kapasitas pabrik smelter di Gresik, Jawa Timur untuk dapat menampung seluruh hasil produksi tambangnya sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Hanya saja, Gubernur Lukas tidak sependapat dengan pernyataan pimpinan PT Freeport Indonesia yang menyatakan tidak sanggup jika harus membangun industri smelter di Papua hanya dalam kurun waktu 2,5 tahun untuk dapat mengolah mineral tembaga dan emas sebagaimana limit waktu yang ditentukan dalam UU Minerba.

"Nanti setelah 2021 pascaberakhirnya masa kontrak karya tahap II PT Freeport Indonesia, maka dia harus membangun industri smelter di Papua," tegas Gubernur Lukas.

Selain itu, kata dia, proses renegosiasi kontrak karya PT Freeport Indonesia yang diperkirakan dimulai pada 2019 harus juga mengakomodasi kepentingan-kepentingan rakyat dan pemerintah di Tanah Papua.

Sambil menunggu putaran waktu hingga sampai pada pembahasan renegosiasi kontrak karya Freeport, Gubernur Papua berupaya melakukan berbagai terobosan untuk menjalin kemitraan dengan investor luar negeri agar bisa membangun sebuah pabrik pemurnian tembaga dan emas di Papua.

Pemprov Papua, katanya, akan menandatangani nota kesepahaman dengan Goldman Sachs, sebuah perusahaan perbankan Amerika Serikat, untuk membantu membiayai pembangunan pabrik smelter di Papua.

"Beberapa kali kami sudah lakukan presentasi dengan perwakilan Goldman Sachs yang ada di Indonesia dan dalam waktu dekat melakukan presentasi dengan perwakilan Goldman Sachs di Asia," jelas Gubernur Lukas.

Mantan Bupati Puncak Jaya ini ingin menunjukkan kesan, jika Freeport masih enggan membangun smelter di Papua, maka akan "diadili" saat renegosiasi kontrak karya pada 2019.

Selain itu, ia pun berupaya mencari donatur lain yang mampu membangun smelter beserta kawasan industri di Timika, Papua, mengingat niat membangun smelter harus sejalan dengan finansial yang memadai. (*)

Pewarta : Penulis: Anwar Maga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024