"Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Kesulitan hidup yang kita rasakan merupakan anugerah Tuhan. Ketika kita selalu bersyukur, maka Tuhan akan membuka jalan agar kita bisa keluar dari kesulitan yang kita hadapi".
Sepenggal kalimat itu diucapkan oleh Alion Belau, pilot pertama asal Suku Moni, salah satu suku pedalaman Papua, saat menggelar acara syukuran atas kelulusannya dari sekolah penerbangan Genesah Fligth Academic, Jakarta.
Keluarga besar Belawa-Selegani dan Suku Moni di Timika menggelar acara syukuran kelulusan Alion bertempat di rumah keluarga di bilangan Gorong-gorong, Timika.
Meski belum diwisuda, sejak sepekan lalu telah dipercayakan untuk mengawaki pesawat Cessna Grand Caravan milik PT Aviosindo Perkasa yang berbasis di Nabire.
Saat lulus dari lembaga pendidikan Genesah Fligth Academic, Jakarta, Alion diberi predikat sebagai siswa Papua terbaik.
Jauh sebelum menjadi pilot, masa kecil Alion dilalui dengan penuh tantangan.
Sejak kecil, putra pasangan Aser Belau dan Justin Selegani itu terpaksa meninggalkan kampung halaman tercinta di Homeo, Kabupaten Intan Jaya menuju Nabire bersama ibunya dan kedua adiknya.
Saat itu ayahnya bekerja sebagai pekabar Injil Gereja Kemah Injil (Kingmi) mendapat tugas untuk melanjutkan pendidikan Diploma III pada Sekolah Tinggi Theologi (STT) Walter Post Sentani, Jayapura, tahun 1997.
Sempat bersekolah hingga kelas IV SD di Sentani Jayapura, Alion akhirnya pindah melanjutkan sekolah di SD Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili (YPPGI) Kwamki Lama, Timika, hingga tamat pada 2005.
"Ayah saya biasa berburu hewan di hutan. Uang hasil jualan hewan buruan itulah yang dipakai untuk membiayai sekolah saya," tutur Alion.
Di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya, Alion memaksakan orang tuanya untuk membiayai pendidikan ke jenjang SMP.
Melihat kesungguhan putranya itu, pasangan Aser Belau-Justin Selegani menyekolahkan Alion ke SMP Advent Timika.
"Saya benar-benar mengalami banyak kesulitan. Ekonomi orang tua pas-pasan, bahkan mungkin tidak pas. Makanya saya tidak pernah alpa dari sekolah. Setiap hari saya mengayuh sepeda dari Kwamki Lama ke sekolah. Saya berjuang keras melihat kehidupan keluarga kami yang serba kekurangan," tutur Alion mengisahkan perjalanan hidup semasa sekolah.
Berbekal tekadnya yang kuat untuk sekolah itu, Alion mengaku tidak pernah perduli dengan kondisi pakaian seragamnya yang serba compang-camping.
Keadaan Alion yang serba kekurangan itu menyentuh perasaan guru-guru di sekolahnya. Para guru memberikan pakaian seragam yang layak untuk dikenakan Alion.
Dengan kondisi keterbatasan itu, Alion mampu lulus dari SMP Advent Timika pada 2008.
Namun persoalan yang dihadapinya belum tuntas.
"Saya tidak bisa mengambil ijazah SMP karena masih menunggak pembayaran SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan)," tuturnya.
Menghadapi kondisi itu, Alion bersama ayahnya lalu datang menghadap ke sekolah. Sekali lagi, pihak Sekolah Advent Timika memberikan dispensasi kepada Alion untuk dapat mengambil ijazahnya kendati belum melunasi tunggakan biaya SPP.
Berbekal ijazah SMP itulah, Alion memutuskan untuk mengikuti seleksi siswa penerima beasiswa dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), lembaga nirlaba yang mengelola dana kemitraan dari PT Freeport Indonesia untuk dikirim ke luar daerah.
Setelah beberapa hari menunggu, pada 2008 Alion dinyatakan lulus untuk dikirim ke Yayasan Bina Teruna Bumi Cenderawasih (Binterbusih) Semarang, salah satu mitra LPMAK di Bidang Pendidikan.
Saat itu siswa yang dikirim LPMAK ke beberapa kota studi tidak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK.
Selama setahun peserta beasiswa LPMAK harus mengikuti program matrikulasi agar dapat menyesuaikan kemampuan dengan siswa dari daerah lain yang dianggap lebih maju.
"Tahun berikutnya saya baru melanjutkan pendidikan ke SMA Theresiana II Semarang. Semua biaya dan keperluan sekolah saya ditanggung penuh oleh LPMAK. Kami hanya fokus untuk belajar," ujar Alion.
Semasa belajar di Semarang itu, Alion terus mengeraskan tekadnya agar kelak bisa menjadi seorang pilot. Dengan alasan itulah, Alion terus mengasah kemampuan bahasa Inggris dan pelajaran sains.
Di sela-sela waktu sekolah dan pelajaran tambahan di Asrama Binterbusi Semarang, Alion mengikuti kursus bahasa Inggris.
"Setiap hari saya berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk ikut kursus bahasa Inggris di Semarang. Saya gunakan uang saku yang diberikan LPMAK sebesar Rp250 ribu per bulan untuk membiayai kursus bahasa Inggris selama enam bulan," tuturnya.
Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang cukup mahir, Alion dipercayakan oleh rekan-rekan di sekolahnya untuk menjadi juru bahasa asing setiap kali ada kunjungan tamu asing ke salah satu sekolah unggulan di Kota Semarang itu.
Pergulatan batin Alion untuk terus menggapai cita-citanya menjadi seorang pilot kian terasa saat memasuki masa-masa akhir di bangku SMA
"Saya berfikir, tidak mungkin saya bisa menjadi seorang pilot karena biaya sekolah pilot sangat mahal," ujarnya.
Meski begitu, Alion tetap rajin mengakses informasi sekolah penerbangan melalui fasilitas internet.
Dari usahanya itu, Alion mendapat informasi ada sebuah lembaga pendidikan tinggi penerbangan di Jakarta yang membuka penerimaan mahasiswa calon penerbang dengan biaya pendaftaran mencapai Rp2,7 juta.
"Saya telepon orang tua. Tapi mereka hanya bisa menangis karena tidak mampu. Saya juga mengontak LPMAK tetapi LPMAK meminta saya untuk mencari jurusan lain mengingat biaya sekolah penerbangan sangat mahal," ujarnya.
Berbekal uang hasil jualan ternak babi ibunya, Alion memutuskan untuk berangkat dari Semarang ke Jakarta menggunakan kereta api ekonomi.
Sebagai bekal di perjalanan, pimpinan Yayasan Binterbusih Semarang Paul Sudiyo memberi tambahan uang Rp1 juta kepada Alion.
Namun lantaran terlambat saat hendak mengikuti test, Alion diminta oleh lembaga pendidikan penerbangan tersebut untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya.
Rupanya Tuhan punya rencana lain. Beberapa jam setelah itu, Alion menerima informasi dari Paul Sudiyo bahwa salah satu mitra Biro Pendidikan LPMAK, George Resubun akan melakukan seleksi sekolah pilot kepada peserta program beasiswa LPMAK.
Setelah menerima informasi itu, Alion langsung kembali ke Semarang.
Beberapa waktu kemudian digelar seleksi calon siswa penerbangan oleh George Resubun, mantan Pilot dan mekanik Twin Otter maskapai Merpati Nusantara Air Lines.
Dari beberapa siswa Papua yang mengikuti seleksi itu, hanya Alion yang dinyatakan lulus.
Ia sempat mendalami kursus bahasa Inggris di Balikpapan, Kalimantan Timur sebelum melanjutkan pendidikan sekolah penerbangan di Amerika Serikat pada 2013.
"Tanggal 1 April 2013 saya tiba di Amerika. Keesokan harinya saya langsung diajak terbang. Selama delapan bulan saya menerbangkan pesawat single engine dengan 74 jam terbang melalui Program Private PilotLicense (PPL) di Sekolah penerbangan Pro Aircraff Flight Training, Fort Worth, Dallas Texas," tutur Alion.
Saat masa berlaku visanya habis, Alion memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Pada saat bersamaan, terjadi aksi mogok besar-besaran pekerja PT Freeport Indonesia hingga mempengaruhi alokasi dana untuk menunjang program-program LPMAK.
Setelah menunggu beberapa lama, Alion akhirnya melanjutkan pendikan calon pilot di Genesah Fligth Academic Jakarta hingga dinyatakan lulus pada 21 September 2015.
Alion yang kini sudah resmi berprofesi sebagai pilot mengaku sangat bahagia tatkala bisa menerbangkan pesawat ke kampung halamannya di Homeo, Kabupaten Intan Jaya.
"Beberapa hari lalu saya menerbangkan sendiri pesawat ke daerah saya sendiri. Saya bangga bisa membantu masyarakat saya," ujar Alion.
Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada LPMAK dan PT Freeport yang telah memberikan dukungan dan bantuan luar biasa selama menempuh pendidikan sejak jenjang SMA hingga tingkat lembaga pendidikan penerbangan.
"Kalau tidak ada LPMAK dan PT Freeport, saya tidak mungkin jadi seperti sekarang ini," ujarnya.
Tak lupa Alion juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada guru-gurunya di SD YPPGI Kwamki Lama dan SMP Advent Timika.
Ia berharap anak-anak Papua bisa mengikuti jejaknya, dengan catatan mereka harus bersungguh-sungguh belajar agar kelak bisa meraih impiannya.
"Jalan hidup saya mungkin bisa menjadi contoh sekaligus motivasi bagi anak-anak Papua yang lain," ujar Alion Belau. (*)
Sepenggal kalimat itu diucapkan oleh Alion Belau, pilot pertama asal Suku Moni, salah satu suku pedalaman Papua, saat menggelar acara syukuran atas kelulusannya dari sekolah penerbangan Genesah Fligth Academic, Jakarta.
Keluarga besar Belawa-Selegani dan Suku Moni di Timika menggelar acara syukuran kelulusan Alion bertempat di rumah keluarga di bilangan Gorong-gorong, Timika.
Meski belum diwisuda, sejak sepekan lalu telah dipercayakan untuk mengawaki pesawat Cessna Grand Caravan milik PT Aviosindo Perkasa yang berbasis di Nabire.
Saat lulus dari lembaga pendidikan Genesah Fligth Academic, Jakarta, Alion diberi predikat sebagai siswa Papua terbaik.
Jauh sebelum menjadi pilot, masa kecil Alion dilalui dengan penuh tantangan.
Sejak kecil, putra pasangan Aser Belau dan Justin Selegani itu terpaksa meninggalkan kampung halaman tercinta di Homeo, Kabupaten Intan Jaya menuju Nabire bersama ibunya dan kedua adiknya.
Saat itu ayahnya bekerja sebagai pekabar Injil Gereja Kemah Injil (Kingmi) mendapat tugas untuk melanjutkan pendidikan Diploma III pada Sekolah Tinggi Theologi (STT) Walter Post Sentani, Jayapura, tahun 1997.
Sempat bersekolah hingga kelas IV SD di Sentani Jayapura, Alion akhirnya pindah melanjutkan sekolah di SD Yayasan Pendidikan Persekolahan Gereja Injili (YPPGI) Kwamki Lama, Timika, hingga tamat pada 2005.
"Ayah saya biasa berburu hewan di hutan. Uang hasil jualan hewan buruan itulah yang dipakai untuk membiayai sekolah saya," tutur Alion.
Di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya, Alion memaksakan orang tuanya untuk membiayai pendidikan ke jenjang SMP.
Melihat kesungguhan putranya itu, pasangan Aser Belau-Justin Selegani menyekolahkan Alion ke SMP Advent Timika.
"Saya benar-benar mengalami banyak kesulitan. Ekonomi orang tua pas-pasan, bahkan mungkin tidak pas. Makanya saya tidak pernah alpa dari sekolah. Setiap hari saya mengayuh sepeda dari Kwamki Lama ke sekolah. Saya berjuang keras melihat kehidupan keluarga kami yang serba kekurangan," tutur Alion mengisahkan perjalanan hidup semasa sekolah.
Berbekal tekadnya yang kuat untuk sekolah itu, Alion mengaku tidak pernah perduli dengan kondisi pakaian seragamnya yang serba compang-camping.
Keadaan Alion yang serba kekurangan itu menyentuh perasaan guru-guru di sekolahnya. Para guru memberikan pakaian seragam yang layak untuk dikenakan Alion.
Dengan kondisi keterbatasan itu, Alion mampu lulus dari SMP Advent Timika pada 2008.
Namun persoalan yang dihadapinya belum tuntas.
"Saya tidak bisa mengambil ijazah SMP karena masih menunggak pembayaran SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan)," tuturnya.
Menghadapi kondisi itu, Alion bersama ayahnya lalu datang menghadap ke sekolah. Sekali lagi, pihak Sekolah Advent Timika memberikan dispensasi kepada Alion untuk dapat mengambil ijazahnya kendati belum melunasi tunggakan biaya SPP.
Berbekal ijazah SMP itulah, Alion memutuskan untuk mengikuti seleksi siswa penerima beasiswa dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), lembaga nirlaba yang mengelola dana kemitraan dari PT Freeport Indonesia untuk dikirim ke luar daerah.
Setelah beberapa hari menunggu, pada 2008 Alion dinyatakan lulus untuk dikirim ke Yayasan Bina Teruna Bumi Cenderawasih (Binterbusih) Semarang, salah satu mitra LPMAK di Bidang Pendidikan.
Saat itu siswa yang dikirim LPMAK ke beberapa kota studi tidak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK.
Selama setahun peserta beasiswa LPMAK harus mengikuti program matrikulasi agar dapat menyesuaikan kemampuan dengan siswa dari daerah lain yang dianggap lebih maju.
"Tahun berikutnya saya baru melanjutkan pendidikan ke SMA Theresiana II Semarang. Semua biaya dan keperluan sekolah saya ditanggung penuh oleh LPMAK. Kami hanya fokus untuk belajar," ujar Alion.
Semasa belajar di Semarang itu, Alion terus mengeraskan tekadnya agar kelak bisa menjadi seorang pilot. Dengan alasan itulah, Alion terus mengasah kemampuan bahasa Inggris dan pelajaran sains.
Di sela-sela waktu sekolah dan pelajaran tambahan di Asrama Binterbusi Semarang, Alion mengikuti kursus bahasa Inggris.
"Setiap hari saya berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk ikut kursus bahasa Inggris di Semarang. Saya gunakan uang saku yang diberikan LPMAK sebesar Rp250 ribu per bulan untuk membiayai kursus bahasa Inggris selama enam bulan," tuturnya.
Dengan kemampuan berbahasa Inggris yang cukup mahir, Alion dipercayakan oleh rekan-rekan di sekolahnya untuk menjadi juru bahasa asing setiap kali ada kunjungan tamu asing ke salah satu sekolah unggulan di Kota Semarang itu.
Pergulatan batin Alion untuk terus menggapai cita-citanya menjadi seorang pilot kian terasa saat memasuki masa-masa akhir di bangku SMA
"Saya berfikir, tidak mungkin saya bisa menjadi seorang pilot karena biaya sekolah pilot sangat mahal," ujarnya.
Meski begitu, Alion tetap rajin mengakses informasi sekolah penerbangan melalui fasilitas internet.
Dari usahanya itu, Alion mendapat informasi ada sebuah lembaga pendidikan tinggi penerbangan di Jakarta yang membuka penerimaan mahasiswa calon penerbang dengan biaya pendaftaran mencapai Rp2,7 juta.
"Saya telepon orang tua. Tapi mereka hanya bisa menangis karena tidak mampu. Saya juga mengontak LPMAK tetapi LPMAK meminta saya untuk mencari jurusan lain mengingat biaya sekolah penerbangan sangat mahal," ujarnya.
Berbekal uang hasil jualan ternak babi ibunya, Alion memutuskan untuk berangkat dari Semarang ke Jakarta menggunakan kereta api ekonomi.
Sebagai bekal di perjalanan, pimpinan Yayasan Binterbusih Semarang Paul Sudiyo memberi tambahan uang Rp1 juta kepada Alion.
Namun lantaran terlambat saat hendak mengikuti test, Alion diminta oleh lembaga pendidikan penerbangan tersebut untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya.
Rupanya Tuhan punya rencana lain. Beberapa jam setelah itu, Alion menerima informasi dari Paul Sudiyo bahwa salah satu mitra Biro Pendidikan LPMAK, George Resubun akan melakukan seleksi sekolah pilot kepada peserta program beasiswa LPMAK.
Setelah menerima informasi itu, Alion langsung kembali ke Semarang.
Beberapa waktu kemudian digelar seleksi calon siswa penerbangan oleh George Resubun, mantan Pilot dan mekanik Twin Otter maskapai Merpati Nusantara Air Lines.
Dari beberapa siswa Papua yang mengikuti seleksi itu, hanya Alion yang dinyatakan lulus.
Ia sempat mendalami kursus bahasa Inggris di Balikpapan, Kalimantan Timur sebelum melanjutkan pendidikan sekolah penerbangan di Amerika Serikat pada 2013.
"Tanggal 1 April 2013 saya tiba di Amerika. Keesokan harinya saya langsung diajak terbang. Selama delapan bulan saya menerbangkan pesawat single engine dengan 74 jam terbang melalui Program Private PilotLicense (PPL) di Sekolah penerbangan Pro Aircraff Flight Training, Fort Worth, Dallas Texas," tutur Alion.
Saat masa berlaku visanya habis, Alion memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Pada saat bersamaan, terjadi aksi mogok besar-besaran pekerja PT Freeport Indonesia hingga mempengaruhi alokasi dana untuk menunjang program-program LPMAK.
Setelah menunggu beberapa lama, Alion akhirnya melanjutkan pendikan calon pilot di Genesah Fligth Academic Jakarta hingga dinyatakan lulus pada 21 September 2015.
Alion yang kini sudah resmi berprofesi sebagai pilot mengaku sangat bahagia tatkala bisa menerbangkan pesawat ke kampung halamannya di Homeo, Kabupaten Intan Jaya.
"Beberapa hari lalu saya menerbangkan sendiri pesawat ke daerah saya sendiri. Saya bangga bisa membantu masyarakat saya," ujar Alion.
Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada LPMAK dan PT Freeport yang telah memberikan dukungan dan bantuan luar biasa selama menempuh pendidikan sejak jenjang SMA hingga tingkat lembaga pendidikan penerbangan.
"Kalau tidak ada LPMAK dan PT Freeport, saya tidak mungkin jadi seperti sekarang ini," ujarnya.
Tak lupa Alion juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada guru-gurunya di SD YPPGI Kwamki Lama dan SMP Advent Timika.
Ia berharap anak-anak Papua bisa mengikuti jejaknya, dengan catatan mereka harus bersungguh-sungguh belajar agar kelak bisa meraih impiannya.
"Jalan hidup saya mungkin bisa menjadi contoh sekaligus motivasi bagi anak-anak Papua yang lain," ujar Alion Belau. (*)