Jayapura (Antara Papua) - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg Aloysius Giyai mendukung rencana kenaikan harga rokok oleh Pemerintah Pusat karena secara tidak langsung akan mengurangi beberapa penyakit yang disebabkan karena rokok.

"Baiknya satu batang rokok Rp50 ribu bukan satu bungkus berarti kalikan 12 batang kalau satu bungkus berarti Rp600 ribu," ucapnya di Jayapura.

Menurut dia, kenaikan harga rokok ini sebenarnya bertujuan agar masyarakat ekonomi rendah tidak bisa membeli rokok tapi juga dapat membantu mengurangi penderita penyakit TB dan paru-paru dan penyakit lainnya yang disebabkan karena merokok.

Penyakit paru-paru identik dengan penyakit keluarga pra-sejahtera dan rata-rata menderita penyakit TB, paru-paru basa, paru-par kering, penyakit Inpeksi Saluran Pernasapan Akut (Ispa), itukan identik dengan orang yang kurang cukup dalam pendapatan keluarga, ujarnya.

Aloysius menjelaskan, dengan adanya kenaikan harga rokok maka secara tidak langsung akan mengurangi populasi dan penyebaran penyakit TB karena akan signifikan mengurangi angka kematian akibat rokok tapi juga polusi udara karena asap rokok.

Sebenarnya, kalau dihitung dengan perhitungan ekonomi "benefit cost" atau perhitungan manfaat daripada rokok itu, penyakit yang disebabkan karena rokok dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang didapat dari perusahaan rokok, lebih besar penyakit yang disebabkan karena rokok.

Hanya saja hingga kini belum dihitung secara baik dan belum dilakukan kajian yang mendalam terkait pendapatan dari rokok dan penyakit yang disebabkan karena rokok.

"Pendapatan negara karena pajak rokok itu berapa, kemudian penyakit ISPA, penyakit penemoni, penyakit TB yang didapat karena rokok coba dua -dua dihitung dan disandingkan, kalau akhirnya pendapatan yang tinggi karena PAD terlalu jauh tinggi dibandingkan dengan pengeluaran biaya untuk penyakit akibat merokok lebih rendah ya tidak papa kita pertahankan," ujarnya.

Akan tetapi ternyata penyakit yang diakibatkan karena merokok itu jauh lebih tinggi daripada PAD rokok kenapa tidak harga rokok dinaikan karena tidak akan memberikan dampak bagi negara ini tetapi itu sulit dibuktikan.

"Karena Penyakit ISPA, penemoni dan penyakit itu tidak hanya diakibatkan oleh rokok tapi juga faktor debu, faktor lingkungan yang tidak sehat itu kelemahannya yang membuat sulit dihitung dan dibandingkan," ujarnya.

Ia menambahkan, dengan adanya kenaikan harga rokok diharapkan masyarakat ekonomi lemah ke bawah tidak mampu membeli rokok karena harga yang melonjak tinggi/melangit, itu harapannya.

Tujuan lain dari kenaikan harga rokok itu yakni orang yang bisa mampu membeli rokok adalah orang kelas atas atau orang yang ekonominya cukup dan memiliki uang yang cukup.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany dan rekan-rekannya, ada keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok.

Dari studi itu terungkap bahwa sejumlah perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat. Dari 1.000 orang yang disurvei, sebanyak 72 persen bilang akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas Rp 50.000.(*)

Pewarta : Pewarta: Musa Abubar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024