Cuaca siang itu hujan dengan intensitas lumayan deras, langit biru dengan gumpalan putih awan tergantikan oleh warna abu-abu yang lama kelamaan membuat suasana siang nampak seperti menjelang petang hari.

Karena hanya memiliki waktu satu hari untuk berjalan-jalan di Kota Karang Panas, Kabupaten Biak Numfor, Papua, maka meskipun sudah diiringi hujan, rombongan tetap memaksakan menuju areal situs Goa Jepang di Kampung Ambroben.

Ketika masuk areal kampung wisata tersebut, kesan sepi sudah bisa ditangkap. Pasalnya, siang itu tidak ada masyarakat yang lewat satu pun. Hanya beberapa kali kendaraan roda empat melintas dan suaranya memecah kesunyian.

Turun dari kendaraan roda empat, rombongan pun menuju sebuah rumah yang dipasang spanduk bertuliskan "RUANG INFORMASI". Tak lama, seorang lelaki paruh baya berusia sekitar 50 tahun menghampiri rombongan.

Yusuf Rumaropen, lelaki bertopi hitam dengan perawakan yang masih tegak tanpa alas kaki tak menyunggingkan sedikit senyum pun di wajahnya kepada rombongan. Dia adalah pengelola Kampung Wisata Goa Jepang Binsari tersebut.

Namun, tidak butuh waktu lama ketika dimintai keterangannya mengenai Goa Jepang, Yusuf langsung menjawab dan menceritakan kisah keberadaan Kampung Wisata Goa Jepang Binsari di Biak tersebut.

Setelah sedikit mengobrol, karena hujan yang tak kunjung berhenti, akhirnya hanya beberapa orang dari rombongan yang mencoba turun langsung ke lokasi Goa Jepang dan sisanya memilih duduk di kursi yang disediakan pengelola di ruang informasi.

Posisi gua tersebut di bagian belakang rumah sang pengelola yang juga penjaga tempat wisata ini. Untuk bisa masuk ke gua, rombongan harus menuruni tangga dan melewati jembatan.

Hujan membuat jalan menuju gua dan jembatan sangat licin, harus sangat berhati-hati melewatinya. Belum lagi kondisi gelap gulita yang membuat suasana siang itu semakin seram.

Butuh penerangan untuk masuk ke dalam gua, beberapa dari rombongan yang sudah turun dan mencapai pintu masuk gua terpaksa mengurungkan niatnya karena tidak membawa pencahayaan dan akhirnya kembali ke atas.

Sekitar dua orang yang membawa telepon seluler akhirnya menjadikannya sebagai alat penerangan untuk bisa masuk ke gua.

"Biasanya memang sudah gelap, namun kali ini karena ditambah hujan jadi kelihatan lebih gelap lagi, seperti malam hari, silakan pakai lampu HP," kata Yusuf.

Sungguh disayangkan, karena terlalu gelap, kondisi gua tidak begitu nampak sehingga hanya sekitar lima menit akhirnya rombongan memutuskan untuk kembali ke atas dan bergabung dengan yang lain.

Suara-Suara Aneh
Karena hujan tak kunjung reda, akhirnya rombongan melihat-lihat benda-benda peninggalan perang dunia ke II yang disimpan di etalase kaca milik pengelola.

Sebagian lainnya ditumpuk di rak-rak kayu dan dibiarkan begitu saja di luar terkena hujan seperti botol-botol kaca, alat makan tentara, helm, selongsong peluru dan lain sebagainya.

Embusan udara dingin dan penampakan langit abu-abu turut menemami Yusuf yang mulai menceritakan kisah keberadaan Goa Jepang di Biak ini kepada rombongan.

Menurut Yusuf, Kampung Wisata Goa Jepang Binsari ini terbentuk sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Biak Numfor Nomor 29 Tahun 2011 tentang pemekaran 74 kampung dalam wilayah distrik di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua.

Nama yang digunakan sebagai Kampung Wisata Binsari sendiri diambil dari nama gua alam "Abiab Binsari" yang telah dikenal masyarakat sebelum Perang Dunia II.

"Goa Binsari dahulu digunakan oleh masyarakat karena terdapat sumber air dan menurut kepercayaan masyarakat dihuni oleh seorang nenek," kata Yusuf.

Karena dihuni oleh seorang nenek akhirnya disebut Binsar (perempuan) dan Sar (tua), di mana menurut warga, nenek ini kadang terlihat dan tidak.

"Terkadang terdengar bunyi tembakan atau teriakan tentara dari dalam gua, suaranya sangat jelas, dulu sering sekali, tetapi sekarang sudah agak jarang," ujar Yusuf yang juga merupakan Kepala Kampung Ambroben.

Karena posisi gua yang sangat strategis berada di ketinggian dan dapat melakukan pemantauan untuk daerah pantai dan laut maka Kampung Wisata Binsari menjadi pusat logistik pasukan Jepang pada Perang Dunia II.

Kala itu sekitar 3.000 tentara Jepang di bawah pimpinan Kolonel Naoyuke Kusume, menjadikan Goa Binsari sebagai markas. Setelah Amerika mengetahui bahwa wilayah Binsari merupakan pusat logistik Jepang, maka dijatuhkannya bom pada 7 Juni 1944.

"Karena daerah Binsari memiliki nilai sejarah tinggi dengan adanya peninggalan Perang Dunia II maka daerah ini menjadi sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara sehingga lambat laun nama `Binsari` ditambahkan pada julukan Kampung Wisata Goa Jepang Binsari," katanya.

Suara-suara aneh yang acap terdengar ini tak hanya dibenarkan sang pengelola, namun Nandus Kurni salah seorang pengunjung Kampung Wisata Goa Jepang Binsari mengaku pernah mendengarnya juga.

"Jadi itu seperti suara orang menangis, jelas terdengar, kebetulan saya tiba duluan di gua sebelum rombongan lainnya yang masih sibuk berfoto dengan benda-benda peninggalan di luar," kata Nandus.

Menurut pegawai pemerintah daerah ini, suara yang didengarnya seperti suara orang merintih kesakitan, meskipun tak dihiraukannya, namun justru pengalaman mistis tersebut menjadi salah satu keunikan dari mengunjungi tempat yang pernah menjadi lokasi penemuan tulang belulang tentara Jepang.

Sumber PAD Baru
Pengelola Kampung Wisata Goa Jepang Binsari mengharapkan lokasi bersejarah tersebut ke depan dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru bagi Pemerintah Kabupaten Biak Numfor.

Pasalnya, jika dikelola dengan baik maka lokasi bersejarah tersebut berpotensi menjadi sumber PAD baru.

"Dalam sebulan jumlah pengunjung ke lokasi Wisata Goa Jepang Binsari ini berkisar 50-100 orang dengan mayoritas wisatawan mancanegara," katanya.

Misalnya saja dua minggu lalu ketika sebuah kapal pesiar MS Europe berlabuh di Jayapura, sebanyak 97 wisatawan asing berkunjung ke Kampung Wisata Goa Jepang Binsari.

"Turis asing yang datang ke tempat wisata Goa Jepang ini kami pungut Rp50-100 ribu per orang, sedangkan untuk pengunjung dari dalam negeri hanya dipungut Rp10-25 ribu per orangnya," ujar Yusuf.

Uang yang dipungut ini digunakan pihaknya untuk membiayai pengelolaan hingga pemeliharaan barang-barang peninggalan sejarah yang ada di lokasi wisata tersebut.

"Hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah daerah sehingga kami berinisiatif untuk memungut uang masuk guna membiayai lokasi ini agar tetap terpelihara dengan baik," katanya.

Ke depannya, diharapkan ada perhatian dari pemerintah daerah melalui instansi terkait agar lokasi wisata ini dapat dimanfaatkan secara maksimal dan tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi Kabupaten Biak Numfor, namun juga bagi masyarakat di sekitarnya.

Sementara itu, Dinas Pariwisata Kabupaten Biak Numfor berencana mengandeng manajemen PT Angkasa Pura 1 Bandara Frans Kaisiepo untuk berpartisipasi langsung mempromosikan destinasi wisata Biak.

"Pemkab Biak juga melibatkan organisasi perjalanan wisata internasional, organisasi lingkungan internasional dan pelaku usaha wisata daerah kita," kata Kepala Dinas Pariwisata Biak Turbey Ony Dangeubun.

Diharapkan keterlibatan mitra kerja pemerintah daerah dalam berperan mempromosikan agenda pariwisata Biak akan mampu menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjungi daerah ini.

Selain Kampung Wisata Goa Jepang Binsari, beberapa lokasi lainnya di Biak Numfor juga dapat menjadi pilihan destinasi yang bagus seperti Pantai Batu Picah Biak Utara, Museum Cenderawasih, Monumen Perang Dunia II, Tugu Tentara Kompi C dan lainnya. (*)

Pewarta : Pewarta: Hendrina Dian Kandipi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024