Sama seperti hari-hari yang lain, jalanan di Timika, misalnya di kawasan Budi Utomo sepanjang hampir 300 meter tampak benda memantulkan cahaya berwarna-warni bak pelangi.

Itu adalah warna-warni yang terpancar dari noken, tas asli Papua yang digantung oleh `mama-mama` --sebutan khas untuk ibu-ibu setempat-- perajut noken yang produknya berjajar di pagar untuk dijajakan kepada siapa saja yang berminat.

Pemandangan ini sudah ada sejak kurang lebih satu tahun terkahir, ketika gairah masyarakat Mimika menggunakan noken mencuat setelah ditetapkannya wajib mengenakan noken setiap Senin dan Jumat oleh Pemerintah Kabupaten Mimika bagi seluruh pegawai termasuk para guru di wilayah itu.

Dari situlah semangat Mama Yemina Dou dan teman-temannya mulai tumbuh untuk menganyam noken dan menjajakannya kepada masyarakat dan dijadikan sebagai mata pencaharian hingga kini.

Setiap pagi, rombongan mama-mama ini sudah mulai mengatur noken yang siap dijual di tempat gantungan yang mereka buat sendiri dari potongan-potongan balok kayu.

Pada waktu sore hari, atau turun hujan, mama-mama ini lebih memilih pulang dengan noken mereka tak peduli apakah ada yang sudah laku terjual hari itu. Apalagi intensitas hujan di Timika tidak menentu.

"Susah juga kalau hujan, tidak ada tempat berteduh sehingga terpaksa pulang saja dari pada basah. Tinggal atur-atur noken," kata Mama Yemina.

Setelah merajut noken sebagai pekerjaan tetap, Mama Yemina dan teman-temannya yang sebelumnya berkebun kini menggantungkan hidupnya dari menjual noken.

"Kalau banyak pembeli pasti kami senang karena kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi, termasuk modal untuk mendapatkan benang dan sebagiannya disisihkan untuk biaya sekolah serta kuliah anak-anak," tutur Yemina sambil sesekali menatap benang yang sedang dirajut di tangannya.

Noken yang diatur berjajar bagaikan pelangi, namun nasib mama-mama yang merajut atau perajinnya hidupnya belum seindah pelangi.

Merajut Masa Depan
Noken saat ini tidak hanya sebatas sebagai simbol kedewasaan perempuan Papua atau difungsikan sebagai tas untuk membawa bahan makanan dari kebun atau membawa bayi tetapi kini memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Dari satu noken kecil berukuran telepon genggam, mama-mama ini bisa meraup keuntungan Rp50-100 ribu tergantung bahan dasar pembuatannya.

Pada umumnya, noken yang terbuat dari serat pohon melinjo lebih mahal, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah dibandingkan dengan noken yang terbuat dari benang biasa yang dapat diperoleh hanya bermodalkan ratusan ribu saja.

Kendati harga noken cukup mahal namun Mama Agustina Mote yang juga menjajakan noken di kawasan Budi Utomo mengakui jika itu bukan jaminan kepastian untuk membawa pulang sejumlah uang pada sore harinya. Pasalnya di Timika sendiri sudah banyak saingan penjual noken dengan corak dan motif yang menarik.

"Kami tetap bersabar dan setia menjual noken karena ini sudah menjadi sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk sebagian digunakan bagi kepentingan sekolah anak-anak," tuturnya.

Mama Agustina sendiri adalah orang tua tunggal dari empat anaknya. Yang paling bungsu baru lima tahun sedangkan yang lain sudah sekolah, bahkan anaknya yang sulung sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jayapura. Suaminya telah lama meninggal dunia.

Ia mengatakan anak-anaknya hampir semua bisa merajut noken terutama anak perempuan. Tidak jarang mereka membantu merajut beberapa noken pesanan pembeli.

Merajut noken ibarat merajut masa depannya dan anak-anaknya karena dari nokenlah ia bisa membiayai kebutuhan keluarga termasuk membiayai sekolah yang merupakan masa depan mereka.

Lagi, noken yang diatur berbaris bagaikan pelangi namun nasib mama-mama belum seindah pelangi.

Berjuang Sendiri
Perjuangan mama-mama ini patut diacungi jempol. Mereka mengaku jika selama ini pemerintah setempat belum memberikan perhatian khusus kepada mereka sebagai pelaku ekonomi kreatif atau industri kecil, misalnya dari segi pemberian modal usaha atau tempat berjualan yang memadai.

Uang hasil usaha mereka sendiri yang kemudian digunakan sebagai modal untuk membeli benang sebagai bahan baku pembuatan noken.

Bahkan mereka juga berusaha membeli dua-tiga kayu balok yang dijadikan tempat menjajakan noken.

Setiap hari mama-mama ini berjemur di bawah terik matahari hari dan kehujanan lantaran tidak ada tempat yang layak untuk bernaung.

Hannya potongan karung atau spanduk bekas yang digunakan sebagai tempat berteduh dari hujan dan terik mentari. Mereka benar-benar berjuang sendiri di kota yang dikenal sebagai penghasil emas di Indonesia bahkan di dunia itu.

Bupati Mimika, Eltinus Omaleng pernah menjanjikan membangun semacam sanggar atau galeri dengan dua lantai pada 2017 ini yang nantinya digunakan untuk tempat berjualan khusus noken.

"Kita akan realisasikan tahun ini karena Bupati sendiri yang menjanjikan untuk pembangunan itu," kata Kepala Dinas Koperasi UKM dan Ekonomi Kreatif Mimika, Cerlly Lumenta.

Sementara itu perhatian kecil dari Dinas yang menangani sektor ekonomi kreatif ini juga belum pernah dirasakan oleh mama-mama hingga saat ini.

Noken yang diatur berbaris bagaikan pelangi namun nasib mama-mama atau ibu-ibu pembuatnya belum seindah pelangi. (*)

Pewarta : Pewarta: Jeremias Rahadat
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024