Berperawakan tegap dan rambut gondrong dengan asesoris gelang besi dan bahan rajutan lainnya melingkar di kedua lengannya, Kepala Pemerintahan Adat dari Dewan Adat Papua, Sayid Fahdal Alhamid berbicara tentang tanah adat yang mendapat legitimasi dari pemerintah.

Suami dari Asmirah kelahiran Kokas, Kaimana pada 43 tahun silam ini menyambut baik niat pemerintah yang
telah mengakui tanah adat sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Bumi Cenderawasih (Papua dan Papua Barat)

Apalagi pada Juni 2016, atas nama Menteri Agraria dan Tata Ruang RI Ferry Mursyidan Baldan, Dirjen Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Budi Sitomorang menyerahkan sertifikat hak komunal masyarakat hukum adat di Manokwari, Papua Barat.

"Kepemilikan tanah di Papua itu secara umum, pertama merupakan kepemilikan suku dan ada batas-bastasnya. Yang didalam kepemilikan tersebut ada juga kepemilikan marga atau keret dalam wilayah adat itu sendiri. Dan terkait dengan reformasi agraria, saya rasa ini ada suatu perubahan baru di Indonesia. Pemerintah mulai berikan tempat kepada pemilik tanah, hanya saja dalam melakukannnya tidak seharusnya mengejar target dalam jumlah sertifikat," katanya.

Kementrian Agraria dan Tata Ruang, ujar salah satu pendiri LSM Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua itu, tidak perlu mematok target misalnya harus membuat satu juta sertifikat tanah adat komunal karena hal itu akan menjadi persoalan di kemudian hari ditengah masyarakat adat.

"Kalau pemetaan tidak dilakukan maka akan terjadi klaim bahwa tanah tersebut milik suku atau marga ini, yang berujung pertengkaran ditengah masyarakat adat itu sendiri. Ini bahaya sekali. Investor yang ingin membangun pun akan terhambat karena persoalan tanah," katanya

Untuk itu, kata mantan Ketua HMI Cabang Jayapura periode 1999/2001 itu, ada baiknya pemerintah harus melakukan pemetaan tanah-tanah adat dengan melibatkan pemangku kepentingan agar sertifikat komunal yang dikeluarkan tidak mubasir dan diperdebatkan dikemudian hari, sehingga pembangunan yang diharapkan bisa berjalan aman dan lancar.

 "Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membantu atau memfasilitasi masyarakat adat melakukan pemetaan partisipastif wilayah tanah adat dengan melibatkan instansi terkait seperti Dinas Pertanahan, Perkebunan hingga LSM-LSM. kedua, kalau hal ini sudah dilakukan maka masyarakat sendiri selanjutanya akan melakukan proses pengakuan secara adat terhadap batas-batas tanah yang mereka buat," katanya.

Lebih lanjut, ayahanda dari Meyfina, Evan dan Daffa ini mengatakan maka proses selanjutnya atau langkah ketiga adalah melegalkan apa yang sudah dilakukan oleh masyatakat adat dalam bentuk hukum formal.

"Baik itu dibuat dalam bentuk Perda di tingkat kabupaten/kota hingga dalam bentuk sertifikat komunal oleh pemerintah lewat kementrian terkait. Sehingga selain memiliki kekuatan hukum adat tetap juga miliki kekuatan hukum posistif. Inilah namanya penghargaan dan pengakuan hak-hak adat dalam kepemilikan tanah," katanya.

Persoalan tanah adat ini, ungkap Fadhal yang juga masih menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Muslim Papua (MMP) sejak 2007 hingga kini, pernah dibicarakan dalam suatu pertemuan atau kongres di Jakarta pada November tahun lalu. "Kalau tidak salah Pak Menteri Sofyan Djalil yang hadir dan menjelaskan soal hal ini, yang pada akhirnya saya menangkap atau memahami bahwa pemerintah berusaha mensertifikasi tanah adat dalam kerangka atau konteks ekonomi, bisa digadaikan ke bank, komersialisasi, ini bahaya juga," katanya.

"Seharusnya tanah adat jangan hanya dilihat dan dipandang dalam konteks atau fungsi ekonomi, padahal tidak demikian. Tanah adat juga bisa dilihat dalam konteks lain, misalnya dalam konteks ekologi dan fungsi sosial. Fungsi ekologi, karena disana itu ada tumbuhan, hewan dan macam-macam, tetapi juga fungsi sosial ada nilai keterikatan, kekerabatan dan hukum yang kemudian mengatur tanah itu dikelola dan sebagainya," katanya.

Alumnus SMA Negeri 2 Kaimana, Papua Barat itu yang mempunyai motto 'buatlah dirimu mahal, hingga tak mungkin terbeli' menegaskan bahwa jika pemetaan belum dilakukan, ada baiknya sertifikasi tidak dilaksanakan karena pada ujungnya masyarakat adat juga yang akan menjadi korban kepentingan dari hak mereka sendiri. (*)



Pewarta : Pewarta: Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024