Timika (Antara Papua) - Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Mimika Dwi Cholifa di Timika menyatakan penerimaan daerah Kabupaten Mimika yang bersumber dari royalti PT Freeport Indonesia tahun 2017 hingga awal September baru mencapai Rp462 miliar atau masih jauh dari target yang dicanangkan yaitu sebesar Rp1,1 triliun.

Dwi Cholifa di Timika, Selasa, mengatakan ada berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan PT Freeport dalam kurun waktu selama 2017 sehingga memengaruhi produksi tambang perusahaan investasi asal Amerika Serikat itu.

Dengan kondisi itu, Dwi cukup pesimistis target penerimaan daerah Mimika dari sumber royalti PT Freeport tahun ini bakal tercapai.

"Royalti yang kita terima di bawah target yang ditetapkan sebelumna. Kami sudah mengecek ke Kementerian ESDM. Memang angkanya turun," jelas Dwi.

Menyikapi kondisi dimaksud, Dispenda Mimika telah melaporkannya ke Sekretaris Daerah Mimika Ausilius You selaku ketua tim anggaran Pemkab Mimika agar menjadi perhatian dalam penyusunan RAPBD Perubahan 2017 maupun RAPBD 2018.

Dalam pertemuan dengan jajaran Komisi B DPRD Mimika, Selasa, Dwi menegaskan langkah yang akan ditempuh Pemkab Mimika guna menutup defisit penerimaan daerah sekitar Rp600 miliar dari sumber royalti Freeport yaitu dengan menekan belanja daerah.

"Kami harus mengurangi belanja daerah. Kalau tidak, pasti terjadi defisit. Masih ada beberapa bulan ke depan, kami akan melihat perkembangan dan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya seperti apa," jelas Dwi.

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Komisi B DPRD Mimika Victor Kabey meminta Dispenda Mimika terus menggenjot penerimaan daerah dari sumber-sumber lain di luar royalti PT Freeport.

Kabey mengakui APBD Mimika hingga sekarang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi dari operasional tambang PT Freeport.

Jika produksi tambang Freeport berjalan normal tanpa ada permasalahan maka penerimaan pajak dan royalti dari PT Freeport ke Kabupaten Mimika juga ikut meningkat.

Untuk diketahui, proses produksi tambang PT Freeport mulai mengalami kegoncangan pada awal Februari 2017 saat Pemerintah Indonesia tidak lagi memperpanjang izin ekspor konsentrat melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Buntut dari penghentian izin eksport konsentrat itu, PT Freeport menerapkan program efisiensi terhadap seluruh sektor pembiayaan, termasuk memangkas sebagian pekerjanya.

Kebijakan pemangkasan sebagian karyawan atau yang disebut dengan istilah `furlough` tersebut menuai protes keras dari serikat pekerja perusahaan itu hingga memicu aksi demonstrasi dan mogok kerja massal di Timika sejak April-Mei 2017.

Dalam perjalanan, pemerintah akhirnya menerbitkan izin ekspor konsentrat sementara selama satu tahun kepada PT Freeport sejak April 2017 hingga 2018.

Namun hal itu tidak juga menyelesaikan kemelut dengan pihak serikat pekerja. Bahkan sekitar 4.200 karyawan Freeport yang ikut aksi mogok sejak April-Mei 2017 (ditambah karyawan perusahaan subkontraktor berjumlah 8.100 orang) kini telah diberhentikan oleh perusahaan karena dianggap mengundurkan diri secara sukarela. (*)

Pewarta : Pewarta: Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024