Timika (Antaranews Papua) - Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Kabupaten Mimika, Provinsi Papua meminta Pemerintah Pusat tidak hanya fokus mengejar kepemilikan saham 51 persen PT Freeport Indonesia.

"Ada penting juga yaitu memikirkan nasib sekitar 8.300 karyawan mogok kerja Freeport yang hingga kini nasibnya terkatung-katung di Timika," ucap Ketua DPC SP-KEP SPSI Mimika, Aser Gobay di Timika, Kamis.

Ia mengatakan proses negosiasi untuk mendapatkan saham 51 persen Freeport masih terus berlangsung alot antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoRan.

Di sisi lain, katanya, sudah lebih dari satu tahun sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktor yang melakukan mogok kerja dan di-PHK secara sepihak oleh perusahaan hingga kini belum mendapatkan keputusan yang jelas terkait nasib mereka.

"Kami minta pemerintah tolong memperhatikan nasib sekitar 8.300 karyawan mogok kerja Freeport. Kalaupun pemerintah sedang fokus untuk mengejar 51 persen saham Freeport, tapi juga perlu dipikirkan nasib ribuan karyawan yang di-PHK secara semena-mena oleh manajemen Freeport dan perusahaan subkontraktor. Perlu ada Peraturan Presiden untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap nasib pekerja dari tindakan semena-mena oleh perusahaan," kata Aser.

Anggota DPRD Mimika itu mengatakan sejak awal kasus mogok kerja sekitar 8.300 karyawan Freeport dan subkontraktornya bergulir, posisi karyawan kurang mendapat perlindungan maksimal dari pemerintah.

"Keputusan manajemen Freeport melakukan furlog itu kan tidak pernah diatur dalam peraturan hukum ketenagakerjaan Indonesia. Itulah yang memicu ribuan karyawan melakukan mogok kerja. Tapi mengapa pemerintah seolah-olah membenarkan tindakan furlog yang dilakukan perusahaan sehingga tidak melakukan pembelaan apapun saat perusahaan memutuskan PHK massal secara sepihak," tanya Aser Gobay, politisi Partai Nasdem itu.

Kini, ribuan karyawan mogok kerja Freeport telah memberikan kuasa kepada lembaga advokasi hukum dan HAM Lokataru untuk memperjuangkan nasib mereka melalui gugatan class action terhadap manajemen Freeport di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pihak DPC SP-KEP SPSI Mimika optimistis bahwa nantinya gugatan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat lantaran hal-hal yang dipersoalkan menyangkut nasib karyawan mogok kerja yang mendapat perlakuan tidak adil seperti hak-hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang dihentikan secara sepihak oleh perusahaan.

Kuasa Hukum karyawan mogok kerja PT Freeport Nurkholis Hidayat beberapa waktu lalu menyebutkan 15 karyawan mogok telah meninggal dunia lantaran kepesertaan BPJS Kesehatannya telah dinonaktifkan.

"Sesuai laporan dan data dari SPSI Kabupaten Mimika, sudah ada 15 karyawan mogok kerja meninggal dunia. Untuk itu, kami ajukan gugatan class action,"kata Nurkholis.

Sebelumnya, seorang buruh, Irwan Dahlan, dilaporkan meninggal dunia karena sakit dan tak mampu membiayai pengobatan lantaran tidak bisa menggunakan hak kartu BPJS Kesehatan.

Kasus tersebut mengharuskan Siti Khalimah, istri almarhm Irwan Dahlan menuntut BPJS Kesehatan Pusat sebagai tergugat I, BPJS Kesehatan Kabupaten Mimika sebagai tergugat II, serta PT Freeport Indonesia sebagai tergugat III atas tuduhan perbuatan melawan hukum.

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024