Jakarta (Antaranews Papua) - Pengamat yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyarankan manajemen PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) patut bersikap waspada dan ekstra hati-hati saat bernegosiasi dengan Freeport.

"Hal ini karena yang dihadapi sebenarnya adalah Freeport McMoran, bukan sekadar PT Freeport Indonesia," ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan Freeport McMoran bukanlah sekadar korporasi, tetapi lebih kompleks. Kompleksitas saat menghadapi Freeport McMoran paling tidak ada empat.

Pertama Freeport McMoran merasa dia telah mengikat Republik Indonesia dengan Kontrak Karyanya, dan karenanya seolah tidak mau tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia.

Kedua sejarah panjang interaksi antara Freeport McMoran dengan pemerintah Indonesia harus diperhatikan oleh manajemen Inalum.

Jangan sampai manajemen Inalum menafikan capaian-capaian yang dilakukan oleh pemerintah sekarang maupun terdahulu.

Meski demikian, harus diakui di saat-saat tertentu ada "moral hazard" dan penyimpangan yang dilakukan oleh para pejabat.

Inipun, lanjut dia, harus dipahami oleh manajemen Inalum karena bukannya tidak mungkin dieskploitasi oleh Freeport McMoran dalam perundingan.

"Ketiga kekuatan finansial Freeport McMoran tidak boleh sekalipun diremehkan. Kekuatan finansial dan ambisi untuk tetap berada di Indonesia ini yang memungkinkan Freeport McMoran untuk menyewa 'lawyer' hebat, 'public relations' yang andal, bahkan melobi orang-orang berpengaruh di Indonesia maupun AS," ungkap dia.

Keempat dalam posisi yang terpojok kerap isu disintegrasi muncul. Pemerintah Indonesia diminta untuk terlibat. Bahkan pemerintah AS diminta turun untuk membantu.

Sebelumnya, Inalum dan PT Freeport Indonesia serta Rio Tinto telah menandatangani "Heads of Agreement".

Kini saatnya para pihak menegosiasikan untuk dapat menyepakati berbagai perjanjian agar divestasi 51 persen sah secara hukum.

Pewarta : Azis K
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024