Timika (Antaranews Papua) - Jajaran Dinas Tenaga Kerja(Disnaker) Kabupaten Mimika, terus memantau perkembangan penyelesaian kasus mogok kerja ribuan karyawan PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan subkontraktornya yang kini ditangani Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Provinsi Papua.
Kepala Disnaker Mimika, Ronny S Marjen, di Timika, Kamis, mengatakan pihaknya telah menerima surat tembusan keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua terkait permasalahan mogok kerja ribuan karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak Mei 2017.
Terhadap hal itu, PT Freeport selaku pihak terkait dalam permasalahan mogok kerja karyawan juga telah memberikan klarifikasi atau hak jawab terhitung tujuh hari sejak keluarnya keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
"Kami menghormati kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua yang telah memberikan beberapa item yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan. Namun perusahaan juga mempunyai hak jawab," ujar Ronny.
Apapun prosesnya, semua pihak harus patuh dan taat kepada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian masalah ini semua diatur di situ.
Menurut dia, sejak awal kasus mogok kerja karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya bergulir, Disnaker Mimika telah memberitahukan kepada karyawan yang mogok kerja bahwa kewenangan pengawasan ketenagakerjaan telah ditarik ke tingkat provinsi menyusul terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014.
"Memang benar sejak awal rekan-rekan karyawan yang mogok menyampaikan kepada kami di Disnaker Mimika soal pemeriksaan pengawasan ini. Namun dalam beberapa pertemuan, bahkan kami menjawab melalui surat bahwa pengawasan ketenagakerjaan sudah ditarik ke provinsi," katas Ronny.
Setelah sekian lama permasalahan ini bergulir, Disnaker Papua pada beberapa waktu lalu melaksanakan pengawasan atau pemeriksaan khusus terhadap permasalahan ketenagakerjaan di PT Freeport.
"Sekarang hasilnya sudah ada. Pengawas tentu memiliki dasar pijakan dalam merumuskan keputusan. Dokumen keputusan pengawas ketenagakerjaan ini sifatnya internal disampaikan kepada pihak-pihak terkait, bukan sifatnya dipublikasikan," ujar Ronny.
Secara teknis, katanya, terdapat rambu-rambu yang harus ditaati baik oleh pemberi kerja, pekerja sendiri maupun pemerintah sebagai pengawas.
Ronny menegaskan bahwa jajaran Disnaker Mimika memiliki keterbatasan untuk dapat memfasilitasi penyelesaian masalah ketenagakerjaan di PT Freeport lantaran terdapat kewenangan pihak lain seperti Disnaker Papua maupun Kementerian Tenaga Kerja.
"Kita semua menunggu hasilnya nanti seperti apa terhadap penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan di PT Freeport yang sudah berlangsung begitu lama lebih dari satu tahun," ujarnya.
Apresiasi SPSI
Sebelumnya, Ketua DPC Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP-KEP) SPSI Kabupaten Mimika, Aser Gobay mengapresiasi keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua terkait permasalahan mogok kerja sekitar 8.300 karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya.
Salah satu poin penting dari penilaian pengawas ketenagakerjaan itu yakni perusahaan diminta mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Dalam surat keputusan itu, Disnaker Papua juga menegaskan bahwa kisruh hubungan industrial antara manajemen PT Freeport Indonesia dengan karyawan mogok kerja hingga kini belum berkekuatan hukum tetap.
Atas dasar itu, Disnaker Papua berpendapat bahwa PT Freeport berkewajiban membayar seluruh hak dan tunjangan-tunjangan karyawan mogok kerja sejak Mei 2017 hingga saat ini.
"Ini merupakan langkah maju dalam perjuangan pekerja dan keluarga besarnya di Kabupaten Mimika. Kami sudah menerima surat keputusan dari tim pengawas Disnaker Papua, di mana salah satu poin ditegaskan bahwa mogok kerja yang terjadi sejak Mei 2017 hingga sekarang adalah sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara RI," kata Aser.
Untuk diketahui, aksi mogok kerja dilakukan oleh lebih dari 8.000 orang karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Saat itu, para karyawan PT Freeport yang diwakili oleh Pimpinan Unit Kerja SP-KEP SPSI keberatan dengan kebijakan `furlough` (dirumahkan sampai batas waktu tidak tentu) yang diterapkan oleh manajemen PT. Freeport kepada sekitar 800 pekerja.
Manajemen PT Freeport menerapkan kebijakan `furlough` kepada pekerjanya semenjak Pemerintah Indonesia tidak mau memperpanjang izin ekspor konsentrat yang berakhir pada 10 Januari 2017.
Pihak PUK SP-KEP SPSI PT Freeport beberapa kali meminta manajemen Freeport untuk berunding guna membahas kebijakan `furlough` tersebut, namun permintaan tersebut tidak ditanggapi pihak manajemen perusahaan tambang emas tersebut.
Menjelang batas waktu dimulainya mogok kerja karyawan Freeport, Pemkab Mimika melalui Wakil Bupati Yohanis Bassang diketahui pernah dua kali memfasilitasi pertemuan antara pihak manajemen Freeport dengan PUK SP-KEP SPSI Freeport bertempat di Hotel Rimba Papua, Timika.
Namun pada dua pertemuan yang berakhir pagi dini hari itu, kedua belah pihak tetap berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing.
Setelah mogok kerja berlangsung, manajemen PT Freeport beberapa kali mengirim surat panggilan kepada para pekerjanya untuk segera melapor ke seksi masing-masing dalam kurun waktu tertentu.
Dalam tenggat waktu yang ditentukan tersebut, hanya beberapa orang karyawan mogok kerja kembali melapor untuk bekerja kembali ke perusahaan.
Atas dasar itu, pihak manajemen PT Freeport beranggapan bahwa para pekerja yang tidak mau melapor kembali memilih mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan mereka.
Menurut Aser, dari sekitar 8.300 pekerja yang ikut mogok kerja, terdapat lebih dari 2.600 orang merupakan pekerja asli Papua.
Dampak sosial lain yang ditimbulkan akibat kisruh berkepanjangan antara manajemen Freeport dengan para pekerjanya itu, dilaporkan terdapat 34 karyawan mogok kerja yang telah meninggal dunia.
Para karyawan mogok kerja PT Freeport bersama keluarganya diketahui tidak bisa lagi mengakses fasilitas kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Tidak sedikit pula karyawan mogok kerja yang terusir dari rumah kontrakan di Kota Timika dan menjual berbagai aset milik mereka untuk bisa bertahan hidup. Sebagian lagi kini telah kembali ke kampung halaman masing-masing.
Kepala Disnaker Mimika, Ronny S Marjen, di Timika, Kamis, mengatakan pihaknya telah menerima surat tembusan keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua terkait permasalahan mogok kerja ribuan karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak Mei 2017.
Terhadap hal itu, PT Freeport selaku pihak terkait dalam permasalahan mogok kerja karyawan juga telah memberikan klarifikasi atau hak jawab terhitung tujuh hari sejak keluarnya keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua.
"Kami menghormati kewenangan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua yang telah memberikan beberapa item yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan. Namun perusahaan juga mempunyai hak jawab," ujar Ronny.
Apapun prosesnya, semua pihak harus patuh dan taat kepada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Perselisihan Hubungan Industrial Nomor 2 Tahun 2004. Mekanisme penyelesaian masalah ini semua diatur di situ.
Menurut dia, sejak awal kasus mogok kerja karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya bergulir, Disnaker Mimika telah memberitahukan kepada karyawan yang mogok kerja bahwa kewenangan pengawasan ketenagakerjaan telah ditarik ke tingkat provinsi menyusul terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014.
"Memang benar sejak awal rekan-rekan karyawan yang mogok menyampaikan kepada kami di Disnaker Mimika soal pemeriksaan pengawasan ini. Namun dalam beberapa pertemuan, bahkan kami menjawab melalui surat bahwa pengawasan ketenagakerjaan sudah ditarik ke provinsi," katas Ronny.
Setelah sekian lama permasalahan ini bergulir, Disnaker Papua pada beberapa waktu lalu melaksanakan pengawasan atau pemeriksaan khusus terhadap permasalahan ketenagakerjaan di PT Freeport.
"Sekarang hasilnya sudah ada. Pengawas tentu memiliki dasar pijakan dalam merumuskan keputusan. Dokumen keputusan pengawas ketenagakerjaan ini sifatnya internal disampaikan kepada pihak-pihak terkait, bukan sifatnya dipublikasikan," ujar Ronny.
Secara teknis, katanya, terdapat rambu-rambu yang harus ditaati baik oleh pemberi kerja, pekerja sendiri maupun pemerintah sebagai pengawas.
Ronny menegaskan bahwa jajaran Disnaker Mimika memiliki keterbatasan untuk dapat memfasilitasi penyelesaian masalah ketenagakerjaan di PT Freeport lantaran terdapat kewenangan pihak lain seperti Disnaker Papua maupun Kementerian Tenaga Kerja.
"Kita semua menunggu hasilnya nanti seperti apa terhadap penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan di PT Freeport yang sudah berlangsung begitu lama lebih dari satu tahun," ujarnya.
Apresiasi SPSI
Sebelumnya, Ketua DPC Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP-KEP) SPSI Kabupaten Mimika, Aser Gobay mengapresiasi keputusan Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Papua terkait permasalahan mogok kerja sekitar 8.300 karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya.
Salah satu poin penting dari penilaian pengawas ketenagakerjaan itu yakni perusahaan diminta mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Dalam surat keputusan itu, Disnaker Papua juga menegaskan bahwa kisruh hubungan industrial antara manajemen PT Freeport Indonesia dengan karyawan mogok kerja hingga kini belum berkekuatan hukum tetap.
Atas dasar itu, Disnaker Papua berpendapat bahwa PT Freeport berkewajiban membayar seluruh hak dan tunjangan-tunjangan karyawan mogok kerja sejak Mei 2017 hingga saat ini.
"Ini merupakan langkah maju dalam perjuangan pekerja dan keluarga besarnya di Kabupaten Mimika. Kami sudah menerima surat keputusan dari tim pengawas Disnaker Papua, di mana salah satu poin ditegaskan bahwa mogok kerja yang terjadi sejak Mei 2017 hingga sekarang adalah sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara RI," kata Aser.
Untuk diketahui, aksi mogok kerja dilakukan oleh lebih dari 8.000 orang karyawan PT Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Saat itu, para karyawan PT Freeport yang diwakili oleh Pimpinan Unit Kerja SP-KEP SPSI keberatan dengan kebijakan `furlough` (dirumahkan sampai batas waktu tidak tentu) yang diterapkan oleh manajemen PT. Freeport kepada sekitar 800 pekerja.
Manajemen PT Freeport menerapkan kebijakan `furlough` kepada pekerjanya semenjak Pemerintah Indonesia tidak mau memperpanjang izin ekspor konsentrat yang berakhir pada 10 Januari 2017.
Pihak PUK SP-KEP SPSI PT Freeport beberapa kali meminta manajemen Freeport untuk berunding guna membahas kebijakan `furlough` tersebut, namun permintaan tersebut tidak ditanggapi pihak manajemen perusahaan tambang emas tersebut.
Menjelang batas waktu dimulainya mogok kerja karyawan Freeport, Pemkab Mimika melalui Wakil Bupati Yohanis Bassang diketahui pernah dua kali memfasilitasi pertemuan antara pihak manajemen Freeport dengan PUK SP-KEP SPSI Freeport bertempat di Hotel Rimba Papua, Timika.
Namun pada dua pertemuan yang berakhir pagi dini hari itu, kedua belah pihak tetap berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing.
Setelah mogok kerja berlangsung, manajemen PT Freeport beberapa kali mengirim surat panggilan kepada para pekerjanya untuk segera melapor ke seksi masing-masing dalam kurun waktu tertentu.
Dalam tenggat waktu yang ditentukan tersebut, hanya beberapa orang karyawan mogok kerja kembali melapor untuk bekerja kembali ke perusahaan.
Atas dasar itu, pihak manajemen PT Freeport beranggapan bahwa para pekerja yang tidak mau melapor kembali memilih mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaan mereka.
Menurut Aser, dari sekitar 8.300 pekerja yang ikut mogok kerja, terdapat lebih dari 2.600 orang merupakan pekerja asli Papua.
Dampak sosial lain yang ditimbulkan akibat kisruh berkepanjangan antara manajemen Freeport dengan para pekerjanya itu, dilaporkan terdapat 34 karyawan mogok kerja yang telah meninggal dunia.
Para karyawan mogok kerja PT Freeport bersama keluarganya diketahui tidak bisa lagi mengakses fasilitas kesehatan melalui BPJS Kesehatan. Tidak sedikit pula karyawan mogok kerja yang terusir dari rumah kontrakan di Kota Timika dan menjual berbagai aset milik mereka untuk bisa bertahan hidup. Sebagian lagi kini telah kembali ke kampung halaman masing-masing.