Jayapura (Antaranews Papua) - Akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Marinus Yaung menilai bahwa pejabat dan elit politik di Papua belum optimal dalam mengimplementasikan Otonomi Khusus (Otsus) karena rakyat masih dibawah garis kemiskinan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Marinus Yaung ketika dihubungi Antara dari Kota Jayapura, Selasa guna menyambut dan memperingati undang-undang Otsus yang genap berusia 17 tahun. UU Otsus lahir pada 21 November 2001 yang disahkan oleh Presiden Megawati.

"Jadi, saya harapkan dan meminta dalam menyambut 21 November 2018, pejabat dan elit politik Papua harus minta maaf kepada rakyat Papua. Selama 17 tahun ini apa saja yang sudah dibuat untuk rakyat Papua, mengapa masih ada yang dikabarkan meninggal karena gizi buruk, mati diatas kekayaan alamnya yang berlimpah," kata dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Uncen itu.

Menurut dia, seharusnya berbagai peristiwa tersebut menjadi perenungan besar bagi semua pihak, mulai dari gubernur, bupati/wali kota hingga pemangku kepentingan bahwa hingga kini masih banyak rakyat Papua yang belum sejahtera.

"Jujur saja kepada rakyat Papua, minta maaf kepada mereka, bahwa kami 17 tahun ini, bahwa kami belum berikan yang terbaik, kami telah melakukan pelanggaran besar diatas tanah ini dengan tidak mengelola kekuasaan dengan baik dan guna mendatangkan kesejahteraan bagi orang Papua, renungkan ini," katanya.

Namun, jika berbicara Otsus lebih jauh, Marinus mengakui bahwa banyak indikator yang bisa dipakai untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari sudut pandang masing-masing orang sesuai dengan kepentingannya dan latar belakangnya.

"Jika dari sudut pandang saya sebagai dosen hubungan internasional, maka saya akan tarik kebelakang dulu mulai dari lahirnya Otsus. Bahwa pemberian Otsus kepada Papua, karena negara mencoba mencegah agar Papua tidak ikuti jejak Timor Leste yang memisahkan diri pada 1999," katanya.

"Ini suatu ketakutan yang muncul dari pemerintah saat itu, maka pemerintah mencari solusi terbaik dengan menawarkan Otsus bagi Papua," sambungnya.

Tapi waktu diberikan pada masa Pemerintahan Megawati, kata dia, Otsus diberikan dengan setengah hati atau artinya pemerintah belum sepenuhnya mempercayai bahwa Otsus adalah solusi bagi orang Papua, ada ketakutan dibalik itu.

"Itu sebabnya dalam implementasi Otsus, perdasi dan perdasus itu, sangat lambat sekali karena memang ada ketakutan berlebihan terhadap Otsus oleh pemerintah pusat, pemerintah meyakini atau mencurigai bahwa Otsus ini hanya jalan tol menuju kepada Papua merdeka," katanya.

"Karena Otsus akan memberikan kewenangan yang besar kepada elit politik lokal Papua untuk lebih lagi mengobarkan semangat rakyat selama Otsus itu berlaku, Otsus dirancang memang gagal oleh negara," katanya lagi.

Situasi ini, lanjut dia, rupanya dibaca dan dipahami baik oleh pejabat dan elit politik Papua. Mereka sadar betul bahwa pemerintah pusat takut dengan Otsus. Ketakutan ini dipakai untuk meraup keuntungan pribadi ataupun keuntungan kelompok mereka.

"Setiap kali kita dengar ketika pejabat Papua bicara soal Otsus, Jakarta akan bilang yang penting jangan minta merdeka. Ini mereka tahu bahwa Jakarta takut dengan perkembangan politik di Papua, dan memang dimanfaatkan untuk mencari posisi, kedudukan atau jabatan mereka, dengan meminta pemekaran wilayah, contohnya. Ini mempertahankan posisi mereka, inikan keuntungan," katanya.

Kembali lagi keatas tadi, kata Marinus, mengapa elit politik dan pejabat Papua harus minta maaf, itu karena mereka tidak sepenuh hati untuk memanfaatkan kewenangan besar dari Otsus guna mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai program pembangunan.

Misalnya melaksanakan program sister city dengan provinsi dari negara-negara maju, contohnya di Cina atau Jepang yang ekonominya di Asia begitu baik dibandingkan dengan negara lain di dunia.

"Contohnya program sister city dengan salah satu provinsi di Jepang, ini bisa jadi jembatan untuk ekspor barang, misalnya dibidang pertanian bisa ekspor, sagu, kopi, buah merah dan buah matoa, yang merupakan komoditas lokal yang bernilai jual tinggi," katanya.,

Sebaliknya dari provinsi negara maju tersebut, Papua bisa mendatangkan alat-alat pertanian untuk lebih mendukung peningkatan penghasilan di sektor pertanian, yang berujung pada peningkatan ekonomi masyarakat Papua. "Tapi ini tidak dilakukan atau mungkin sudah dilakukan tapi tidak dipertanggungjawabkan ke publik sehingga tidak ada gaungnya, dan saya dengar baru mau dengan sagu untuk diekspor," katanya.

Padahal jika berbicara sagu, Papua memiliki luasan hektare sagu yang terbesar di Indonesia tetapi peluang itu lebih dibaca oleh Provinsi Riau dengan mengekspor ke Cina dan Jepang dengan beragam produk turunan dari tanaman sagu. "Mulai dari mie, agar-agar, tepung dan lainnya, Provinsi Riau jual ke Cina dan Jepang. Kita di Papua malah baru mau mulai, padahal dengan adanya Otsus seharusnya itu sudah berjalan sejak lama," katanya membandingkan.

Marinus yang juga seorang dosen pascasarjana itu berharap dengan sisa waktu tujuh tahun lagi Otsus berlaku, ada baiknya semua potensi yang bisa mendorong kemajuan di Papua bisa digunakan dan dipakai, sehingga target pencapaian masyarakat asli Papua yang maju dan mandiri bisa tercapai.

"Selama ini kita terbuai dan tidak tahu cara mengembangkan kekuasaan yang besar dalam Otsus ini, padahal pejabat dan elit politik orang asli Papua namun tidak punya kemampuan untuk lakukan hal ini. Kita punya jabatan politik tapi tidak punya kemampuan yang besar, jadi memang kekuasaan ditangan orang yang salah," katanya.

"Kekuasaan ditangan orang yang keliru akan mendatangkan malapetaka, kekuasaan ditangan orang yang tidak kompeten akan mendatangkan bencana, karena itu memang kekuasaan harus benar-benar ditangan orang yang berkompeten untuk bisa mengelola kekuasaan dengan baik dengan harapan Papua maju di segala bidang," katanya lagi.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024