Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Papua, sangat terkenal dengan kerajinan gerabahnya. 
   
Kampung ini bisa ditempuh dengan menggunakan perahu dari bibir pantai Yahim, Distrik Sentani Kota, atau bisa melalui bibir pantai Khalkote, Distrik Sentani Timur tempat perhelatan Festival Danau Sentani yang digelar tiap bulan Juni.
   
Selain bisa dijangkau melalui Danau Sentani, kampung yang memiliki jumlah penduduk 285 jiwa (data 2015) itu bisa dilalui lewat darat, yakni melalui Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura dengan lama perjalanan kurang lebih satu jam setengah, tepatnya di belakang destinasi wisata baru yang sedang digandrungi anak muda, yakni Danau Love.
   
Kampung ini memiliki keunikan tersendiri, karena warga setempat mempunyai keahlian turun temurun membuat gerabah atau bahasa setempat disebut "sempe".
   
"Sempe" sudah 'mendarah daging' bagi warga kampung tersebut, karena kerajinan tersebut sangat terkenal dari Abar, yang biasanya dicari oleh warga kampung lainnya di Kabupaten dan Kota Jayapura atau daerah lainnya di Papua.
   
Namun, belakangan ini sempe kian terancam eksistensinya, karena peminat dan pembelinya berkurang. Warga masa kini lebih  suka membeli wadah yang terbuat dari bahan plastik atau alumnium.
    
Hal itu membuat para tokoh kampung mencoba berupaya melestarikan atau mempertahankan kerajinan sempe yang biasanya digunakan berbagai fungsi, seperti fungsi sebagai peralatan dapur, fungsi sosial sebagai mas kawin dan fungsi religi sebagai wadah untuk bekal kubur.
   
Kepala suku Kampung Abar, Naftali Felle mengatakan upaya yang dilakukan oleh pihaknya untuk melestarikan kerajinan tersebut diantaranya mengikuti pelatihan membuat kerajinan sempe yang lebih inovasi dan kreatif.
   
"Mama-mama dari Kampung Abar pernah ikut pelatihan di Manado, Sulawesi Utara dan di Jawa. Pelatihan bagaimana membuat bentuk gerabah lainnya, seperti honai, asbak, vas bunga dan hal lainya," katanya.
   
Selain pelatihan itu, Kampung Abar, ungkap dia pernah mendapatkan bantuan mesin pemutar atau pembuat gerabah dari instansi terkait, serta bantuan tempat pembakaran gerabah serta bangunan tempat penyimpanannya.
   
Hanya saja, pelatihan kapasitas dan bantuan tersebut dirasakan masih kurang memadai untuk menarik minat warga agar membeli sempe, atau paling tidak warga secara luas bisa mengetahui bahwa Kampung Abar adalah satu-satunya kampung di Papua yang hingga kini masih membuat kerajinan dari tanah liat.
   
"Sejak tahun lalu, dan tahun ini, saya dan beberapa tokoh masyarakat memprakarsai menggelar Festival Makan Papeda dengan sempe. Tahun ini kali kedua, digelar tiap September," katanya.
   
Dan hal itu mulai menuai hasil, dimana dari dua kali gelar banyak warga yang datang ke Kampung Abar untuk ikuti festival tersebut. Karena selain makan papeda secara gratis di sempe, warga berhak membawa pulang wadah atau sempe tempat yang dipakai untuk makan tersebut.
   
"Jadi, selain festival itu, rekan-rekan wartawan, dan rekan-rekan dari komunitas giude seperti dari Papua Tour Guide, Jungle Chef dan arkeolog ikut serta mempublikasikan sempe kepada khalayak luas. Ini adalah upaya kami mempertahankan gerabah atau sempe," katanya.
   
Mengenai cara membuat sempe, Naftali mengungkapkan bahwa masih dengan cara tradisional meskipun ada bantuan mesin pemutar dari pemerintah setempat maupun dari pihak ketiga. Karena rata-rata kaum hawa sebagai pengrajin di Kampung Abar lebih merasa nyaman dengan alat tradisional.
   
Tetapi, ada juga yang menggunakan mesin pemutar untuk membuat sempe dari berbagai bentuk atau jenis dan kegunaannya.          Sementara bahan baku membuat sempe dari tanah liat atau tanah lempung sangat mudah didapatkan karena terletak tak jauh dari perbukitan kampung.
   
Sedangkan jenis sempe Kampung Abar ada bermacam-macam, sesuai nama setempat seperti Helai, bentuk seperti cawan dengan dudukan terbuat dari anyaman rotan. Helai biasanya digunakan untuk wadah atau tempat makan pepeda.
   
Lalu ada Hele, seperti tempat yang gunanya sebagai tempat penyimpan tepung sagu untuk buat pepeda. Ehe Hele, cawan untuk tempat ikan atau sayur dan Bhu Ebe, seperti tempat tapi kegunaanya untuk tempat simpan air serta Hote adalah piring dan Kendangalu tempat untuk membakar kue sagu.
   
"Kalau motif sempe nya, seperti motif hambu wale wale atau motif seperti ular, motif yolu seperti ban dan motif yoniki, ini motif keondoafian. Dan kalau harga tergantung ukuran dan jenisnya, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp500 ribu," kata Naftali Felle. 
    
Sejarah Gerabah Kampung Abar
Menurut Arkeolog Papua, Hari Suroto munculnya kerajinan gerabah di Kampung Abar dimulai oleh marga Felle dari suku Assatouw berpuluh tahun lalu. Kerajinan gerabah tersebut diperkenalkan oleh nenek moyang marga Felle yang bermigrasi dari timur dengan berlayar hingga tiba di wilayah Papua.
   
"Mereka datang dengan membawa tanah liat (kenda) yang diikat dalam wadah dari pelepah nibung (bai) dari negeri asalnya," kata alumni Universitas Udayana Bali.      
   
Ketika bermigrasi, nenek moyang marga Felle tersebut tiba di kampung Kayu Batu di wilayah Teluk Humbold, Kota Jayapura dan mereka tinggal di tempat tersebut untuk beberapa waktu dan selanjutnya melakukan perjalanan ke arah Danau Sentani.
   
Namun demikian tanah liat yang dibawa dari timur tersebut, ada sebagian yang terjatuh di wilayah Kayu Batu. Hal ini mungkin yang membuat masyarakat yang tinggal di kampung Kayu Batu juga membuat gerabah.
   
Perjalanan jauh dari Kampung Kayu Batu hingga tiba di kawasan Danau Sentani yaitu di Kampung Yobe dan mereka tinggal di tempat tersebut sampai beberapa generasi. Namun karena ada masalah di dusun kelapa akhirnya merekapun berpindah lagi dan tiba di Kampung Atamali. 
   
Di Kampung Atamali, lanjut Hari, mereka diterima dengan baik dan diberi tempat tinggal oleh suku yang ada. Kemudian nenek moyang marga Felle-pun tinggal bersama di Kampung Atamali untuk beberapa waktu dan ketika itu juga tanah liat yang mereka bawa dari timur dikembalikan ke alam di wilayah kampung yang sekarang disebut kampung tua atau kampung Ebale. 
   
"Dan mereka juga tinggal di wilayah tersebut serta membuat kerajinan gerabah. Selanjutnya nenek moyang suku Felle membuka kampung baru ke arah selatan yaitu di tempat kampung Abar sekarang ini berdiri," katanya yang mengaku dekat dengan Naftali Felle.
    
Gerabah Jadi Pelajaran Sekolah
Dalam upaya melestarikan gerabah, kata Hari, Balai Arkeologi Papua bekerjasama dengan sejumlah pihak membuat dan mencetak buku muatan lokal Gerabah Abar pada 2017 untuk pelajar di Kabupaten dan Kota Jayapura.
   
"Buku muatan lokal Tradisi Gerabah Abar produksi 2017 itu untuk pelajar kelas 7 SMP. Narasumbernya dan penyusun bukunya kami libatkan semua pihak, mulai dari tokoh di Kampung Abar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, LPMP, Universitas Cenderawasih dan sejumlah guru sejarah," kata Hari Suroto.
   
Roberth Qui, salah satu penyusun buku muatan lokal Tradisi Gerabah Abar mengatakan bahasa yang digunakan dalam buku tersebut dibuat seringan mungkin dengan harapan mudah dipahami oleh pelajar SMP. 
   
"SMP Negeri 1 Sentani, Kabupaten Jayapura menjadi salah satu pilot project pengenalan dan pembelajaran dari buku muatan lokal Gerabah Abar bersama SMP Negei 2 Sentani, Kabupaten Jayapura dan SMP Negeri 6 Kota Jayapura," kata Roberth Qui.
   
Putri Hanifah, pelajar SMP Negeri 1 Sentani, Kabupaten Jayapura mengakui bahwa pelajaran muatan lokal Tradisi Gerabah Abar telah menambah wawasan terkait sejarah dan budaya dari Kampung Abar.
   
"Iya, bahasanya mudah dipahami, sehingga kami bisa cepat mengerti," katanya diamini temannya, Salsabilah Rahmatika.
   
Tria Safira, teman lainnya Putri Hanifah juga dari SMP Negeri 1 Sentani mengungkapkan selain sejarah gerabah dan Kampung Abar, buku tersebut juga mengajarkan bagaimana membuat gerabah.
   
"Kalau untuk pelajaran sangat mendukung kreatifitas kami dengan membentuk atau membuat gerabah seperti gambar dalam buku tersebut. Dan yang paling utama adalah pengetahuan tentang sejarah Kampung Abar yang terletak di pinggir Danau Sentani," katanya.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024