Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menolak menanggapi petisi referendum kemerdekaan Papua Barat, yang diserahkan oleh pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda kepada Komisi Tinggi HAM PBB.
Melalui unggahan dalam akun media sosialnya, Benny Wenda menyebut petisi tersebut telah ditandatangani oleh 1,8 juta warga Papua Barat yang menuntut kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, setelah puluhan tahun menderita akibat genosida dan pendudukan yang dilakukan otoritas Indonesia.
"Saya tidak bisa bicara karena itu klaim dia. Polanya Benny Wenda itu biasanya manipulatif dan 'fake news', jadi kami tidak bisa mengatakan apapun mengenai 1,8 juta (penandatanganan petisi)," kata Menlu usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Kamis.
Menlu Retno juga tidak ingin berspekulasi mengenai petisi yang disebutnya tidak didasarkan pada maksud baik (good intention), karena diserahkan kepada KT HAM PBB Michelle Bachelet dalam pertemuan dengan delegasi Vanuatu.
Benny, yang tidak masuk dalam daftar delegasi resmi Vanuatu, menyampaikan petisi tersebut kepada Bachelet dalam pertemuan yang ditujukan untuk membahas laporan penegakan HAM tahunan (Universal Periodic Review/UPR) Vanuatu di Dewan HAM PBB.
Insiden tersebut bukan hanya mengejutkan Bachelet, tetapi juga menempatkannya pada situasi yang tidak dapat ia hindari (fait accompli).
"Dari penjelasan KT HAM sudah jelas bahwa dia merasa di-fait accompli dalam pertemuan tersebut, karena yang bersangkutan bicara mengenai Papua di akhir pertemuan,¿ kata Menlu Retno.
Untuk menyikapi kejadian ini, pemerintah Indonesia telah mengirimkan nota protes kepada pemerintah Vanuatu yang dianggap tidak menghormati kedaulatan RI dengan mendukung gerakan separatis Papua.
Ini bukan kali pertama Vanuatu mendukung gerakan separatis Papua. Hampir setiap tahun Vanuatu menyuarakan masalah Papua dalam berbagai forum PBB untuk menarik dukungan dan perhatian internasional terhadap isu ini.
Pada 2016 dalam Sidang Majelis Umum PBB, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya meminta diadakan penyelidikan Dewan HAM PBB terhadap situasi di Papua. Tindakan ini berulang pada 2017, saat Vanuatu dan Solomon Islands mengangkat isu yang sama dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Tahun lalu, Vanuatu kembali mendorong penyelidikan dugaan pelanggaran HAM di Papua dan dukungan dunia untuk diadakan referendum di Papua.
Tuduhan yang disampaikan Vanuatu selalu dibantah para diplomat RI yang bertugas di New York. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengundang tim KT HAM PBB untuk berkunjung dan menilai langsung situasi Papua.
Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa Hasan Kleib sedang mengkoordinasikan kunjungan yang dijadwalkan pada paruh pertama 2019.
Menanggapi petisi yang disampaikan Benny Wenda, Dubes Hasan berpendapat petisi tersebut tidak akan langsung ditindaklanjuti oleh KT HAM PBB karena berkaitan dengan referendum yang sama sekali di luar mandat kantor KT HAM PBB.
Hasan juga menyebut petisi tersebut bukan petisi baru, melainkan salinan yang pernah dibuat Benny pada 2017.
Melalui unggahan dalam akun media sosialnya, Benny Wenda menyebut petisi tersebut telah ditandatangani oleh 1,8 juta warga Papua Barat yang menuntut kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, setelah puluhan tahun menderita akibat genosida dan pendudukan yang dilakukan otoritas Indonesia.
"Saya tidak bisa bicara karena itu klaim dia. Polanya Benny Wenda itu biasanya manipulatif dan 'fake news', jadi kami tidak bisa mengatakan apapun mengenai 1,8 juta (penandatanganan petisi)," kata Menlu usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Kamis.
Menlu Retno juga tidak ingin berspekulasi mengenai petisi yang disebutnya tidak didasarkan pada maksud baik (good intention), karena diserahkan kepada KT HAM PBB Michelle Bachelet dalam pertemuan dengan delegasi Vanuatu.
Benny, yang tidak masuk dalam daftar delegasi resmi Vanuatu, menyampaikan petisi tersebut kepada Bachelet dalam pertemuan yang ditujukan untuk membahas laporan penegakan HAM tahunan (Universal Periodic Review/UPR) Vanuatu di Dewan HAM PBB.
Insiden tersebut bukan hanya mengejutkan Bachelet, tetapi juga menempatkannya pada situasi yang tidak dapat ia hindari (fait accompli).
"Dari penjelasan KT HAM sudah jelas bahwa dia merasa di-fait accompli dalam pertemuan tersebut, karena yang bersangkutan bicara mengenai Papua di akhir pertemuan,¿ kata Menlu Retno.
Untuk menyikapi kejadian ini, pemerintah Indonesia telah mengirimkan nota protes kepada pemerintah Vanuatu yang dianggap tidak menghormati kedaulatan RI dengan mendukung gerakan separatis Papua.
Ini bukan kali pertama Vanuatu mendukung gerakan separatis Papua. Hampir setiap tahun Vanuatu menyuarakan masalah Papua dalam berbagai forum PBB untuk menarik dukungan dan perhatian internasional terhadap isu ini.
Pada 2016 dalam Sidang Majelis Umum PBB, Vanuatu bersama lima negara Pasifik lainnya meminta diadakan penyelidikan Dewan HAM PBB terhadap situasi di Papua. Tindakan ini berulang pada 2017, saat Vanuatu dan Solomon Islands mengangkat isu yang sama dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Tahun lalu, Vanuatu kembali mendorong penyelidikan dugaan pelanggaran HAM di Papua dan dukungan dunia untuk diadakan referendum di Papua.
Tuduhan yang disampaikan Vanuatu selalu dibantah para diplomat RI yang bertugas di New York. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengundang tim KT HAM PBB untuk berkunjung dan menilai langsung situasi Papua.
Duta Besar RI untuk PBB di Jenewa Hasan Kleib sedang mengkoordinasikan kunjungan yang dijadwalkan pada paruh pertama 2019.
Menanggapi petisi yang disampaikan Benny Wenda, Dubes Hasan berpendapat petisi tersebut tidak akan langsung ditindaklanjuti oleh KT HAM PBB karena berkaitan dengan referendum yang sama sekali di luar mandat kantor KT HAM PBB.
Hasan juga menyebut petisi tersebut bukan petisi baru, melainkan salinan yang pernah dibuat Benny pada 2017.