Jayapura (ANTARA News Papua)- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mendesak kedua calon presiden mengedepankan isu lingkungan dan bukan kepentingan korporasi di provinsi paling timur ini pada debat kedua kedua nanti.

Terhitung sejak integrasi Papua ke Indonesia, masalah lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah hingga kini. Dalam tiga fase, misalnya pasca integrasi, reformasi, hingga Otonomi Khusus, persoalan buruknya lingkungan belum maksimal jadi kebijakan pemerintah.

Sebagai contoh limbah tailing PT. Freeport Indonesia, pemerintah hanya mengambil keuntungan dari hasil tambang, tanpa peduli dengan lingkungan hidup sebagai kesatuan kehidupan masyarakat setempat.

Berbagai pihak dan Walhi telah mendesak pemerintah agar segera meminta perusahaan multinasional asal Amerika itu untuk memulihkan kondisi lingkungan.

Namun, hingga kini terabaikan. Hasil audit BPK RI, dimana terjadi kerusakan ekosistem triliunan rupiah menjadi catatan kritis buruknya ketimpangan kebijakan yang melanggengkan orientasi profit daripada nilai kemanusiaan dan ekosistem.

Ironisnya, suara masyarakat asli/lokal yang menuntut perbaikan lingkungan sejak Kontrak Karya (KK), didukung dengan kelompok/Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) di era reformasi hingga Otonomi Khusus, menuntut agar perbaikan lingkungan, tetapi tak satu pun para pihak yang berkepentingan melakukan perbaikkan dan/atau pemulihan lingkungan.

Selain perusahaan pertambangan raksasa itu, perkebunan sawit dan industri ekstraktif lainnya pada 1980, turut menghancurkan ekosistem dan lingkungan hidup. Orang asli Papua dijanjikan bahwa dengan hadirnya investasi akan membawa perubahan hidup yang lebih baik, disamping terbukanya ruang penyerapan tenaga kerja.

Reformasi pada 1998 yang sejatinya memberi akses kebebasan bagi masyarakat untuk menguasai sumber kehidupan dan untuk hidup berkelanjutan tetap saja terbungkam oleh kelompok kapitalis perkebunan sawit di beberapa daerah di Papua.

Sumber Daya Alam (SDA) yang menjamin lingkungan bersih dan sehat tergantikan dengan pencemaran, banjir dan/atau bencana ekologis akibat praktik penguasaan dan perampasan sumber kehidupan masyarakat untuk industri ekstraktif.

Berbagai persoalan yang timbul akibat massifnya pemerintah melanggengkan kompromi berbasis investasi telah mencederai amanat konstitusi dan lahirnya generasi baru perusak lingkungan yang bersandar pada kebijakan negara, terus menjamur hingga kini.

Otonomi Khusus
Sebagai solusi penyelesaian ketimpangan pembangunan di provinsi Papua oleh Pemerintah Pusat, memberi kewenangan kepada provinsi Papua dengan suguhan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus.

Cita-cita UU ini adalah "Meningkatkan Taraf Hidup Orang Asli Papua". Hingga di usianya yang ke 19 tahun, Orang Asli Papua, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup semakin tereksploitasi oleh proyek-proyek nasional dan asing yang melihat kekayaan alam sebagai komoditi tanpa mempertimbangkan ekosistem, daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan amanat UU Otsus (Bab 10 dan Bab 19). Inisiasi pemerintah Pusat dalam praktik kerjasama ini menunjukan belum berubahnya paradigma pembangunan yang semakin memperburuk  tingkat kerusakan lingkungan dari periode pemerintahan sebelumnya hingga presiden Joko Widodo.

Disisi lain pandangan pemerintah terhadap orang asli Papua dengan keadaannya, dimana kondisi tersebut merupakan ?dampak dari proyek-proyek masa lalu. Keadaan ini digunakan sebagai justifikasi menghadirkan investasi industri ekstraktif dengan dalil kesejahteraan dan pemerataan ekonomi bagi orang asli Papua.

Hasilnya, kehadiran investasi telah menambah daftar panjang komunitas terdampak kepada orang asli Papua maupun kerusakan lingkungan, serta hilangnya sumber pangan lokal.

Diketahui, sebagaimana sumber daya hutan di Papua, memiliki asas fungsi dan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan manusia dan spesies, diharapkan dapat memberi keuntungan ekonomi bagi Orang Asli Papua dan membantu serta mendukung ancaman perubahan iklim.

Namun, di era Otonomi Khusus, Pemerintah Pusat justru memiskinkan orang asli Papua serta pada saat yang sama perluasan kerusakan lingkungan semakin massif dengan ekspansi industri ekstraktif.

Hal ini ditandai dengan intervensi Pemerintah Pusat melalui kebijakan hingga hilangnya kewenangan pengelolaan hutan bagi orang asli Papua yang dilandaskan pada Perdasus 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.

Di era Presiden Jokowi, nasib orang asli Papua untuk mengelola hutannya diperburuk dengan mengeneralisir kebijakan Permen 83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Sementara peredaran kayu (legal dan ilegal) di Papua telah mencapai ratusan kontainer, belum dilihat sebagai penyebab terbesar kerusakan lingkungan dan kemiskinan terstruktur bagi orang asli Papua.

Hingga kini tidak ada upaya serius pemerintah memberi akses legal bagi orang asli Papua agar dapat mengelola hutan, baik kayu maupun non kayu. Sejalan dengan itu proyek infrastruktur jalan yang membabat hutan dalam jutaan kilo meter adalah ancaman lain bagi kerusakan lingkungan yang bakal membawa persoalan baru di kemudian hari.

Rangkaian catatan di atas merupakan fakta yang terjadi dari waktu ke waktu dan perlu menjadi perhatian kedua calon presiden dan wakil presiden dalam debat kedua nanti.

Direktur Eksekutif Walhi Papua Aies Rumbekwan di Jayapura, mengatakan sebagai organisasi lingkungan, Walhi Papua mendesak kepada kedua calon presiden untuk melakukan upaya penyelamatan lingkungan dari tingginya deforestasi demi memastikan kelangsungan hidup manusia dan spesies dalam menghadapi perubahan iklim global.

Ia menambahkan, oleh karena deforestasi yang terjadi dalam pandangan pemerintah dan korporasi, lebih bertumpu pada kepentingan ekonomi sesaat.

Walhi Papua melihat deforestasi sebagai salah satu penyumbang emisi yang berdampak pada perubahan iklim (pemanasan global), yang pada gilirannya akan mengancam kehidupan manusia dan spesies di dunia yang sulit diatasi.

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2025