Jayapura (ANTARA) - Aktivis di Kota Jayapura, Provinsi Papua menilai Bawaslu setempat tidak tegas dan kurang transparan dalam menindak aduan atau laporan dugaan kecurangan pemilu legislatif dan presiden 2019.

"Kami menilai Bawaslu Kota Jayapura tidak tegas dan tidak transparan dalam proses aduan pelanggaran pemilu 2019," kata Panji Agung Mangkunegoro, Ketua Forum Peduli Pembangunan Demokrasi (FPPD) Papua di Kota Jayapura, Jumat.

Menurut dia, dari sejumlah kasus yang ditangani oleh Bawaslu Kota Jayapura rata-rata hanya berupa undangan klarifikasi guna dimintai keterangan terkait kasus yang dilaporkan, tetapi hingga kini belum ada satupun kasus yang diteruskan ke Gakkumdu setempat untuk diproses hukum.

"Ini kami lihat bahwa Bawaslu Kota Jayapura belum bekerja maksimal, kami nilai bahwa tidak ada kasus yang diungkap. Padahal banyak fakta kesalahan yang terjadi," katanya.

Contohnya, kata dia, soal penundaan pemilu di dua distrik yakni Distrik Jayapura Selatan (Japsel) dan Distrik Abepura. Lalu, soal penghitungan suara yang amburadul ditingkat distrik hingga di tingkat KPU Kota Jayapura, banyak pelanggaran yang terjadi tetapi sengaja dibiarkan.

"Yang kami catat dan yang diumumkan ke publik hanya soal penggelembungan suara di Distrik Heram. Sementara berbagai surat keberatan yang diterbitkan pada 16 Mei 2019 terkait dugaan kecurangan di Distrik Japsel, Distrik Jayapura Utara, Distrik Abepura serta Heram tidak ditindaklanjuti," katanya sambil menunjukkan surat salinan surat yang dimaksud.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa ada temuan yang disampaikan oleh Pansus DPRD Kota Jayapura bahwa sekitar 700 PPD dalam pemilu 2019 di Kota Jayapura tidak memiliki SK, sehingga bisa diduga fungsi pengawasan yang disematkan kepada Bawaslu setempat sebagai wasit tidak berjalan.

"Ini baru beberapa contoh dugaan kasus. Lalu, kami juga menemukan bahwa hasil penghitungan suara di tingkat KPPS ternyata banyak yang salinannya tidak diberikan kepada saksi caleg atau partai, bahkan Panwas setempat juga tidak terima. Hal ini juga yang membuat alotnya rekapitulasi penghitungan suara beberapa waktu lalu," katanya.

Berbagai persoalan ini, lanjut Panji, telah menunjukkan kepada umum bahwa Bawaslu dan Gakkumdu Kota Jayapura tidak bekerja maksimal sebagaimana tupoksi yang dimandatkan, sehingga pesta demokrasi di Kota Jayapura berpeluang untuk PSU.

"Ini berarti biaya PSU akan menggunakan uang rakyat, yang sudah seharusnya tidak seperti ini. Tetapi pihak yang diberikan kewenangan ternyata tidak maksimal atau kata lainnya sudah masuk angin. Sebaiknya pihak terkait juga mengusut berbagai hal yang kami temukan ini," katanya.

Terkait dana hibah Rp6,5 miliar dari Pemerintah Kota Jayapura kepada KPU setempat, Panji menuding telah terjadi dugaan korupsi atau penyelewengan dana, karena pemilu di dua distrik bisa tertunda.

"Saya kira kita semua harus cermat dan bijak dalam hal ini. Coba dilihat kapan dana hibah cair dan waktu itu KPU diambil alih oleh siapa? Lalu, cek lagi apakah dana hibah itu cair semuanya atau hanya menetes sehingga berdampak pada pemilu yang tertunda," kata Panji.

Secara terpisah, Komisioner Bawaslu Kota Jayapura Rinto Pakpahan mengklaim bahwa pihaknya telah bekerja maksimal dengan memproses sebanyak 45 aduan laporan kecurangan pemilu.

"Totalnya ada 45 kasus yang kami proses. Ada yang memenuhi syarat dan ada yang tidak. Kalau yang memenuhi syarat kami sedang menggali atau mengembangkan aduan tersebut," katanya.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024