Beijing (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mendorong manajemen PT PLN mempelajari sistem jaringan kelistrikan di China, yang lebih efektif dan efisien sehingga mudah dimanfaatkan oleh masyarakat dengan harga terjangkau.
"Teman-teman harus banyak belajar di sini. Kenapa? Di sini susut jaringannya sekitar 6 persen, sedangkan kita di sana 9,2 persen," ujarnya saat ditemui ANTARA seusai mengikuti Forum Energi Indonesia-China (ICEF) ke-6 di Beijing, Selasa (9/7/2019) malam.
Kehilangan energi dalam proses pengaliran energi listrik dari gardu induk ke pelanggan, atau yang disebut susut jaringan, itu mengakibatkan kerugian bagi PLN.
Dengan susut jaringan yang hanya 6 persen, harga jual listrik di China kepada konsumen jauh lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia yang susut jaringannya mencapai 9,2 persen.
"Ini yang kita dorong. Kenapa kita tidak bisa? 'Lah wong' teknologi yang digunakan sama," kata mantan Menteri Perhubungan itu menambahkan.
Kalau susut jaringan di Indonesia turun tiga persen, dari 9 persen menjadi 6 persen, lanjut Jonan, tarif listrik di Indonesia bisa turun atau mungkin sama dengan di China yang terjangkau dan pasokannya lancar sehingga sangat jarang terjadi pemadaman seperti di Indonesia.
Menurut dia, kelistrikan di China menggunakan semua potensi energi yang ada, termasuk angin, panas bumi, nuklir, gas, dan batu bara. Meskipun memiliki produksi batu bara yang melimpah dan berkualitas dengan kadar kalori tinggi, China tetap mengimpornya dari Indonesia.
"Produksi batu bara di China mencapai 3 miliar ton per tahun, tapi kebutuhannya 3,5 ton per tahun sehingga 500 ribu ton dari kita. Kita sendiri produksinya 600 ribu ton," ujarnya.
Namun dari segi kualitas, produk batu bara di Indonesia kalah dibandingkan dengan China karena struktur tanah di daratan Tiongkok tersebut lebih tua.
Dalam ICEF tersebut, Jonan juga berbicara mengenai kemungkinan mempelajari teknologi energi terbarukan yang lebih modern di China.
"Sistem 'grid' (jaringan listrik) kita banyak yang disebut belum 'smart grid' sehingga kalau menerima pembangkit 'renewable' (energi terbarukan) yang besar, seperti air, panas bumi, dan angin, kita 'gelagapan' karena memang sistem pengendalian transmisi distribusi kita tidak siap," kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
ICEF merupakan forum bilateral Indonesia-China yang digelar setiap dua tahun sekali. ICEF ke-5 digelar di Indonesia pada 2017. Pada ICEF tahun ini di Beijing, Indonesia mengirimkan sedikitnya 50 anggota delegasi dari Kementerian ESDM, PT PLN, PT PGN, PT Pertamina, dan lain sebagainya untuk bertemu dengan mitra-mitranya dari China pada 8-10 Juli 2019.
Seusai menghadiri ICEF, delegasi Indonesia yang dipimpin Jonan bertemu dengan sejumlah warga negara Indonesia di Wisma Duta KBRI Beijing untuk memberikan wawasan tentang energi nasional.
Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Kementerian ESDM memutar beberapa video tentang ketersediaan energi di seluruh pelosok Nusantara, diselingi tanya-jawab dengan Jonan.
"Saya sudah pernah bertemu dengan Dubes Tiongkok di Indonesia. Saya mendorong agar ada lulusan dari sini yang berkiprah di Indonesia karena sebelumnya banyak dari Barat dan Jepang," kata Jonan.
"Teman-teman harus banyak belajar di sini. Kenapa? Di sini susut jaringannya sekitar 6 persen, sedangkan kita di sana 9,2 persen," ujarnya saat ditemui ANTARA seusai mengikuti Forum Energi Indonesia-China (ICEF) ke-6 di Beijing, Selasa (9/7/2019) malam.
Kehilangan energi dalam proses pengaliran energi listrik dari gardu induk ke pelanggan, atau yang disebut susut jaringan, itu mengakibatkan kerugian bagi PLN.
Dengan susut jaringan yang hanya 6 persen, harga jual listrik di China kepada konsumen jauh lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia yang susut jaringannya mencapai 9,2 persen.
"Ini yang kita dorong. Kenapa kita tidak bisa? 'Lah wong' teknologi yang digunakan sama," kata mantan Menteri Perhubungan itu menambahkan.
Kalau susut jaringan di Indonesia turun tiga persen, dari 9 persen menjadi 6 persen, lanjut Jonan, tarif listrik di Indonesia bisa turun atau mungkin sama dengan di China yang terjangkau dan pasokannya lancar sehingga sangat jarang terjadi pemadaman seperti di Indonesia.
Menurut dia, kelistrikan di China menggunakan semua potensi energi yang ada, termasuk angin, panas bumi, nuklir, gas, dan batu bara. Meskipun memiliki produksi batu bara yang melimpah dan berkualitas dengan kadar kalori tinggi, China tetap mengimpornya dari Indonesia.
"Produksi batu bara di China mencapai 3 miliar ton per tahun, tapi kebutuhannya 3,5 ton per tahun sehingga 500 ribu ton dari kita. Kita sendiri produksinya 600 ribu ton," ujarnya.
Namun dari segi kualitas, produk batu bara di Indonesia kalah dibandingkan dengan China karena struktur tanah di daratan Tiongkok tersebut lebih tua.
Dalam ICEF tersebut, Jonan juga berbicara mengenai kemungkinan mempelajari teknologi energi terbarukan yang lebih modern di China.
"Sistem 'grid' (jaringan listrik) kita banyak yang disebut belum 'smart grid' sehingga kalau menerima pembangkit 'renewable' (energi terbarukan) yang besar, seperti air, panas bumi, dan angin, kita 'gelagapan' karena memang sistem pengendalian transmisi distribusi kita tidak siap," kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
ICEF merupakan forum bilateral Indonesia-China yang digelar setiap dua tahun sekali. ICEF ke-5 digelar di Indonesia pada 2017. Pada ICEF tahun ini di Beijing, Indonesia mengirimkan sedikitnya 50 anggota delegasi dari Kementerian ESDM, PT PLN, PT PGN, PT Pertamina, dan lain sebagainya untuk bertemu dengan mitra-mitranya dari China pada 8-10 Juli 2019.
Seusai menghadiri ICEF, delegasi Indonesia yang dipimpin Jonan bertemu dengan sejumlah warga negara Indonesia di Wisma Duta KBRI Beijing untuk memberikan wawasan tentang energi nasional.
Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun, Kementerian ESDM memutar beberapa video tentang ketersediaan energi di seluruh pelosok Nusantara, diselingi tanya-jawab dengan Jonan.
"Saya sudah pernah bertemu dengan Dubes Tiongkok di Indonesia. Saya mendorong agar ada lulusan dari sini yang berkiprah di Indonesia karena sebelumnya banyak dari Barat dan Jepang," kata Jonan.