Jakarta (ANTARA) - Akademisi Rocky Gerung menyoroti soal putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dan belum tuntasnya penyelesaian kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.
"Ada dua pekerjaan rumah itu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi karena dalam dua minggu ini dua faktor itu muncul lagi, yaitu lolosnya Syafruddin dan tidak selesainya kasus Novel yang adalah soal HAM," kata Rocky.
Hal tersebut dikatakannya dalam acara "Upaya Mempertahankan Independensi KPK" yang diselenggarakan Wadah Pegawai KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Terkait putusan kasasi terhadap Syafruddin, Rocky menilai MA sudah membuat kecerobohan dengan memutuskan Syafruddin tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan alias bebas.
"Mengapa MA membuat semacam kecerobohan meloloskan orang yang di dalam proses awal ada dalam ranah pidana tiba-tiba dibikin "kabur" mana pidana, mana perdata, mana administrasi negara," ujar Rocky.
Sementara soal belum tuntasnya kasus penyerangan Novel, ia menyinggung soal tim pencari fakta bentukan Kapolri yang belum bisa menemukan pelaku penyerangan Novel.
"Coba anda bayangkan kalau ada tim pencari fakta dalam kasus Novel, itu artinya ada variabel nonkriminal masuk di dalam kasus Novel, kalau kriminal biasa polisi nanganin kan. Jadi, tim pencari fakta itu biasanya dibentuk karena variabel-variabel standar konvensional tidak mungkin dipakai untuk membongkar kasus makanya dibikin tim pencari fakta. Mesti ada unsur lain selain polisi," tuturnya.
Selanjutnya, lanjut Rocky, ia juga mempermasalahkan adanya pembentukan tim teknis atas rekomendasi dari tim pencari fakta tersebut.
Adapun selaku pimpinan Tim Teknis tersebut adalah Kabareskrim Polri Komjen Pol Idham Azis.
"Tim pencari fakta bilang "ok" kami sudah temukan masalahnya, masalahnya adalah bentuk tim teknis untuk memastikan fakta-fakta, siapa? polisi lagi. Dari awal ini bukan peristiwa kriminal, makanya itu dibuat tim pencari fakta kok dibalikin ke polisi," ungkap Rocky.
Ia pun menganggap rumit dengan banyaknya tim untuk mengungkap kasus Novel yang diserang pada 11 April 2017 lalu tersebut.
"Hasil tim teknis ini akan dikembalikan pada Presiden, Presiden akan evaluasi. Kan kelihatan dari awal dibikin rumit prosedurnya. Itu soalnya kenapa publik jengkel soal itu dibikin tim tetapi tim bikin tim," kata Rocky.
Selain itu, ia juga menyinggung terkait banyaknya calon komisioner KPK periode 2019-2023 yang banyak berasal dari unsur Kepolisian.
"Saya bilang kalau polisi aktif mendaftar pertanyaannya inisiatif dia sendiri kah atau penugasan atasan? Kan tidak mungkin polisi aktif punya inisiatif untuk masuk ke KPK kan? Pasti penugasan atasan, logika saya bilang begitu," ungkap dia.
Diketahui, pansel pimpinan KPK pada Senin (22/7) telah mengumumkan 104 orang kandidat lolos seleksi uji kompetensi untuk menjadi komisioner KPK periode 2019-2023.
Adapun 104 orang yang lulus uji komperensi tersebut berasal dari unsur Polri (9 orang), pensiunan Polri (3 orang, hakim (7 orang), mantan hakim (2 orang), jaksa (4 orang), pensiunan jaksa (2 orang), advokat (11 orang), auditor (4 orang), unsur KPK (14 orang), Komisi Kejaksaan/Komisi Kepolisian Nasional (3 orang), PNS (10 orang), pensiunan PNS (3 orang) dan lain-lain (13 orang).
"Ada dua pekerjaan rumah itu hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi karena dalam dua minggu ini dua faktor itu muncul lagi, yaitu lolosnya Syafruddin dan tidak selesainya kasus Novel yang adalah soal HAM," kata Rocky.
Hal tersebut dikatakannya dalam acara "Upaya Mempertahankan Independensi KPK" yang diselenggarakan Wadah Pegawai KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Terkait putusan kasasi terhadap Syafruddin, Rocky menilai MA sudah membuat kecerobohan dengan memutuskan Syafruddin tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan alias bebas.
"Mengapa MA membuat semacam kecerobohan meloloskan orang yang di dalam proses awal ada dalam ranah pidana tiba-tiba dibikin "kabur" mana pidana, mana perdata, mana administrasi negara," ujar Rocky.
Sementara soal belum tuntasnya kasus penyerangan Novel, ia menyinggung soal tim pencari fakta bentukan Kapolri yang belum bisa menemukan pelaku penyerangan Novel.
"Coba anda bayangkan kalau ada tim pencari fakta dalam kasus Novel, itu artinya ada variabel nonkriminal masuk di dalam kasus Novel, kalau kriminal biasa polisi nanganin kan. Jadi, tim pencari fakta itu biasanya dibentuk karena variabel-variabel standar konvensional tidak mungkin dipakai untuk membongkar kasus makanya dibikin tim pencari fakta. Mesti ada unsur lain selain polisi," tuturnya.
Selanjutnya, lanjut Rocky, ia juga mempermasalahkan adanya pembentukan tim teknis atas rekomendasi dari tim pencari fakta tersebut.
Adapun selaku pimpinan Tim Teknis tersebut adalah Kabareskrim Polri Komjen Pol Idham Azis.
"Tim pencari fakta bilang "ok" kami sudah temukan masalahnya, masalahnya adalah bentuk tim teknis untuk memastikan fakta-fakta, siapa? polisi lagi. Dari awal ini bukan peristiwa kriminal, makanya itu dibuat tim pencari fakta kok dibalikin ke polisi," ungkap Rocky.
Ia pun menganggap rumit dengan banyaknya tim untuk mengungkap kasus Novel yang diserang pada 11 April 2017 lalu tersebut.
"Hasil tim teknis ini akan dikembalikan pada Presiden, Presiden akan evaluasi. Kan kelihatan dari awal dibikin rumit prosedurnya. Itu soalnya kenapa publik jengkel soal itu dibikin tim tetapi tim bikin tim," kata Rocky.
Selain itu, ia juga menyinggung terkait banyaknya calon komisioner KPK periode 2019-2023 yang banyak berasal dari unsur Kepolisian.
"Saya bilang kalau polisi aktif mendaftar pertanyaannya inisiatif dia sendiri kah atau penugasan atasan? Kan tidak mungkin polisi aktif punya inisiatif untuk masuk ke KPK kan? Pasti penugasan atasan, logika saya bilang begitu," ungkap dia.
Diketahui, pansel pimpinan KPK pada Senin (22/7) telah mengumumkan 104 orang kandidat lolos seleksi uji kompetensi untuk menjadi komisioner KPK periode 2019-2023.
Adapun 104 orang yang lulus uji komperensi tersebut berasal dari unsur Polri (9 orang), pensiunan Polri (3 orang, hakim (7 orang), mantan hakim (2 orang), jaksa (4 orang), pensiunan jaksa (2 orang), advokat (11 orang), auditor (4 orang), unsur KPK (14 orang), Komisi Kejaksaan/Komisi Kepolisian Nasional (3 orang), PNS (10 orang), pensiunan PNS (3 orang) dan lain-lain (13 orang).