Kuala Lumpur (ANTARA) - Maskapai penerbangan Lion Air Grup mengharapkan adanya sinergi industri penerbangan Indonesia dan Malaysia sehingga memberi dampak penyelesaian persoalan yang terjadi di dua negara.
Pendiri Lion Air Grup yang juga Dubes RI di Kuala Lumpur Rusdi Kirana mengemukakan hal itu saat bertemu dengan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik Malaysia yang melakukan kunjungan ke Lion Tower Jakarta, Sabtu.
"Saya mempunyai maskapai Malindo di Malaysia 99 persen SDM-nya orang Malaysia mulai dari CEO hingga staf. Saya respek. Sama dengan yang ada di Thailand. 99 persen SDM-nya orang Thailand," katanya.
Rusdi mengatakan kalau bisa berkolaborasi, industri penerbangan Indonesia - Malaysia luar biasa.
"Rute Kuala Lumpur - Penang, Kinabalu - Kuching itu secara geografi di atas Indonesia. Jika saya ingin terbang ke Jepang, Eropa dan jika saya ingin terbang ke China melalui Malaysia," katanya.
Rusdi mengatakan kalau Kuala Lumpur menjadi pusat maka akan membantu mewujudkan rencana pariwisata Malaysia.
"Para pelancong bisa sehari semalam di Kuala Lumpur kemudian diteruskan ke Indonesia. Hebatnya Malaysia mempunyai Sabah dan Sarawak yang dekat dengan Indonesia Timur. Kalau ini bisa dibangun maka bisa membuat hub paket tersebut," katanya.
Menurut dia, Malaysia bisa membantu Indonesia dengan menggunakan Medan sebagai hub. "Saya juga mengirim staf untuk kuliah engineering di Universitas Kuala Lumpur yang hasilnya bagus-bagus," katanya.
Dia mengatakan industri penerbangan di Malaysia dan Indonesia tidak sebaik pasar yang dimiliki bukan karena ketidakmampuan tetapi tidak ada kolaborasi sehingga perekonomiannya tidak mencukupi.
"Di Malaysia tidak ada perusahaan yang melakukan assembling ban pesawat, di Indonesia juga tidak ada sementara Malaysia dan Indonesia penghasil karet terbesar. Jadi kalau Malindo mau asembling ban harus dikirim ke negara ketiga," katanya.
Karena itu perlu dikolaborasikan sehingga menjawab persoalan pariwisata, persoalan tenaga kerja dan persoalan tentang teknologi informasi.
"Ini akan menjadi industri aviasi yang besar. Saya bikin airline tahun 2000 dengan modal 950 ribu dolar AS menggunakan pesawat Rusia," katanya.
Dia mengatakan sampai saat ini Lion Air Group masih perusahaan pribadi dan bukan perusahaan publik.
"Kami memilih perusahaan pribadi karena kita memiliki pasar yang besar dan akan lebih bagus lagi kalau kita bekerja sama. Jadi sepanjang Malaysia tidak berfikir lebih baik dari Indonesia dan Indonesia tidak berfikir lebih baik dari Malaysia maka akan bagus," katanya.
Pada kesempatan tersebut rombongan media Malaysia juga diajak mengunjungi kantor pusat Lion Air Grup di Balaraja Tangerang dan mengunjungi lokasi simulator di komplek pergudangan Bandara Soekarno - Hatta.
Pendiri Lion Air Grup yang juga Dubes RI di Kuala Lumpur Rusdi Kirana mengemukakan hal itu saat bertemu dengan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik Malaysia yang melakukan kunjungan ke Lion Tower Jakarta, Sabtu.
"Saya mempunyai maskapai Malindo di Malaysia 99 persen SDM-nya orang Malaysia mulai dari CEO hingga staf. Saya respek. Sama dengan yang ada di Thailand. 99 persen SDM-nya orang Thailand," katanya.
Rusdi mengatakan kalau bisa berkolaborasi, industri penerbangan Indonesia - Malaysia luar biasa.
"Rute Kuala Lumpur - Penang, Kinabalu - Kuching itu secara geografi di atas Indonesia. Jika saya ingin terbang ke Jepang, Eropa dan jika saya ingin terbang ke China melalui Malaysia," katanya.
Rusdi mengatakan kalau Kuala Lumpur menjadi pusat maka akan membantu mewujudkan rencana pariwisata Malaysia.
"Para pelancong bisa sehari semalam di Kuala Lumpur kemudian diteruskan ke Indonesia. Hebatnya Malaysia mempunyai Sabah dan Sarawak yang dekat dengan Indonesia Timur. Kalau ini bisa dibangun maka bisa membuat hub paket tersebut," katanya.
Menurut dia, Malaysia bisa membantu Indonesia dengan menggunakan Medan sebagai hub. "Saya juga mengirim staf untuk kuliah engineering di Universitas Kuala Lumpur yang hasilnya bagus-bagus," katanya.
Dia mengatakan industri penerbangan di Malaysia dan Indonesia tidak sebaik pasar yang dimiliki bukan karena ketidakmampuan tetapi tidak ada kolaborasi sehingga perekonomiannya tidak mencukupi.
"Di Malaysia tidak ada perusahaan yang melakukan assembling ban pesawat, di Indonesia juga tidak ada sementara Malaysia dan Indonesia penghasil karet terbesar. Jadi kalau Malindo mau asembling ban harus dikirim ke negara ketiga," katanya.
Karena itu perlu dikolaborasikan sehingga menjawab persoalan pariwisata, persoalan tenaga kerja dan persoalan tentang teknologi informasi.
"Ini akan menjadi industri aviasi yang besar. Saya bikin airline tahun 2000 dengan modal 950 ribu dolar AS menggunakan pesawat Rusia," katanya.
Dia mengatakan sampai saat ini Lion Air Group masih perusahaan pribadi dan bukan perusahaan publik.
"Kami memilih perusahaan pribadi karena kita memiliki pasar yang besar dan akan lebih bagus lagi kalau kita bekerja sama. Jadi sepanjang Malaysia tidak berfikir lebih baik dari Indonesia dan Indonesia tidak berfikir lebih baik dari Malaysia maka akan bagus," katanya.
Pada kesempatan tersebut rombongan media Malaysia juga diajak mengunjungi kantor pusat Lion Air Grup di Balaraja Tangerang dan mengunjungi lokasi simulator di komplek pergudangan Bandara Soekarno - Hatta.