Jayapura (ANTARA) - Sejumlah wartawan di Kota Jayapura mengaku terintimidasi saat meliput aksi demo tolak rasisme pada Kamis pekan lalu yang berujung anarkis.
Liza Indriyani, salah satu wartawan Kabarpapua.co yang berkedudukan di Kota Jayapura, Papua, Jumat, mencoba menceritakan kembali saat liputan di halaman Kanwil Pos Papua-Maluku di Kelurahan Kota Baru, Distrik Heram.
Situasi saat pada Kamis pagi itu, kata Liza cukup kondusif untuk melaksanakan tugasnya sebagai awak media, karena hanya memantau jalannya aksi demo sambil mengambil foto situasi.
Tidak berapa lama, massa pendemo mulai berdatangan dari arah Waena, Distrik Heram dengan naik sejumlah kendaraan roda dua sambil membunyikan klakson, lalu ada kelompok massa yang berjalan kaki.
"Para massa pendemo yang jalan kaki ada yang menggunakan jas almamater seperti dari salah satu kampus di Jayapura. Ada yang memberikan kode atau tanda kepada wartawan dan warga yang ada di sekitar itu agar pindah," katanya.
Bersamaan dengan itu juga, kata wanita berhijab itu, sejumlah oknum massa pendemo yang melempar batu ke arah halaman Kanwil Pos Papua-Maluku, dimana Ia dan bersama wartawan dan sejumlah aparat keamanan berdiri.
"Sontak, saya bersama beberapa wartawan yang ada di situ, berlari ke arah dalam gedung Kanwil Pos Papua-Maluku hingga ke lantai dua. Saya terjatuh karena berdesakan dengan aparat untuk berebutan menyelamatkan diri dari amukan pendemo yang melempar batu," katanya.
Akibatnya, kata dia, siku tangan dan kaki lecet serta telepon seluler miliknya terjatuh hingga rusak. "HP milik saya jatuh dan rusak ketika berebut naik tangga. Kaki dan tangan saya juga lecet karena sempat jatuh tersenggol, karena takut kena batu," katanya.
Aksi lempar batu dari para pendemo, kata Liza cukup lama sehingga Ia bersama rekan-rekan wartawan, diantaranya Mustaqim dari Harian Cenderawasih Pos, Cholid dari Wartaplus.com, Desi reporter Metro TV dan kameraman Surya dari Potret.co dan Alberth dari Trans7 sempat ingin melompat pagar ke arah halaman Gereja Katolik Gembala Baik.
"Pokoknya, kami semua yang meliput di situ langsung lari menyelamatkan diri dan sempat terpikir akan melompat ke halaman gereja sebelah untuk menyelamatkan diri," katanya.
Selain melempar batu, Liza juga menyebutkan massa pendemo sempat meneriakkan kalimat yang dinilai untuk meneror mentalnya dan rekan-rekan wartawan lainnya.
"Wartawan Indonesia stop ambil gambar," katanya mencoba mengulangi kalimat yang dilontarkan oleh para pendemo.
Liza menambahkan kasus yang dialaminya itu sudah disampaikan ke pemimpin redaksi kabarpapua.co dan akan membuat laporan polisi soal kerugian yang dialaminya. "HP milik saya rusak karena terjatuh," kata Liza.
Sementara itu, Roberth Isodorus wartawan dari Suara Pembaharuan dan Berisatu.com mengaku sebelum aksi pelemparan batu dan kerusuhan, Ia mendatangi Mapolsek Abepura yang berkantor sementara di Kanwil Pos Papua-Maluku.
"Saya datang ke Polsek Abe sekitar pukul 08.30 WIT dan bertemu Andre dari Inews TV, lalu sempat bertemu kawan-kawan wartawan lainnya yakni Mustaqim dari Harian Cenderawasih Pos, Cholid dari Wartaplus.com, Desi reporter dari Metro TV dan Kameramannya, Surya dari Potret.co dan Alberth dari Trans7," katanya.
Namun, sekitar pukul 09.50 WIT, Roberth mengaku merasa situasi di sekitar Kanwil Pos Papua-Maluku, Lampu Merah dan Lingkaran Abepura tidak kondusif sehingga berencana ke Grand Abe Hotel. "Saya hendak memotret para pendemo yang berkumpul di Lingkaran Abepura memakai handphone milik saya."
Namun, saya urungkan niat karena adanya teriakan, "Wartawan Indonesia stop foto-foto. Teriakan itu membuat saya harus meninggalkan lokasi para pendemo yang terus meneriakkan yel-yel Papua Merdeka, Papua Merdeka, Papua Merdeka," katanya.
Sesalkan
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Papua Mierto Tangkepayung yang akrab disapa Nugi menyesalkan tindakan dari para pendemo dan aksi yang dialami oleh para wartawan di Kota Jayapura saat melaksanakan tugas jurnalistik
"Kami sangat menyesalkan aksi tersebut, tidak seharusnya wartawan mendapat intimidasi seperti itu," katanya.
Menurut dia, wartawan dalam bertugas dilindungi oleh UU Pers dan bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik, sehingga sepantasnya mendapat perlakuan yang baik.
Berkaitan dengan hal itu, Nugi mengimbau kepada semua pihak agar menghargai dan menghormati kerja-kerja para jurnalis yang berupaya memberitakan peristiwa sesuai dengan fakta di lapangan.
"Saya juga ajak kepada jurnalis agar lebih mementingkan faktor keselamatan dan saya juga mengimbau kepada masyarakat agar menghargai jurnalis. Jika keberatan dengan produk beritanya, bisa lakukan klarifikasi atau diadukan ke Dewan Pers untuk dapatkan keadilan," katanya.
Nugi juga mengajak jurnalis, selain lebih mementingkan faktor keamanan saat meliput aksi demo, juga mengedepankan berita yang sejuk dan humanis, sehingga jauh dari kesan memprovokasi situasi.
Liza Indriyani, salah satu wartawan Kabarpapua.co yang berkedudukan di Kota Jayapura, Papua, Jumat, mencoba menceritakan kembali saat liputan di halaman Kanwil Pos Papua-Maluku di Kelurahan Kota Baru, Distrik Heram.
Situasi saat pada Kamis pagi itu, kata Liza cukup kondusif untuk melaksanakan tugasnya sebagai awak media, karena hanya memantau jalannya aksi demo sambil mengambil foto situasi.
Tidak berapa lama, massa pendemo mulai berdatangan dari arah Waena, Distrik Heram dengan naik sejumlah kendaraan roda dua sambil membunyikan klakson, lalu ada kelompok massa yang berjalan kaki.
"Para massa pendemo yang jalan kaki ada yang menggunakan jas almamater seperti dari salah satu kampus di Jayapura. Ada yang memberikan kode atau tanda kepada wartawan dan warga yang ada di sekitar itu agar pindah," katanya.
Bersamaan dengan itu juga, kata wanita berhijab itu, sejumlah oknum massa pendemo yang melempar batu ke arah halaman Kanwil Pos Papua-Maluku, dimana Ia dan bersama wartawan dan sejumlah aparat keamanan berdiri.
"Sontak, saya bersama beberapa wartawan yang ada di situ, berlari ke arah dalam gedung Kanwil Pos Papua-Maluku hingga ke lantai dua. Saya terjatuh karena berdesakan dengan aparat untuk berebutan menyelamatkan diri dari amukan pendemo yang melempar batu," katanya.
Akibatnya, kata dia, siku tangan dan kaki lecet serta telepon seluler miliknya terjatuh hingga rusak. "HP milik saya jatuh dan rusak ketika berebut naik tangga. Kaki dan tangan saya juga lecet karena sempat jatuh tersenggol, karena takut kena batu," katanya.
Aksi lempar batu dari para pendemo, kata Liza cukup lama sehingga Ia bersama rekan-rekan wartawan, diantaranya Mustaqim dari Harian Cenderawasih Pos, Cholid dari Wartaplus.com, Desi reporter Metro TV dan kameraman Surya dari Potret.co dan Alberth dari Trans7 sempat ingin melompat pagar ke arah halaman Gereja Katolik Gembala Baik.
"Pokoknya, kami semua yang meliput di situ langsung lari menyelamatkan diri dan sempat terpikir akan melompat ke halaman gereja sebelah untuk menyelamatkan diri," katanya.
Selain melempar batu, Liza juga menyebutkan massa pendemo sempat meneriakkan kalimat yang dinilai untuk meneror mentalnya dan rekan-rekan wartawan lainnya.
"Wartawan Indonesia stop ambil gambar," katanya mencoba mengulangi kalimat yang dilontarkan oleh para pendemo.
Liza menambahkan kasus yang dialaminya itu sudah disampaikan ke pemimpin redaksi kabarpapua.co dan akan membuat laporan polisi soal kerugian yang dialaminya. "HP milik saya rusak karena terjatuh," kata Liza.
Sementara itu, Roberth Isodorus wartawan dari Suara Pembaharuan dan Berisatu.com mengaku sebelum aksi pelemparan batu dan kerusuhan, Ia mendatangi Mapolsek Abepura yang berkantor sementara di Kanwil Pos Papua-Maluku.
"Saya datang ke Polsek Abe sekitar pukul 08.30 WIT dan bertemu Andre dari Inews TV, lalu sempat bertemu kawan-kawan wartawan lainnya yakni Mustaqim dari Harian Cenderawasih Pos, Cholid dari Wartaplus.com, Desi reporter dari Metro TV dan Kameramannya, Surya dari Potret.co dan Alberth dari Trans7," katanya.
Namun, sekitar pukul 09.50 WIT, Roberth mengaku merasa situasi di sekitar Kanwil Pos Papua-Maluku, Lampu Merah dan Lingkaran Abepura tidak kondusif sehingga berencana ke Grand Abe Hotel. "Saya hendak memotret para pendemo yang berkumpul di Lingkaran Abepura memakai handphone milik saya."
Namun, saya urungkan niat karena adanya teriakan, "Wartawan Indonesia stop foto-foto. Teriakan itu membuat saya harus meninggalkan lokasi para pendemo yang terus meneriakkan yel-yel Papua Merdeka, Papua Merdeka, Papua Merdeka," katanya.
Sesalkan
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Papua Mierto Tangkepayung yang akrab disapa Nugi menyesalkan tindakan dari para pendemo dan aksi yang dialami oleh para wartawan di Kota Jayapura saat melaksanakan tugas jurnalistik
"Kami sangat menyesalkan aksi tersebut, tidak seharusnya wartawan mendapat intimidasi seperti itu," katanya.
Menurut dia, wartawan dalam bertugas dilindungi oleh UU Pers dan bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik, sehingga sepantasnya mendapat perlakuan yang baik.
Berkaitan dengan hal itu, Nugi mengimbau kepada semua pihak agar menghargai dan menghormati kerja-kerja para jurnalis yang berupaya memberitakan peristiwa sesuai dengan fakta di lapangan.
"Saya juga ajak kepada jurnalis agar lebih mementingkan faktor keselamatan dan saya juga mengimbau kepada masyarakat agar menghargai jurnalis. Jika keberatan dengan produk beritanya, bisa lakukan klarifikasi atau diadukan ke Dewan Pers untuk dapatkan keadilan," katanya.
Nugi juga mengajak jurnalis, selain lebih mementingkan faktor keamanan saat meliput aksi demo, juga mengedepankan berita yang sejuk dan humanis, sehingga jauh dari kesan memprovokasi situasi.