Jakarta (ANTARA) - Pendiri dan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa menyebut perlu adanya sinergi pihak berwenang dalam menjaga hak berdaulat Indonesia dan mencegah pelanggaran hukum oleh kapal-kapal China di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Laut Natuna Utara.
Dalam diskusi bertajuk "Kedaulatan RI atas Natuna" yang diselenggarakan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Jakarta, Senin, Achmad menyebut perlu ada penguatan di bidang pengawasan dan penegakan hukum oleh seluruh instansi yang memiliki kewenangan penegakan hukum di ZEE Indonesia, yakni TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Keamanan Laut atau Bakamla.
"Ketiga institusi ini perlu bersinergi dan melaksanakan apa yang disebut coordinated patrol agar kehadiran kapal perang atau kapal resmi pemerintah dapat berlangsung terus menerus," kata dia.
Menurutnya, masing-masing instansi memiliki tantangan tersendiri dalam melakukan patroli laut, misalnya karena keterbatasan anggaran dan kemampuan daya jelajah kapal di laut.
"Dengan coordinated patrol, masing-masing instansi akan bisa menutup kekurangan satu sama lain, saling komplemen," kata mantan Koordinator Staf Tugas Pemberantasan dan Penangkapan Ikan Secara Ilegal atau Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
Selain melakukan koordinasi di lapangan, Achmad mengatakan bahwa sinergi antarinstansi tersebut juga dilakukan dalam bentuk data dan informasi khususnya informasi terkait deteksi kapal ikan asing, baik dalam bentuk citra satelit, deteksi transmiter AIS dan VMS, serta deteksi radar.
Dalam lingkup patroli terintegrasi tersebut, masing-masing pihak diyakini juga harus harus memastikan ketersediaan anggaran agar patroli dapat terlaksana secara maksimal.
"Hari operasi kapal dan instansi-instansi tersebut perlu dimaksimalkan untuk dapat mengawal hak berdaulat Indonesia di ZEE selama 365 hari dalam satu tahun," ujar dia.
Dia juga meyakini bahwa pihak yang melakukan patroli tak boleh takut untuk melakukan penangkapan terhadap kapal penangkap ikan asing yang melakukan pelanggaran, meskipun mendapatkan intimidasi dari China Coast Guard.
Dalam diskusi bertajuk "Kedaulatan RI atas Natuna" yang diselenggarakan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Jakarta, Senin, Achmad menyebut perlu ada penguatan di bidang pengawasan dan penegakan hukum oleh seluruh instansi yang memiliki kewenangan penegakan hukum di ZEE Indonesia, yakni TNI Angkatan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Keamanan Laut atau Bakamla.
"Ketiga institusi ini perlu bersinergi dan melaksanakan apa yang disebut coordinated patrol agar kehadiran kapal perang atau kapal resmi pemerintah dapat berlangsung terus menerus," kata dia.
Menurutnya, masing-masing instansi memiliki tantangan tersendiri dalam melakukan patroli laut, misalnya karena keterbatasan anggaran dan kemampuan daya jelajah kapal di laut.
"Dengan coordinated patrol, masing-masing instansi akan bisa menutup kekurangan satu sama lain, saling komplemen," kata mantan Koordinator Staf Tugas Pemberantasan dan Penangkapan Ikan Secara Ilegal atau Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan itu.
Selain melakukan koordinasi di lapangan, Achmad mengatakan bahwa sinergi antarinstansi tersebut juga dilakukan dalam bentuk data dan informasi khususnya informasi terkait deteksi kapal ikan asing, baik dalam bentuk citra satelit, deteksi transmiter AIS dan VMS, serta deteksi radar.
Dalam lingkup patroli terintegrasi tersebut, masing-masing pihak diyakini juga harus harus memastikan ketersediaan anggaran agar patroli dapat terlaksana secara maksimal.
"Hari operasi kapal dan instansi-instansi tersebut perlu dimaksimalkan untuk dapat mengawal hak berdaulat Indonesia di ZEE selama 365 hari dalam satu tahun," ujar dia.
Dia juga meyakini bahwa pihak yang melakukan patroli tak boleh takut untuk melakukan penangkapan terhadap kapal penangkap ikan asing yang melakukan pelanggaran, meskipun mendapatkan intimidasi dari China Coast Guard.