Jakarta (ANTARA) - Rencana penunjukan bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dianggap justru akan membebani bank-bank BUMN di tengah adanya kebijakan restrukturisasi kredit perbankan sesuai dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani kurang sependapat jika bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang likuiditasnya seret. Menurutnya, kebijakan itu akan mempengaruhi saham bank-bank BUMN, karena dalam hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut.
"Harus hati-hati juga karena bank Himbara sudah "go public", jadi ada pemegang saham minoritas kan. Nah itu kan bahaya juga. Mereka pasti berpikir lho ini kan bank harus mencari profit tapi malah nanganin yang lain. Mereka pasti juga berpikir nanganin restrukturisasi aja sudah banyak sekali dan repot, ini malah bank lain," ujar Aviliani dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Disisi lain, lanjut Aviliani, dengan ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas, tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas.
Sebagai bank penyangga likuiditas, tentu bank Himbara harus bisa menilai dan membantu likuiditas bank-bank yang sedang kesulitan. Padahal, dalam hal ini, OJK memiliki wewenang untuk melakukan penilaian apakah bank tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pinjaman likuiditas.
"Ada beberapa yang perlu dipertimbangkan kalau Himbara yang menjadi penyangga likuiditas. Pertama pasti ada "conflict of interest", karena Himbara akan menilai bank lain, karena otomatis yang nerima likuiditas kan banknya dong, pasti Himbara menilai bank penerima likuiditas. Padahal, selama ini kan saling rahasia-rahasian antar bank. Saya rasa harusnya penilaian itu ada di OJK," ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar KSSK bisa mengkaji ulang terkait rencana bank Himbara yang akan dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas. Ia menyarankan, baiknya lembaga keuangan lain diluar bank Himbara yang dijadikan sebagai lembaga penyangga likuiditas seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PTPPA), sebuah perusahaan BUMN yang mengelola aset-aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baik aset kredit, saham maupun properti.
"Kenapa PPA? karena PPA ini semacam Venture Capital kan, menempatkan dulu dana kemudian nanti ditarik lagi. Itukan PPA juga dibawah pemerintah kan. Dia BUMN juga, jadi kalau dia yang melakukan kan tidak ada conflict of interest. Kalo saya sih ngusulin, dana pemerintah likuiditas itu menyalurkannya bisa ke PPA atau PT SMI juga bisa yang kepanjangan tangan dari Kemenkeu kan," ujar Aviliani.
Senada dengan Aviliani, ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah juga tidak sependapat jika Bank Himbara dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas. Ia menekankan, urusan likuiditas seharusnya tidak melibatkan bank Himbara, melainkan ini menjadi wewenang bank sentral yang tugasnya mengatur likuiditas di pasar.
Menurutnya, jika bank mengalami kesulitan likuiditas maka langkah terakhir yakni bank sentral harus menggelontorkan likuiditasnya untuk perbankan.
"Kenapa urusan likuiditas ini melibatkan bank Himbara. Seharusnya urusan likuiditas itu urusannya bank sentral. Yang mengatur likuiditas perekonomian kan bank sentral. Bank sentral juga dalam posisi 'lender of the last resort', ini menegaskan peran bank sentral dalam mengatur likuiditas. Bank sentral memiliki semua instrumen untuk menjaga likuiditas sistem perbankan," ujar Piter.
Ia mengungkapkan, jika KSSK memutuskan untuk menjadikan bank BUMN sebagai bank penyangga likuiditas, mau tidak mau bank Himbara harus bisa menilai apakah bank penerima likuiditas tersebut layak untuk menerima likuiditas atau tidak.
Namun yang dikhawatirkan adalah apabila ke depan terdapat masalah pada bank penerima likuiditas, tentu yang harus bertanggung jawab disini adalah bank penyangga likuiditas yang dalam hal ini yaitu bank BUMN.
"Sekarang yang ditempuh adalah menggunakan bank Himbara sebagai bank perantara, disebut sebagai bank anchor. Kenapa harus melalui bank anchor? Kalau itu yang dilakukan, pertanyaannya likuiditas bank himbara sumbernya darimana? Kemungkinan besar dari pemerintah. Pengaturan dan pengawasan tetap di OJK, tapi nanti kalau ada apa-apa yang akan diminta pertanggung jawaban adalah pejabat bank Himbara. Inikan politisasi," kata Piter.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani kurang sependapat jika bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang likuiditasnya seret. Menurutnya, kebijakan itu akan mempengaruhi saham bank-bank BUMN, karena dalam hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut.
"Harus hati-hati juga karena bank Himbara sudah "go public", jadi ada pemegang saham minoritas kan. Nah itu kan bahaya juga. Mereka pasti berpikir lho ini kan bank harus mencari profit tapi malah nanganin yang lain. Mereka pasti juga berpikir nanganin restrukturisasi aja sudah banyak sekali dan repot, ini malah bank lain," ujar Aviliani dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Disisi lain, lanjut Aviliani, dengan ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas, tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas.
Sebagai bank penyangga likuiditas, tentu bank Himbara harus bisa menilai dan membantu likuiditas bank-bank yang sedang kesulitan. Padahal, dalam hal ini, OJK memiliki wewenang untuk melakukan penilaian apakah bank tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pinjaman likuiditas.
"Ada beberapa yang perlu dipertimbangkan kalau Himbara yang menjadi penyangga likuiditas. Pertama pasti ada "conflict of interest", karena Himbara akan menilai bank lain, karena otomatis yang nerima likuiditas kan banknya dong, pasti Himbara menilai bank penerima likuiditas. Padahal, selama ini kan saling rahasia-rahasian antar bank. Saya rasa harusnya penilaian itu ada di OJK," ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar KSSK bisa mengkaji ulang terkait rencana bank Himbara yang akan dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas. Ia menyarankan, baiknya lembaga keuangan lain diluar bank Himbara yang dijadikan sebagai lembaga penyangga likuiditas seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PTPPA), sebuah perusahaan BUMN yang mengelola aset-aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baik aset kredit, saham maupun properti.
"Kenapa PPA? karena PPA ini semacam Venture Capital kan, menempatkan dulu dana kemudian nanti ditarik lagi. Itukan PPA juga dibawah pemerintah kan. Dia BUMN juga, jadi kalau dia yang melakukan kan tidak ada conflict of interest. Kalo saya sih ngusulin, dana pemerintah likuiditas itu menyalurkannya bisa ke PPA atau PT SMI juga bisa yang kepanjangan tangan dari Kemenkeu kan," ujar Aviliani.
Senada dengan Aviliani, ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah juga tidak sependapat jika Bank Himbara dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas. Ia menekankan, urusan likuiditas seharusnya tidak melibatkan bank Himbara, melainkan ini menjadi wewenang bank sentral yang tugasnya mengatur likuiditas di pasar.
Menurutnya, jika bank mengalami kesulitan likuiditas maka langkah terakhir yakni bank sentral harus menggelontorkan likuiditasnya untuk perbankan.
"Kenapa urusan likuiditas ini melibatkan bank Himbara. Seharusnya urusan likuiditas itu urusannya bank sentral. Yang mengatur likuiditas perekonomian kan bank sentral. Bank sentral juga dalam posisi 'lender of the last resort', ini menegaskan peran bank sentral dalam mengatur likuiditas. Bank sentral memiliki semua instrumen untuk menjaga likuiditas sistem perbankan," ujar Piter.
Ia mengungkapkan, jika KSSK memutuskan untuk menjadikan bank BUMN sebagai bank penyangga likuiditas, mau tidak mau bank Himbara harus bisa menilai apakah bank penerima likuiditas tersebut layak untuk menerima likuiditas atau tidak.
Namun yang dikhawatirkan adalah apabila ke depan terdapat masalah pada bank penerima likuiditas, tentu yang harus bertanggung jawab disini adalah bank penyangga likuiditas yang dalam hal ini yaitu bank BUMN.
"Sekarang yang ditempuh adalah menggunakan bank Himbara sebagai bank perantara, disebut sebagai bank anchor. Kenapa harus melalui bank anchor? Kalau itu yang dilakukan, pertanyaannya likuiditas bank himbara sumbernya darimana? Kemungkinan besar dari pemerintah. Pengaturan dan pengawasan tetap di OJK, tapi nanti kalau ada apa-apa yang akan diminta pertanggung jawaban adalah pejabat bank Himbara. Inikan politisasi," kata Piter.