Jakarta (ANTARA) - Sosialisasi adaptasi kebiasaan baru di tengah pandemi COVID-19 harus menggunakan kombinasi aturan hukum yang berlaku dengan pendekatan berbasis gaya hidup, kata Sosiolog Universitas Airlangga Surabaya Bagong Suyanto.
"Yang diinginkan pemerintah kan kebiasaan baru dilakukan bukan karena paksaan melainkan kesadaran dan tumbuh tanggung jawab di masyarakat," kata Bagong dalam acara bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang diikuti melalui akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini sudah benar, yaitu mengombinasikan aturan-aturan hukum dengan upaya pendekatan gaya hidup, dalam menyosialisasikan protokol kesehatan sebagai bagian dari adaptasi kebiasaan baru.
Ia mencontohkan undangan Presiden Joko Widodo kepada sejumlah selebriti, pemengaruh, dan pekerja seni lainnya ke Istana untuk meminta mereka ikut mengedukasi masyarakat.
"Masing-masing kelompok masyarakat dan komunitas memerlukan pendekatan yang berbeda. Ada yang ketika pimpinan atau ulamanya berbicara A akan mengikuti. Kelompok anak muda, mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda," tuturnya.
Karena itu, pendekatan gaya hidup yang diambil pun harus disesuaikan dengan kelompok atau komunitas yang ingin disasar. Perlu penggunaan idiom-idiom yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Bagong mencontohkan kelompok pendukung klub Persebaya Surabaya Bonek.
Menurut Bagong, Bonek tidak takut mati sehingga pendekatan kesehatan dalam sosialisasi adaptasi kebiasaan baru mungkin tidak akan mudah diterima.
"Namun, kalau disosialisasikan masker dengan identitas Bonek sebagai gaya hidup, mungkin akan lebih mudah diterima tanpa paksaan," jelasnya.
Tentang waktu yang diperlukan untuk membangun kebiasaan baru, Bagong mengatakan tentu perlu waktu. Namun, dengan pendekatan yang tepat, pasti akan lebih cepat terlaksana.
"Orang bisa berubah hanya dalam beberapa jam. Orang yang baru menonton film 'Rambo' selama dua jam, jadi ingin berkelahi. Anak muda yang menonton film 'Ada Apa Dengan Cinta?', jadi ikut-ikutan membaca buku filsafat seperti karakter Rangga. Kalau pendekatannya tepat, dampaknya akan lebih cepat," katanya.
Menurut Bagong, idiom-idiom yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, antara komunitas satu dengan komunitas lainnya, harus dikonstruksikan menjadi sebuah gaya hidup baru agar orang-orang mau mengikuti secara sukarela. (T.D018)
"Yang diinginkan pemerintah kan kebiasaan baru dilakukan bukan karena paksaan melainkan kesadaran dan tumbuh tanggung jawab di masyarakat," kata Bagong dalam acara bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang diikuti melalui akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah saat ini sudah benar, yaitu mengombinasikan aturan-aturan hukum dengan upaya pendekatan gaya hidup, dalam menyosialisasikan protokol kesehatan sebagai bagian dari adaptasi kebiasaan baru.
Ia mencontohkan undangan Presiden Joko Widodo kepada sejumlah selebriti, pemengaruh, dan pekerja seni lainnya ke Istana untuk meminta mereka ikut mengedukasi masyarakat.
"Masing-masing kelompok masyarakat dan komunitas memerlukan pendekatan yang berbeda. Ada yang ketika pimpinan atau ulamanya berbicara A akan mengikuti. Kelompok anak muda, mungkin memerlukan pendekatan yang berbeda," tuturnya.
Karena itu, pendekatan gaya hidup yang diambil pun harus disesuaikan dengan kelompok atau komunitas yang ingin disasar. Perlu penggunaan idiom-idiom yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Bagong mencontohkan kelompok pendukung klub Persebaya Surabaya Bonek.
Menurut Bagong, Bonek tidak takut mati sehingga pendekatan kesehatan dalam sosialisasi adaptasi kebiasaan baru mungkin tidak akan mudah diterima.
"Namun, kalau disosialisasikan masker dengan identitas Bonek sebagai gaya hidup, mungkin akan lebih mudah diterima tanpa paksaan," jelasnya.
Tentang waktu yang diperlukan untuk membangun kebiasaan baru, Bagong mengatakan tentu perlu waktu. Namun, dengan pendekatan yang tepat, pasti akan lebih cepat terlaksana.
"Orang bisa berubah hanya dalam beberapa jam. Orang yang baru menonton film 'Rambo' selama dua jam, jadi ingin berkelahi. Anak muda yang menonton film 'Ada Apa Dengan Cinta?', jadi ikut-ikutan membaca buku filsafat seperti karakter Rangga. Kalau pendekatannya tepat, dampaknya akan lebih cepat," katanya.
Menurut Bagong, idiom-idiom yang berbeda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, antara komunitas satu dengan komunitas lainnya, harus dikonstruksikan menjadi sebuah gaya hidup baru agar orang-orang mau mengikuti secara sukarela. (T.D018)