Jakarta (ANTARA) - Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif membuat negara ini berada pada posisi strategis di tengah persaingan global pengembangan vaksin COVID-19, demikian menurut pengamat.
Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai bahwa sudah menjadi kepentingan Indonesia dan negara-negara lain di dunia saat ini untuk segera mendapatkan vaksin, dari siapa pun pihak yang berhasil mengembangkannya.
"Posisi Indonesia yang bebas aktif cukup jelas [...] kepentingan kita bukan siapa yang menang atau kalah dalam kompetisi geopolitik ini, namun memastikan kekuatan besar politik tersebut tidak berdampak buruk pada kita," ujar Shofwan kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Sejumlah negara tengah mengembangkan vaksin COVID-19, dan beberapa di antaranya telah masuk dalam tahap uji coba klinis pada manusia untuk mengkaji seberapa manjur vaksin itu digunakan serta bagaimana efek samping yang mungkin ditimbulkan--sebelum akhirnya diproduksi dan digunakan secara massal.
Misalnya Amerika Serikat yang kini mempunyai, setidaknya, enam kandidat vaksin dari enam perusahaan farmasi yang berada di tahap uji klinis. Juga ada Rusia dengan Sputnik V yang telah terdaftar pada Agustus lalu, dan kini siap diuji coba kepada 55.000 relawan.
China juga tidak ketinggalan dengan vaksin dari perusahaan Sinovac--yang telah meneken kerja sama dengan Bio Farma dan saat ini tengah menjalankan uji klinis tahap III di Bandung, termasuk kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Yang menjadi perhatian Indonesia adalah bagaimana mendorong organisasi internasional agar lebih efektif memfasilitasi kerja sama di antara negara-negara yang kecenderungannya sedang bersaing," kata Shofwan menambahkan.
Pengamat politik internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, secara terpisah, menjelaskan bahwa "dalam konteks produksi (vaksin), faktanya Indonesia belum mampu memiliki kekuatan logistik maupun kapasitas riset yang memadai."
"Mau tak mau, dalam konteks hubungan internasional, kita harus menggunakan metode bandwagoning--dengan menginduk ke negara-negara yang sekiranya memiliki kapasitas riset dan produksi yang memadai untuk pengadaan vaksin COVID-19," tutur Umam.
Karena itu, menurut dia, Indonesia harus mengintensifkan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan eksternal, baik negara maupun perusahaan asal negara lain, serta mendapat transfer pengetahuan dan teknologi dari mereka.
"Dan yang terpenting dari (upaya pengadaan) vaksin itu adalah transfer of knowledge dan transfer of technology supaya Indonesia tidak bergantung pada pengadaan, produksi (dari luar)," kata Umam menyimpulkan.
Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menilai bahwa sudah menjadi kepentingan Indonesia dan negara-negara lain di dunia saat ini untuk segera mendapatkan vaksin, dari siapa pun pihak yang berhasil mengembangkannya.
"Posisi Indonesia yang bebas aktif cukup jelas [...] kepentingan kita bukan siapa yang menang atau kalah dalam kompetisi geopolitik ini, namun memastikan kekuatan besar politik tersebut tidak berdampak buruk pada kita," ujar Shofwan kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Sejumlah negara tengah mengembangkan vaksin COVID-19, dan beberapa di antaranya telah masuk dalam tahap uji coba klinis pada manusia untuk mengkaji seberapa manjur vaksin itu digunakan serta bagaimana efek samping yang mungkin ditimbulkan--sebelum akhirnya diproduksi dan digunakan secara massal.
Misalnya Amerika Serikat yang kini mempunyai, setidaknya, enam kandidat vaksin dari enam perusahaan farmasi yang berada di tahap uji klinis. Juga ada Rusia dengan Sputnik V yang telah terdaftar pada Agustus lalu, dan kini siap diuji coba kepada 55.000 relawan.
China juga tidak ketinggalan dengan vaksin dari perusahaan Sinovac--yang telah meneken kerja sama dengan Bio Farma dan saat ini tengah menjalankan uji klinis tahap III di Bandung, termasuk kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
"Yang menjadi perhatian Indonesia adalah bagaimana mendorong organisasi internasional agar lebih efektif memfasilitasi kerja sama di antara negara-negara yang kecenderungannya sedang bersaing," kata Shofwan menambahkan.
Pengamat politik internasional Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, secara terpisah, menjelaskan bahwa "dalam konteks produksi (vaksin), faktanya Indonesia belum mampu memiliki kekuatan logistik maupun kapasitas riset yang memadai."
"Mau tak mau, dalam konteks hubungan internasional, kita harus menggunakan metode bandwagoning--dengan menginduk ke negara-negara yang sekiranya memiliki kapasitas riset dan produksi yang memadai untuk pengadaan vaksin COVID-19," tutur Umam.
Karena itu, menurut dia, Indonesia harus mengintensifkan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan eksternal, baik negara maupun perusahaan asal negara lain, serta mendapat transfer pengetahuan dan teknologi dari mereka.
"Dan yang terpenting dari (upaya pengadaan) vaksin itu adalah transfer of knowledge dan transfer of technology supaya Indonesia tidak bergantung pada pengadaan, produksi (dari luar)," kata Umam menyimpulkan.