Jakarta (ANTARA) - Meskipun diakui berdampak positif sebagai solusi agar proses belajar-mengajar tetap bisa berlangsung di tengah wabah, namun dampak Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sangat mengerikan.

Pemberitaan media secara luas mengenai dampak positif dan negatif PJJ telah cukup untuk menggambarkan beragam dinamikanya. Pro dan kontra di masyarakat ikut mewarnai khazanah metode transfer ilmu tersebut.

Tak dapat dipungkiri bahwa PJJ hadir sebagai solusi terbaik di tengah wabah. Di saat sekolah harus ditutup, PJJ ibarat obat mujarab agar proses belajar tetap bisa berlangsung.

Tanpa ada PJJ, berarti sekolah libur sampai wabah virus corona (COVID-19) berakhir. Entah kapan itu terwujud karena hingga memasuki bulan ke-10 ini belum ada tanda-tanda akan berakhir.

Aktivitas sekolah pun masih harus dihentikan sampai wabah ini berakhir. Kesabaran tampaknya masih ditunjukkan para orang tua dan penyelenggara pendidikan termasuk guru.

Karena itu, PJJ adalah solusi terbaik, meski diakui banyak kendala. Ini karena kemampuan ekonomi keluarga tidak sama, di samping infrastruktur antardaerah yang juga berbeda-beda.

Walaupun banyak kendala, tetapi hanya cara itulah proses pembelajaran yang bisa dilakukan. Semua menjalani dengan keterpaksaan dan ketidakpastian kapan akan berakhir, namun mengharuskan agar semua menerima keadaan. Seorang guru memberikan materi kepada siswa jurusan multimedia saat melakukan pendampingan pembelajaran di SMK Widiatmika, Jimbaran, Badung, Bali, Senin (19/10/2020). Meskipun masih meniadakan pembelajaran tatap muka di sekolah untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19, namun SMK tersebut melakukan pendampingan pembelajaran secara langsung di sekolah untuk materi praktek bagi sejumlah siswa yang mengalami kendala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti siswa yang tidak memiliki peralatan pembelajaran praktek. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Kekerasan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengakui PJJ memberi dampak negatif pada siswa. Mulai dari ancaman putus sekolah, yang disebabkan anak terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah pandemi COVID-19 hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri menjelaskan, PJJ membuat orang tua memiliki persepsi tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar-mengajar apabila pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Dampak berikutnya adalah kendala tumbuh kembang. Yakni terjadi kesenjangan capaian belajar.

Perbedaan akses dan kualitas selama pembelajaran jarak jauh dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio ekonomi berbeda.

Kemudian, akan terjadi risiko kehilangan pembelajaran yang terjadi secara berkepanjangan dan menghambat tumbuh kembang anak secara optimal.

Dampak selanjutnya adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan anak stres akibat minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar. Juga tekanan akibat sulitnya pembelajaran jarak jauh yang menyebabkan stres pada anak.

Akibat orang tua stres, terjadi kasus kekerasan di rumah tangga. Namun banyak yang tidak terdeteksi oleh guru.

Perkawinan
Sebagian orang tua juga menghadapi kendala yang tidak mudah untuk memfasilitasi anaknya agar bisa ikut PJJ. Kondisi itu menimbulkan kenyataan bahwa PJJ sangat berat sehingga tidak mampu diikuti.

Anaknya kemudian putus sekolah. Selain bekerja untuk menambah keuangan keluarga atau karena putus sekolah, maka kemudian dinikahkan.

Pandemi COVID-19 pun telah berdampak pada tingginya kasus perkawinan atau pernikahan pada usia anak. Hal itu diakui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Dalam kurun waktu Januari-Juni 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia telah menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi perkawinan. Itu diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia 19 tahun.

Dari data dan fenomena tersebut, terang benderang bahwa dampak PJJ demikian kompleks. Itu mungkin menjadi salah satu alasan yang mendasari rencana pembukaan sekolah tatap muka.

Untuk mengurangi dampak negatif PJJ, pemerintah pun memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah (pemda) untuk melakukan pembelajaran tatap muka mulai semester genap 2020/2021 atau Januari 2021.

Pemberian izin dapat dilakukan secara serentak atau bertahap per wilayah kecamatan dan desa atau kelurahan. Yang pasti, pembelajaran tatap muka harus dilakukan dengan izin berjenjang.

Mulai dari pemerintah daerah/kanwil/kantor Kemenag serta Satgas Penanganan COVID-19. Selanjutnya izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orang tua.

Sekolah juga harus memenuhi daftar periksa. Sebanyak enam daftar periksa yang harus dipenuhi, yakni ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan (toilet bersih dan layak serta sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau penyanitasi tangan), mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.

Selanjutnya, kesiapan menerapkan masker, memiliki thermogun, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan (yang memiliki komorbid tidak terkontrol, tidak memiliki akses transportasi yang aman dan riwayat perjalanan dari daerah dengan tingkat risiko yang tinggi) dan mendapatkan persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali.
 
Simulasi
Mengingat wacana dan rencana pembelajaran tatap muka di sekolah masih menjadi perdebatan atau pro dan kontra, maka sebaiknya hal itu dibicarakan secara intensif oleh pihak terkait. Tujuannya agar ada persamaan persepsi.

Namun untuk menyamakan persepsi tampaknya tidak mudah karena faktor ketakutan dan kekhawatiran setiap orang terhadap COVID-19 berbeda-beda. Biasanya kemampuan finansial keluarga juga ikut mempengaruhi persepsi.

Karena itu, dalam mengimplementasikan keleluasaan belajar tatap muka, sebaiknya belajar di sekolah merupakan opsi atau pilihan bagi orang tua/wali murid. Opsi lainnya adalah siswa tetap belajar secara daring (online).

Siswa yang belajar secara tatap muka tak perlu ikut kelas daring. Begitu juga yang ikut kelas daring tak perlu ikut tatap muka, tetapi guru menyampaikan materi pelajaran yang sama.

Dengan opsi itu, maka orang tua tinggal memilih metode pengajaran, daring atau tatap muka. Untuk yang tatap muka tentu harus memenuhi persyaratan dan izin dari pihak terkait dengan mempertimbangkan perkembangan COVID-19 di wilayah sekitar sekolah dan tempat tinggal siswa maupun guru.

Untuk kelas tatap muka tentu lebih detil dan ketat karena adanya peluang untuk berinteraksi antara guru dengan siswa. Juga interaksi antarsiswa, padahal dalam protokol kesehatan setiap orang harus menjaga jarak.

Karena itu, simulasi-simulasi perlu dilakukan oleh siswa dan guru yang diawasi pimpinan sekolah, perwakilan dinas terkait, komite sekolah dan Satgas Penanganan COVID setempat.

Setelah ada kepastian jumlah siswa sesuai opsinya, teknis pembelajaran juga perlu inovasi dan improvisasi. Misalnya, jam belajar yang lebih singkat dan tanpa pendingin tetapi seluruh jendela ruang dibuka.

Yang tak kalah pentingnya, untuk menghilangkan kekhawatiran tertular virus saat belajar tatap muka dan untuk tetap bisa menjaga jarak, maka perlu dikaji penyampaian pelajaran di tempat terbuka atau di luar ruangan.

Misalnya, di teras, halaman atau di taman di lingkungan sekolah. Bila memungkinkan di bawah pohon yang rindang di komplek sekolah.

Bagaimanapun, pembelajaran tatap muka membutuhkan inovasi dan improvisasi agar aman dari penularan COVID-19, yakni proses pembelajaran yang serius tetapi santai.

Pewarta : Sri Muryono
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024