Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puspeka Kemendikbud) RI Hendarman, Ph.D. mengatakan, pendidikan karakter anak ketika belajar di rumah adalah sinergi dari orang tua, pemerintah, hingga kehadiran teknologi yang menunjang proses belajar.
"Sejalan dengan program Merdeka Belajar, prinsipnya pemangku kepentingan ikut serta berkontribusi di dunia pendidikan dengan peran masing-masing dan bersinergi," kata Hendarman dalam jumpa pers daring, Rabu.
Hendarman menilai, peran orang tua untuk membantu anaknya belajar di rumah dengan menggunakan teknologi sangat penting. Sehingga, sama seperti anaknya yang sudah terpapar teknologi sejak dini, orang tua juga harus mau belajar dan beradaptasi.
"Karakter (anak) dibentuk bukan hanya di sekolah, tapi, di saat seperti sekarang, dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ), mau tak mau orang tua harus bertanggung jawab, karena dasarnya orang tua adalah guru pertama dan utama. Karakter tidak bisa tumbuh mendadak, ada proses panjang yang membentuknya menjadi kebiasaan," katanya.
"Sementara, teknologi adalah alat bantu buat kita memperkuat karakter anak. Diperlukan pemahaman yang sama (dari orang tua dan guru), dan itu bisa dimulai kalau kita edukasi dan saling komunikasi," imbuhnya.
Lebih lanjut, Hendarman memberikan rangkuman menarik bagi orang tua untuk dapat membantu proses belajar anak, dan menjadikan anaknya berkarakter sesuai nilai positif. Rangkuman tersebut ia singkat menjadi "CINTA".
Huruf "C" berdiri untuk "contoh". Orang tua menjadi contoh bagi anak untuk menerapkan karakter positif dan menjadi teladan. Sementara "I" berdiri untuk "ingat", dimana orang tua harus ingat tujuan posiitif selama proses pengasuhan, dan harus ada persepsi sama untuk menjadi manusia yang baik.
Selanjutnya adalah huruf "N" untuk kata "normalisasi". Normalisasi diskusi isu sosial, agar anak memahami baik-buruknya sesuatu, berdasarkan tingkatan usia mereka.
Huruf "T" berdiri untuk kata "tempat", di mana orang tua harus bisa menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak untuk mencurahkan perasaan dan pemikirannya.
"Yang terakhir, adalah 'A', yaitu amati momen-momen yang bisa dijalankan sebagai karakter positif anak. Orang tua harus aktif melihat lingkungan dan mengenalkan media dan hal-hal menarik untuk anak," kata Hendarman.
Hendarman juga menyebutkan bahwa kementeriannya juga telah melakukan pendekatan berbasis teknologi dan audio-visual untuk pendidikan karakter anak.
"Anak sekarang agak susah mendengarkan (orang tua), maunya yang cepat dan menarik, dan tertarik ke audio-visual. Atas pertimbangan itu, kami gunakan kampanye media, seperti video pendek, iklan layanan masyarakat, infografis, komik, yang semuanya bisa diakses di gadget sendiri," pungkasnya.
"Sejalan dengan program Merdeka Belajar, prinsipnya pemangku kepentingan ikut serta berkontribusi di dunia pendidikan dengan peran masing-masing dan bersinergi," kata Hendarman dalam jumpa pers daring, Rabu.
Hendarman menilai, peran orang tua untuk membantu anaknya belajar di rumah dengan menggunakan teknologi sangat penting. Sehingga, sama seperti anaknya yang sudah terpapar teknologi sejak dini, orang tua juga harus mau belajar dan beradaptasi.
"Karakter (anak) dibentuk bukan hanya di sekolah, tapi, di saat seperti sekarang, dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ), mau tak mau orang tua harus bertanggung jawab, karena dasarnya orang tua adalah guru pertama dan utama. Karakter tidak bisa tumbuh mendadak, ada proses panjang yang membentuknya menjadi kebiasaan," katanya.
"Sementara, teknologi adalah alat bantu buat kita memperkuat karakter anak. Diperlukan pemahaman yang sama (dari orang tua dan guru), dan itu bisa dimulai kalau kita edukasi dan saling komunikasi," imbuhnya.
Lebih lanjut, Hendarman memberikan rangkuman menarik bagi orang tua untuk dapat membantu proses belajar anak, dan menjadikan anaknya berkarakter sesuai nilai positif. Rangkuman tersebut ia singkat menjadi "CINTA".
Huruf "C" berdiri untuk "contoh". Orang tua menjadi contoh bagi anak untuk menerapkan karakter positif dan menjadi teladan. Sementara "I" berdiri untuk "ingat", dimana orang tua harus ingat tujuan posiitif selama proses pengasuhan, dan harus ada persepsi sama untuk menjadi manusia yang baik.
Selanjutnya adalah huruf "N" untuk kata "normalisasi". Normalisasi diskusi isu sosial, agar anak memahami baik-buruknya sesuatu, berdasarkan tingkatan usia mereka.
Huruf "T" berdiri untuk kata "tempat", di mana orang tua harus bisa menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak untuk mencurahkan perasaan dan pemikirannya.
"Yang terakhir, adalah 'A', yaitu amati momen-momen yang bisa dijalankan sebagai karakter positif anak. Orang tua harus aktif melihat lingkungan dan mengenalkan media dan hal-hal menarik untuk anak," kata Hendarman.
Hendarman juga menyebutkan bahwa kementeriannya juga telah melakukan pendekatan berbasis teknologi dan audio-visual untuk pendidikan karakter anak.
"Anak sekarang agak susah mendengarkan (orang tua), maunya yang cepat dan menarik, dan tertarik ke audio-visual. Atas pertimbangan itu, kami gunakan kampanye media, seperti video pendek, iklan layanan masyarakat, infografis, komik, yang semuanya bisa diakses di gadget sendiri," pungkasnya.