Palu (ANTARA) - Salah satu aktivis agraria di Sulawesi Tengah Eva Bande menyatakan hari perempuan sedunia tanggal 8 Maret 2021 harus menjadi momentum untuk menjamin kemerdekaan dan kebebasan perempuan pada sektor agraria.
"Situasi agraria di Sulteng kurang membaik. Eksploitasi yang sudah berlangsung lama terus dilanjutkan, gerak rakyat terhalau oleh COVID-19 dan varian-varian barunya. Dalam kondisi yang demikian itu, perempuan terpojok karena mengalami tekanan dari berbagai arah, bahkan dari kalangannya sendiri yang memihak modal," ucap Eva Bande, dalam keterangan tertulisnya berkaitan dengan momentum hari perempuan sedunia, Minggu.
Eva Bande yang merupakan perempuan aktivis peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) tahun 2018 mengemukakan menilai, hingga saat ini perempuan menjadi korban materiel maupun immateriel pada sektor agraria.
"Bahkan menjadi bulan-bulanan kekerasan fisik maupun mental. Tetapi perempuan tidak diam, mereka terus berusaha keluar dari kubangan lumpur kemiskinan dan kekerasan multisektor itu," ucapnya.
Kata Eva, perempuan-perempuan pejuang ditangkap lalu dipenjara, perempuan yang mempertahankan haknya diseret ke pengadilan, meski mereka bukanlah aktor-aktor penting dari gerakan lapis atas.
"Perempuan petani yang hanya bermodalkan keyakinan atas kepemilikan hak dan perintah dari langit untuk menjaga hak milik atas tanah, diintimidasi dengan peluru timah. Ini pernah dialami oleh perempuan petani di Toili Kabupaten Banggai, ini sungguh kelewatan," ujarnya.
"Periksa juga kasus Tanjung Sari-Luwuk, bagaimana puluhan kaum perempuan berjuang mempertahankan rumah-rumah mereka, yang digusur habis tanah dan bangunan rumah mereka, nasib mereka kini terkatung," sebutnya.
Atas kondisi itu, melalui momentum hari perempuan sedunia 8 Maret, Eva Bande menyuarakan persatuan kepada seluruh perempuan pejuang, bangkit dan lawanlah penindasan dari manapun datangnya.
"Konsolidasi harus dilakukan di semua tempat dan satukan semuanya, ikat dengan semangat yang tak surut, rebut kemenangan," kata dia.
"Salah satunya ialah mendesak pemerintah membentuk Badan Nasional Penyelesain Konflik Agraria Indonesia," ungkapnya.
"Situasi agraria di Sulteng kurang membaik. Eksploitasi yang sudah berlangsung lama terus dilanjutkan, gerak rakyat terhalau oleh COVID-19 dan varian-varian barunya. Dalam kondisi yang demikian itu, perempuan terpojok karena mengalami tekanan dari berbagai arah, bahkan dari kalangannya sendiri yang memihak modal," ucap Eva Bande, dalam keterangan tertulisnya berkaitan dengan momentum hari perempuan sedunia, Minggu.
Eva Bande yang merupakan perempuan aktivis peraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) tahun 2018 mengemukakan menilai, hingga saat ini perempuan menjadi korban materiel maupun immateriel pada sektor agraria.
"Bahkan menjadi bulan-bulanan kekerasan fisik maupun mental. Tetapi perempuan tidak diam, mereka terus berusaha keluar dari kubangan lumpur kemiskinan dan kekerasan multisektor itu," ucapnya.
Kata Eva, perempuan-perempuan pejuang ditangkap lalu dipenjara, perempuan yang mempertahankan haknya diseret ke pengadilan, meski mereka bukanlah aktor-aktor penting dari gerakan lapis atas.
"Perempuan petani yang hanya bermodalkan keyakinan atas kepemilikan hak dan perintah dari langit untuk menjaga hak milik atas tanah, diintimidasi dengan peluru timah. Ini pernah dialami oleh perempuan petani di Toili Kabupaten Banggai, ini sungguh kelewatan," ujarnya.
"Periksa juga kasus Tanjung Sari-Luwuk, bagaimana puluhan kaum perempuan berjuang mempertahankan rumah-rumah mereka, yang digusur habis tanah dan bangunan rumah mereka, nasib mereka kini terkatung," sebutnya.
Atas kondisi itu, melalui momentum hari perempuan sedunia 8 Maret, Eva Bande menyuarakan persatuan kepada seluruh perempuan pejuang, bangkit dan lawanlah penindasan dari manapun datangnya.
"Konsolidasi harus dilakukan di semua tempat dan satukan semuanya, ikat dengan semangat yang tak surut, rebut kemenangan," kata dia.
"Salah satunya ialah mendesak pemerintah membentuk Badan Nasional Penyelesain Konflik Agraria Indonesia," ungkapnya.