Surabaya (ANTARA) - "Danden (komandan detasemen), dansubden (komandan subdetasemen), dan (komandan) unit, silakan kalau mau kembali atau pulang. Ini sudah tidak ada acara lagi. Saya titip prajurit ya, cintai mereka, sayangi mereka".
Kalimat itu dilontarkan Komandan Polisi Militer Kodam V/Brawijaya Kolonel (CPM) Moh Sawi seusai rangkaian acara terakhir serah terima jabatan Komandan Pomdam di Surabaya, Senin (29/3).
Ketika mempersilakan para komandan di bawahnya itu untuk pulang ke daerah tugas masing-masing, intonasi suara Kolonel Sawi begitu lembut. Pada komandan itu kemudian dengan berdiri dan mengucapkan kata "siap" sambil menempatkan tangan kanannya di pelipis, sebagai tanda hormat pada komandannya.
Kolonel Sawi yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur ini, kemudian menceritakan latar belakang dari kalimat yang disampaikan kepada para komandan korps polisi militer di bawahnya itu untuk cinta dan sayang pada prajurit.
Perwira menengah yang selalu bangga mengaku dirinya sebagai santri, lebih-lebih santri dari pahlawan nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini, bercerita tentang catur muka yang harus dipedomani oleh prajurit.
Keempat prinsip catur muka itu, menjadi komandan, menjadi guru, menjadi bapak, dan menjadi teman. Ketika berperan sebagai komandan, seorang perwira bisa memberikan hadiah dan hukuman, ketika menjadi guru harus mampu mengajari bawahan yang pengetahuannya belum lengkap untuk menjalankan suatu tugas, ketika menjadi teman harus bisa akrab dengan bawahan, dengan tetap menjunjung etika keprajuritan.
Sawi yang lulusan Sekolah Perwira Prajurit Karier (Sepa PK) ABRI 1994/1995 ini, menambahkan satu prinsip lagi, yakni semua bawahan adalah saudara. Karena itu, ia tidak jarang biasa makan bersama dengan prajurit dalam satu meja.
"Karena itu, bagi saya, tidak bisa saya makan di sini, kemudian saya nyuruh bawahan untuk makan di sana. Justru dalam suasana makan bersama ini menjadi kesempatan untuk menunjukkan rasa cinta dan sayang pada prajurit. Dalam menjalankan tugas, saya selalu kedepankan fungsi sebagai bapak, fungsi komandan baru terakhir. Dalam hal-hal tertentu saya memilih menjadi teman," kata pria kelahiran Bangkalan, Madura ini.
Kepada komandan di bawahnya, Kolonel Sawi mengingatkan mereka agar tidak menzalimi bawahan, tidak mencela bawahan, dan jangan memberikan sebutan nama binatang kepada bawahan.
"Bahkan, memukul bawahan itu dilarang, tidak boleh. Itu ada KUHP militer. Nah, kalau komandannya sudah baik seperti itu, jangan juga bawahan kemudian membandel. Jadi harus ada timbal balik sehingga semuanya memiliki nilai kebaikan," katanya.
Sebagai prajurit yang santri, bapak satu anak ini selalu menekankan prajuritnya taat ajaran agama, sesuai keyakinan masing-masing. Bagi yang Islam, Sawi tak segan-segan selalu mengingatkan ketika waktu shalat tiba. Bagi yang non-Muslim, ia juga mengingatkan agar prajuritnya juga menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
"Kalau di Islam itu kan intinya di shalat. Shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Karena itu kalau shalatnya bagus, maka semua perilakunya akan bagus. Kalau ada yang shalat tapi perbuatannya belum bagus, maka cara berpikirnya adalah, apalagi kalau dia tidak shalat, bukan kemudian tidak shalat," kata penyandang gelar sarjana hukum dan magister hukum ini.
Mantan Komandan Denpom Malang, Denpom Mojokerto, dan Denpom Madiun ini kemudian dikenal sebagai komandan yang akrab dengan anggota, namun tidak pernah berkompromi dengan pelanggaran yang dilakukan prajurit.
Ia mengaku bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada atasan, melainkan kepada Allah. Maka setiap diberi tanggung jawab memegang jabatan tertentu, Sawi selalu berusaha untuk "membesarkan jabatan" itu, bukan justru "membesarkan diri" dengan jabatan.
Maka, ia juga selalu menerapkan prinsip untuk selalu bekerja sesuai standar. Ada atasan atau tidak ada, maka ia akan bekerja sesuai standar yang telah ditentukan, bahkan bisa lebih. Ia tidak berharap penilaian dari pimpinan, melainkan selalu menggantungkan diri pada penilaian Allah sebagai ikhtiar ibadah.
"Satu hal lagi, saya selalu bekerja dari titik nol. Ini berkaitan dengan tulus ikhlas. Ini lagi-lagi bicara mengenai perintah Tuhan. Jadi selalu saya sandarkan pada Allah, ini maksud saya titik nol. Bahkan, terkait kewajiban, juga seharusnya tidak berharap apa-apa kepada Allah. Karena itu memang kewajiban, ya jalani saja, kecuali kalau itu hal sunah. Jadi saya bekerja itu apa adanya, bukan ada apanya," katanya.
Nilai-nilai KHR As'ad
Kolonel Sawi mengemukakan bahwa perjalanan hidup dan kariernya di militer selama ini tidak lepas dari berkah dan nilai-nilai spiritual yang ia pegang dari gurunya, yakni KHR As'ad Syamsul Arifin, seorang tokoh NU yang juga bergelar pahlawan nasional.
Nilai-nilai yang dijalani dan selama hidup disampaikan oleh Kiai As'ad, satu-satunya mediator berdirinya NU antara Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dengan ulama besar dari Bangkalan Syaikhona Kholil ini, selalu menjadi energi bagi perjalanan hidup dan kedinasan bagi Kolonel Sawi.
Nilai-nilai utama dari Kiai As'ad yang diyakini selalu menjadi sarana mendukung dan menyelamatkan Sawi dalam hidup dan tugas sebagai prajurit adalah "menjadi sebaik-baik umat".
Sawi masih ingat ketika para santri dikumpulkan di aula Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Kiai As'ad memberi wejangan dalam Bahasa Madura. Intinya, "Berpikirlah untuk (membantu, red.) orang lain, maka orang itu dapat, kita juga dapat, bahkan berlipat-lipat. Kemudian hidup kita juga akan dimudahkan oleh Allah. Kalau kamu hanya mikirkan dirimu, kamu hanya dapat satu, orang lain tidak dapat".
Wejangan Kiai As'ad itu kemudian dimaknai oleh Sawi sebagai penjabaran dari, "Sebaik-baik umat adalah umat yang banyak bermanfaat bagi umat lainnya". Nilai-nilai itu yang kemudian selalu ia bawa untuk menjalankan tugas. Ketika nilai-nilai itu dipadukan dengan prinsip "titik nol", maka bagi Sawi tidak ada tugas yang berat.
"Termasuk ketika saya diperintahkan oleh atas untuk bertugas di Puspenerad (Pusat Penerbangan Angkatan Darat), saya tetap 'enjoy'. Saya dari koprs polisi militer ditugaskan di penerbangan, sepertinya tidak nyambung. Tapi saya selalu ingin memberikan yang terbaik di manapun saya ditugaskan," katanya.
Hal lain yang masih selalu diingat oleh Sawi mengenai wejangan Kiai As'ad mengenai ilmu. Ketika lulus SMA di Ponpes Sukorejo, Sawi remaja pamit kepada Kiai As'ad untuk keluar dari pondok dan istirahat dari pendidikan. Sebagai anak muda, ia ingin mencari kerja dengan bekal ijazah SMA.
Kata Kiai As'ad, "Tidak ada santri itu istirahat. Mencari ilmu itu terus-menerus. Ilmu Allah itu sangat luas, juga di luar pondok. Kamu sekolah terus, cari ilmu".
"Ternyata yang disampaikan Kiai As'ad untuk saya menjadi kenyataan. Setelah selesai pendidikan pertama di militer, saya terus-menerus mengikuti pendidikan. Bukan hanya di dunia polisi militer, bahkan terakhir saya juga sekolah auditor dan investigasi," kata lulusan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat ini.
Jika ditilik ke sejarah masa lalu, pilihan karier Kolonel Sawi di militer sebetulnya ibarat meneruskan perjuangan Kiai As'ad dalam mempertahankan NKRI, baik di masa penjajahan maupun saat kemerdekaan. Selain sebagai ulama yang ahli ilmu atau pendidik, Kiai As'ad juga prajurit, bahkan panglima laskar dalam peperangan melawan penjajah. Kiai As'ad menggerahkan komponen masyarakat yang kemudian diberi nama Laskar Palopor.
Keterlibatan Kiai As'ad dalam memimpin perjuangan melawan penjajah sudah diakui oleh negara dengan anugerah pahlawan nasional. Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Kiai As'ad juga dikenal sebagai tokoh NU dan tokoh bangsa yang getol mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara.
Di ponpes yang dipimpinnya itu, Muktamar Ke-27 NU diselenggarakan. Muktamar pada Tahun 1984 itu menjadi momentum keputusan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Santri & Alumni Salafiyah Syafi'iyah (IKSASS) Kiai Abdul Munif Shaleh, MAg menaruh harapan agar Kolonel Sawi mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan bangsa dan negara yang menempatkan dirinya memimpin korps polisi militer dengan wilayah se-Jawa Timur.
Dia berharap, Kolonel Sawi mampu memegang teguh nilai-nilai ilahiah yang telah ditanamkan oleh Kiai As'ad, sehingga jabatan itu menjadi berkah bagi kemaslahatan orang banyak serta bangsa dan negara.
"Harapan Kiai As'ad agar santri selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran, amanah, dan istikamah dalam kebaikan juga selalu menjadi pandu bagi Pak Sawi dalam menjalankan tugas negara, khususnya dalam mengawal Pancasila yang bagi ulama dan pondok pesantren, Pancasila itu sudah final," katanya.
Jika mengingat pesan Kiai As'ad kepada para santrinya saat sudah terjun di masyarakat, agar berkecimpung di tiga ranah, yakni pendidikan, dakwah, dan ekonomi umat, maka bagi Kolonel Sawi, perjuangan di bidang keamanan itu bisa beririsan dengan aspek pendidikan dan dakwah sekaligus.
Mengenai kebanggaan Sawi sebagai santri yang hingga saat ini tetap mengaku sebagai santri, meskipun sudah tidak berada di pondok pesantren, Kiai Munif mengatakan bahwa begitulah memang santri dengan lembaga pesantren dan pengasuhnya.
Karena itu, keberadaan organisasi IKSASS selain menjadi sarana untuk terus menyambung tali silaturahim, juga menghidupkan semangat dan nilai-nilai kesantrian di dalam diri para alumni.
Munif dan para alumni Ponpes Sukorejo berharap, Sawi terus istikamah dalam menjaga semangat untuk menjadi "sebaik-baik umat" di manapun ditugaskan sebagai prajurit TNI. Apalagi dengan status sebagai perwira.
Kalimat itu dilontarkan Komandan Polisi Militer Kodam V/Brawijaya Kolonel (CPM) Moh Sawi seusai rangkaian acara terakhir serah terima jabatan Komandan Pomdam di Surabaya, Senin (29/3).
Ketika mempersilakan para komandan di bawahnya itu untuk pulang ke daerah tugas masing-masing, intonasi suara Kolonel Sawi begitu lembut. Pada komandan itu kemudian dengan berdiri dan mengucapkan kata "siap" sambil menempatkan tangan kanannya di pelipis, sebagai tanda hormat pada komandannya.
Kolonel Sawi yang merupakan alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur ini, kemudian menceritakan latar belakang dari kalimat yang disampaikan kepada para komandan korps polisi militer di bawahnya itu untuk cinta dan sayang pada prajurit.
Perwira menengah yang selalu bangga mengaku dirinya sebagai santri, lebih-lebih santri dari pahlawan nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini, bercerita tentang catur muka yang harus dipedomani oleh prajurit.
Keempat prinsip catur muka itu, menjadi komandan, menjadi guru, menjadi bapak, dan menjadi teman. Ketika berperan sebagai komandan, seorang perwira bisa memberikan hadiah dan hukuman, ketika menjadi guru harus mampu mengajari bawahan yang pengetahuannya belum lengkap untuk menjalankan suatu tugas, ketika menjadi teman harus bisa akrab dengan bawahan, dengan tetap menjunjung etika keprajuritan.
Sawi yang lulusan Sekolah Perwira Prajurit Karier (Sepa PK) ABRI 1994/1995 ini, menambahkan satu prinsip lagi, yakni semua bawahan adalah saudara. Karena itu, ia tidak jarang biasa makan bersama dengan prajurit dalam satu meja.
"Karena itu, bagi saya, tidak bisa saya makan di sini, kemudian saya nyuruh bawahan untuk makan di sana. Justru dalam suasana makan bersama ini menjadi kesempatan untuk menunjukkan rasa cinta dan sayang pada prajurit. Dalam menjalankan tugas, saya selalu kedepankan fungsi sebagai bapak, fungsi komandan baru terakhir. Dalam hal-hal tertentu saya memilih menjadi teman," kata pria kelahiran Bangkalan, Madura ini.
Kepada komandan di bawahnya, Kolonel Sawi mengingatkan mereka agar tidak menzalimi bawahan, tidak mencela bawahan, dan jangan memberikan sebutan nama binatang kepada bawahan.
"Bahkan, memukul bawahan itu dilarang, tidak boleh. Itu ada KUHP militer. Nah, kalau komandannya sudah baik seperti itu, jangan juga bawahan kemudian membandel. Jadi harus ada timbal balik sehingga semuanya memiliki nilai kebaikan," katanya.
Sebagai prajurit yang santri, bapak satu anak ini selalu menekankan prajuritnya taat ajaran agama, sesuai keyakinan masing-masing. Bagi yang Islam, Sawi tak segan-segan selalu mengingatkan ketika waktu shalat tiba. Bagi yang non-Muslim, ia juga mengingatkan agar prajuritnya juga menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
"Kalau di Islam itu kan intinya di shalat. Shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Karena itu kalau shalatnya bagus, maka semua perilakunya akan bagus. Kalau ada yang shalat tapi perbuatannya belum bagus, maka cara berpikirnya adalah, apalagi kalau dia tidak shalat, bukan kemudian tidak shalat," kata penyandang gelar sarjana hukum dan magister hukum ini.
Mantan Komandan Denpom Malang, Denpom Mojokerto, dan Denpom Madiun ini kemudian dikenal sebagai komandan yang akrab dengan anggota, namun tidak pernah berkompromi dengan pelanggaran yang dilakukan prajurit.
Ia mengaku bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada atasan, melainkan kepada Allah. Maka setiap diberi tanggung jawab memegang jabatan tertentu, Sawi selalu berusaha untuk "membesarkan jabatan" itu, bukan justru "membesarkan diri" dengan jabatan.
Maka, ia juga selalu menerapkan prinsip untuk selalu bekerja sesuai standar. Ada atasan atau tidak ada, maka ia akan bekerja sesuai standar yang telah ditentukan, bahkan bisa lebih. Ia tidak berharap penilaian dari pimpinan, melainkan selalu menggantungkan diri pada penilaian Allah sebagai ikhtiar ibadah.
"Satu hal lagi, saya selalu bekerja dari titik nol. Ini berkaitan dengan tulus ikhlas. Ini lagi-lagi bicara mengenai perintah Tuhan. Jadi selalu saya sandarkan pada Allah, ini maksud saya titik nol. Bahkan, terkait kewajiban, juga seharusnya tidak berharap apa-apa kepada Allah. Karena itu memang kewajiban, ya jalani saja, kecuali kalau itu hal sunah. Jadi saya bekerja itu apa adanya, bukan ada apanya," katanya.
Nilai-nilai KHR As'ad
Kolonel Sawi mengemukakan bahwa perjalanan hidup dan kariernya di militer selama ini tidak lepas dari berkah dan nilai-nilai spiritual yang ia pegang dari gurunya, yakni KHR As'ad Syamsul Arifin, seorang tokoh NU yang juga bergelar pahlawan nasional.
Nilai-nilai yang dijalani dan selama hidup disampaikan oleh Kiai As'ad, satu-satunya mediator berdirinya NU antara Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dengan ulama besar dari Bangkalan Syaikhona Kholil ini, selalu menjadi energi bagi perjalanan hidup dan kedinasan bagi Kolonel Sawi.
Nilai-nilai utama dari Kiai As'ad yang diyakini selalu menjadi sarana mendukung dan menyelamatkan Sawi dalam hidup dan tugas sebagai prajurit adalah "menjadi sebaik-baik umat".
Sawi masih ingat ketika para santri dikumpulkan di aula Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Kiai As'ad memberi wejangan dalam Bahasa Madura. Intinya, "Berpikirlah untuk (membantu, red.) orang lain, maka orang itu dapat, kita juga dapat, bahkan berlipat-lipat. Kemudian hidup kita juga akan dimudahkan oleh Allah. Kalau kamu hanya mikirkan dirimu, kamu hanya dapat satu, orang lain tidak dapat".
Wejangan Kiai As'ad itu kemudian dimaknai oleh Sawi sebagai penjabaran dari, "Sebaik-baik umat adalah umat yang banyak bermanfaat bagi umat lainnya". Nilai-nilai itu yang kemudian selalu ia bawa untuk menjalankan tugas. Ketika nilai-nilai itu dipadukan dengan prinsip "titik nol", maka bagi Sawi tidak ada tugas yang berat.
"Termasuk ketika saya diperintahkan oleh atas untuk bertugas di Puspenerad (Pusat Penerbangan Angkatan Darat), saya tetap 'enjoy'. Saya dari koprs polisi militer ditugaskan di penerbangan, sepertinya tidak nyambung. Tapi saya selalu ingin memberikan yang terbaik di manapun saya ditugaskan," katanya.
Hal lain yang masih selalu diingat oleh Sawi mengenai wejangan Kiai As'ad mengenai ilmu. Ketika lulus SMA di Ponpes Sukorejo, Sawi remaja pamit kepada Kiai As'ad untuk keluar dari pondok dan istirahat dari pendidikan. Sebagai anak muda, ia ingin mencari kerja dengan bekal ijazah SMA.
Kata Kiai As'ad, "Tidak ada santri itu istirahat. Mencari ilmu itu terus-menerus. Ilmu Allah itu sangat luas, juga di luar pondok. Kamu sekolah terus, cari ilmu".
"Ternyata yang disampaikan Kiai As'ad untuk saya menjadi kenyataan. Setelah selesai pendidikan pertama di militer, saya terus-menerus mengikuti pendidikan. Bukan hanya di dunia polisi militer, bahkan terakhir saya juga sekolah auditor dan investigasi," kata lulusan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat ini.
Jika ditilik ke sejarah masa lalu, pilihan karier Kolonel Sawi di militer sebetulnya ibarat meneruskan perjuangan Kiai As'ad dalam mempertahankan NKRI, baik di masa penjajahan maupun saat kemerdekaan. Selain sebagai ulama yang ahli ilmu atau pendidik, Kiai As'ad juga prajurit, bahkan panglima laskar dalam peperangan melawan penjajah. Kiai As'ad menggerahkan komponen masyarakat yang kemudian diberi nama Laskar Palopor.
Keterlibatan Kiai As'ad dalam memimpin perjuangan melawan penjajah sudah diakui oleh negara dengan anugerah pahlawan nasional. Pada perjalanan bangsa selanjutnya, Kiai As'ad juga dikenal sebagai tokoh NU dan tokoh bangsa yang getol mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara.
Di ponpes yang dipimpinnya itu, Muktamar Ke-27 NU diselenggarakan. Muktamar pada Tahun 1984 itu menjadi momentum keputusan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Santri & Alumni Salafiyah Syafi'iyah (IKSASS) Kiai Abdul Munif Shaleh, MAg menaruh harapan agar Kolonel Sawi mampu mewujudkan apa yang menjadi harapan bangsa dan negara yang menempatkan dirinya memimpin korps polisi militer dengan wilayah se-Jawa Timur.
Dia berharap, Kolonel Sawi mampu memegang teguh nilai-nilai ilahiah yang telah ditanamkan oleh Kiai As'ad, sehingga jabatan itu menjadi berkah bagi kemaslahatan orang banyak serta bangsa dan negara.
"Harapan Kiai As'ad agar santri selalu memegang teguh nilai-nilai kejujuran, amanah, dan istikamah dalam kebaikan juga selalu menjadi pandu bagi Pak Sawi dalam menjalankan tugas negara, khususnya dalam mengawal Pancasila yang bagi ulama dan pondok pesantren, Pancasila itu sudah final," katanya.
Jika mengingat pesan Kiai As'ad kepada para santrinya saat sudah terjun di masyarakat, agar berkecimpung di tiga ranah, yakni pendidikan, dakwah, dan ekonomi umat, maka bagi Kolonel Sawi, perjuangan di bidang keamanan itu bisa beririsan dengan aspek pendidikan dan dakwah sekaligus.
Mengenai kebanggaan Sawi sebagai santri yang hingga saat ini tetap mengaku sebagai santri, meskipun sudah tidak berada di pondok pesantren, Kiai Munif mengatakan bahwa begitulah memang santri dengan lembaga pesantren dan pengasuhnya.
Karena itu, keberadaan organisasi IKSASS selain menjadi sarana untuk terus menyambung tali silaturahim, juga menghidupkan semangat dan nilai-nilai kesantrian di dalam diri para alumni.
Munif dan para alumni Ponpes Sukorejo berharap, Sawi terus istikamah dalam menjaga semangat untuk menjadi "sebaik-baik umat" di manapun ditugaskan sebagai prajurit TNI. Apalagi dengan status sebagai perwira.