Tanjungpinang (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengingatkan seluruh wartawan untuk mewaspadai kekerasan yang dilakukan berbagai pihak terhadap perempuan yang melakukan liputan.
Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas dalam seminar bertema "Merawat Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi di tengah Represi Pandemi" di Sekretariat AJI Tanjungpinang, Sabtu, mengatakan, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan saat pandemi COVID-19 tahun 2020 justru tinggi, berdasarkan hasil survei.
"Survei yang dilakukan pada Agustus 2020 diikuti oleh 34 jurnalis dari berbagai kota, ditemukan 31 jurnalis perempuan, 25 orang di antaranya mengalami kekerasan seksual. Kami berharap kekerasan seperti ini tidak terjadi lagi," ujarnya.
Ika mengatakan kekerasan terhadap jurnalis perempuan yang menyebabkan jumlah jurnalis perempuan sedikit. Contohnya di Tanjungpinang jumlah jurnalis perempuan yang tergabung di-AJI hanya beberapa orang.
"Jumlah aktivis AJI di seluruh Indonesia sekitar 1.800 orang, hanya sekitar 20 persen perempuan. Kami merasa bangga dan senang, kalau mahasiswa yang tergabung di pers kampus menjadi generasi penerus kami," katanya dalam seminar yang dihadiri juga oleh sejumlah mahasiswi yang tergabung dalam Pers Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Raja Sultan Abdur Rahman.
Selain kekerasan jurnalis perempuan, berdasarkan data AJI jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik laki-laki dan perempuan, cukup tinggi. AJI mencatat terjadi 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020.
"Memang agak unik, di saat pandemi COVID-19 jumlah ini paling tinggi sejak lebih dari 10 tahun terakhir," ucapnya.
Kekerasan yang dialami jurnalis selama pandemi COVID-19 seperti kekerasan fisik, intimidasi, serangan digital dan perusakan barang saat melakukan liputan.
"Sebanyak 58 kasus pelakunya adalah oknum aparat," tuturnya.
Ika mengajak seluruh jurnalis membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat sipil. Dukungan tersebut dibutuhkan, salah satunya ketika muncul kasus kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis, seperti yang dialami salah seorang jurnalis di Surabaya.
"Pelatihan pengamanan digital untuk mengamankan media siber juga perlu dilakukan. AJI telah bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkompeten menyelenggarakan kegiatan tersebut," katanya.
Ika mengatakan kekerasan terhadap jurnalis kerap berhubungan atau dikait-kaitkan dengan kode etik jurnalistik. Kebebasan jurnalis tidak boleh kebablasan.
"Kami harapkan seluruh jurnalis melaksanakan tugas dengan menaati kode etik jurnalistik," ucapnya.
Ia mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghormati tugas jurnalistik yang dilaksanakan para jurnalis sehingga iklim demokrasi dapat terjaga.
"Jangan menggunakan kekerasan terhadap jurnalis," katanya.
Sekjen AJI Indonesia Ika Ningtyas dalam seminar bertema "Merawat Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi di tengah Represi Pandemi" di Sekretariat AJI Tanjungpinang, Sabtu, mengatakan, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan saat pandemi COVID-19 tahun 2020 justru tinggi, berdasarkan hasil survei.
"Survei yang dilakukan pada Agustus 2020 diikuti oleh 34 jurnalis dari berbagai kota, ditemukan 31 jurnalis perempuan, 25 orang di antaranya mengalami kekerasan seksual. Kami berharap kekerasan seperti ini tidak terjadi lagi," ujarnya.
Ika mengatakan kekerasan terhadap jurnalis perempuan yang menyebabkan jumlah jurnalis perempuan sedikit. Contohnya di Tanjungpinang jumlah jurnalis perempuan yang tergabung di-AJI hanya beberapa orang.
"Jumlah aktivis AJI di seluruh Indonesia sekitar 1.800 orang, hanya sekitar 20 persen perempuan. Kami merasa bangga dan senang, kalau mahasiswa yang tergabung di pers kampus menjadi generasi penerus kami," katanya dalam seminar yang dihadiri juga oleh sejumlah mahasiswi yang tergabung dalam Pers Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Raja Sultan Abdur Rahman.
Selain kekerasan jurnalis perempuan, berdasarkan data AJI jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis, baik laki-laki dan perempuan, cukup tinggi. AJI mencatat terjadi 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020.
"Memang agak unik, di saat pandemi COVID-19 jumlah ini paling tinggi sejak lebih dari 10 tahun terakhir," ucapnya.
Kekerasan yang dialami jurnalis selama pandemi COVID-19 seperti kekerasan fisik, intimidasi, serangan digital dan perusakan barang saat melakukan liputan.
"Sebanyak 58 kasus pelakunya adalah oknum aparat," tuturnya.
Ika mengajak seluruh jurnalis membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat sipil. Dukungan tersebut dibutuhkan, salah satunya ketika muncul kasus kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis, seperti yang dialami salah seorang jurnalis di Surabaya.
"Pelatihan pengamanan digital untuk mengamankan media siber juga perlu dilakukan. AJI telah bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkompeten menyelenggarakan kegiatan tersebut," katanya.
Ika mengatakan kekerasan terhadap jurnalis kerap berhubungan atau dikait-kaitkan dengan kode etik jurnalistik. Kebebasan jurnalis tidak boleh kebablasan.
"Kami harapkan seluruh jurnalis melaksanakan tugas dengan menaati kode etik jurnalistik," ucapnya.
Ia mengingatkan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menghormati tugas jurnalistik yang dilaksanakan para jurnalis sehingga iklim demokrasi dapat terjaga.
"Jangan menggunakan kekerasan terhadap jurnalis," katanya.