Naypyidaw (ANTARA) - Pimpinan junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang akan membahas isu di negara tersebut.
Kepastian mengenai rencana kehadiran komandan militer Min Aung Hlaing dalam KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta pada Sabtu (24/4), disampaikan oleh juru bicara junta Zaw Min Tun kepada Nikkei Asia.
Myanmar telah berada dalam krisis sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, dengan unjuk rasa hampir setiap hari terhadap kudeta tersebut meskipun ada tindakan keras oleh junta yang menewaskan ratusan orang.
ASEAN telah mencoba untuk membantu Myanmar keluar dari kekacauan berdarah yang dipicu oleh kudeta, tetapi prinsip konsensus dan non intervensi kelompok 10 negara itu telah membatasi kemampuannya untuk mengatasi pandangan yang berbeda dari anggota tentang bagaimana menanggapi pembunuhan ratusan warga sipil yang dilakukan oleh tentara.
Militer Myanmar menunjukkan sedikit kesediaan untuk terlibat dengan negara-negara tetangganya dan tidak ada tanda-tanda ingin berbicara dengan anggota pemerintah yang digulingkannya. Militer bahkan menuduh beberapa dari anggota pemerintah terpilih melakukan pengkhianatan, yang dapat dihukum mati.
Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis, mengatakan 738 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta dan 3.300 orang saat ini ditahan, termasuk 20 orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
Junta telah membebaskan ribuan orang dari penjara sejak kudeta, tetapi relatif sedikit yang dikaitkan dengan unjuk rasa. Sementara itu, stasiun televisi yang didukung militer, MWD, melaporkan pada Selasa (20/4) bahwa kementerian dalam negeri telah menyatakan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk oleh penentang junta sebagai pelanggar hukum.
Pekan lalu, politisi pro-demokrasi, termasuk anggota parlemen yang digulingkan, mengumumkan pembentukan NUG yang mencakup Suu Kyi, yang telah ditahan sejak kudeta, serta para pemimpin protes dan etnis minoritas.
NUG mengatakan mereka adalah otoritas yang sah di Myanmar dan telah meminta pengakuan internasional dan undangan ke pertemuan ASEAN di Jakarta.
Sekelompok anggota parlemen ASEAN juga mengatakan NUG harus diundang.
"ASEAN tidak dapat secara memadai membahas situasi di Myanmar tanpa mendengar dan berbicara dengan Pemerintah Persatuan Nasional," kata Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia dalam sebuah pernyataan.
Dalam undangan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing dikatakan bahwa "ASEAN harus menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak ada di sana sebagai wakil rakyat Myanmar, yang sama sekali menolak junta."
Pernyataan serupa dirilis oleh kelompok hak asasi Human Rights Watch yang menyebut bahwa ASEAN harus segera menarik undangan ke pemimpin junta Myanmar.
"Min Aung Hlaing, yang menghadapi sanksi internasional atas perannya dalam kekejaman militer dan penumpasan brutal terhadap pengunjuk rasa pro demokrasi, seharusnya tidak disambut pada pertemuan antar pemerintah untuk mengatasi krisis yang ia ciptakan," kata Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch.
Sumber: Reuters
Kepastian mengenai rencana kehadiran komandan militer Min Aung Hlaing dalam KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta pada Sabtu (24/4), disampaikan oleh juru bicara junta Zaw Min Tun kepada Nikkei Asia.
Myanmar telah berada dalam krisis sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, dengan unjuk rasa hampir setiap hari terhadap kudeta tersebut meskipun ada tindakan keras oleh junta yang menewaskan ratusan orang.
ASEAN telah mencoba untuk membantu Myanmar keluar dari kekacauan berdarah yang dipicu oleh kudeta, tetapi prinsip konsensus dan non intervensi kelompok 10 negara itu telah membatasi kemampuannya untuk mengatasi pandangan yang berbeda dari anggota tentang bagaimana menanggapi pembunuhan ratusan warga sipil yang dilakukan oleh tentara.
Militer Myanmar menunjukkan sedikit kesediaan untuk terlibat dengan negara-negara tetangganya dan tidak ada tanda-tanda ingin berbicara dengan anggota pemerintah yang digulingkannya. Militer bahkan menuduh beberapa dari anggota pemerintah terpilih melakukan pengkhianatan, yang dapat dihukum mati.
Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis, mengatakan 738 orang telah dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta dan 3.300 orang saat ini ditahan, termasuk 20 orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
Junta telah membebaskan ribuan orang dari penjara sejak kudeta, tetapi relatif sedikit yang dikaitkan dengan unjuk rasa. Sementara itu, stasiun televisi yang didukung militer, MWD, melaporkan pada Selasa (20/4) bahwa kementerian dalam negeri telah menyatakan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk oleh penentang junta sebagai pelanggar hukum.
Pekan lalu, politisi pro-demokrasi, termasuk anggota parlemen yang digulingkan, mengumumkan pembentukan NUG yang mencakup Suu Kyi, yang telah ditahan sejak kudeta, serta para pemimpin protes dan etnis minoritas.
NUG mengatakan mereka adalah otoritas yang sah di Myanmar dan telah meminta pengakuan internasional dan undangan ke pertemuan ASEAN di Jakarta.
Sekelompok anggota parlemen ASEAN juga mengatakan NUG harus diundang.
"ASEAN tidak dapat secara memadai membahas situasi di Myanmar tanpa mendengar dan berbicara dengan Pemerintah Persatuan Nasional," kata Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia dalam sebuah pernyataan.
Dalam undangan kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing dikatakan bahwa "ASEAN harus menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak ada di sana sebagai wakil rakyat Myanmar, yang sama sekali menolak junta."
Pernyataan serupa dirilis oleh kelompok hak asasi Human Rights Watch yang menyebut bahwa ASEAN harus segera menarik undangan ke pemimpin junta Myanmar.
"Min Aung Hlaing, yang menghadapi sanksi internasional atas perannya dalam kekejaman militer dan penumpasan brutal terhadap pengunjuk rasa pro demokrasi, seharusnya tidak disambut pada pertemuan antar pemerintah untuk mengatasi krisis yang ia ciptakan," kata Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch.
Sumber: Reuters