Jakarta (ANTARA) - Menghidupkan industri di provinsi muda bukan sesuatu yang mudah, terlebih seiring dengan tuntutan kelestarian alam sekitarnya. Namun hal itu tak lantas melemahkan semangat Indonesia membangun Smart-Eco Industrial Parks.

Indonesia sejatinya telah lama berupaya keras mengembangkan industri hijau sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam pertemuan mengenai perubahan iklim di Copenhagen pada 2009 misalnya, Indonesia mematok National Determined Contribution (NDC), yakni pada 2020 mengurangi emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri (Bussines as Usual/BAU) dan sampai 41 persen dengan bantuan internasional.

Oleh karena itulah salah satunya kemudian Presiden Joko Widodo fokus mengembangkan ekonomi hijau (“green economy”), termasuk kawasan industri hijau (“green industrial park”).

Sebelumnya, saat membuka Musyawarah Perencanaan PembangunanNasional (Musrenbang) 2021  di Istana Negara Jakarta pada 4 Mei, Presiden Jokowi menekankan pentingnya pembangunan industri hijau (“green industry”) ramah lingkungan.

Energi listrik yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kawasan industri hijau tersebut juga berasal dari energi baru terbarukan (EBT).

"Transformasi energi baru dan terbarukan harus dimulai. ‘Green economy’, ‘green technology’, dan ‘green product’ harus diperkuat agar bisa bersaing di pasar global. Dan, kita sudah merencanakan pembangunan ‘green industrial park’, kawasan industri hijau di Kalimantan Utara,” papar Jokowi saat itu.

Kala itu Jokowi berharap tenaga air (“hydro power”) di Sungai Kayan, Kalimantan Utara, dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sumber energi ini akan menghasilkan energi hijau, energi baru terbarukan.

Jokowi kembali menegaskan keinginannya itu pada KTT P4G (Partnering for Green Growth and Global Goals 2030) secara virtual, Minggu (30/5). Katanya, Indonesia sedang mengembangkan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara yang berpotensi besar dalam pengembangan energi terbarukan.

Tantangan Menghadang

Industri hijau atau industri ramah lingkungan merupakan industri yang dalam proses produksinya mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan.

Penerapannya diharapkan mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat.

Dalam pengembangan industri hijau sejumlah langkah dilakukan di antaranya dengan menerapkan proses produksi bersih (“cleaner production”), konservasi energi (“energy efficiency”), efisiensi sumberdaya (“resource efficiency eco-design”), proses daur ulang, dan teknologi rendah karbon (“low-carbon technology”).

Selain itu, kalangan industri juga didorong melakukan upaya-upaya penerapan ekonomi sirkar dalam pengelolaan industri antara lain melalui implementasi konsep 5R, yaitu “Reduce, Reuse, Recycle, Recovery, Repair”.

Melalui upaya itu diharapkan material mentah dapat digunakan berkali-kali dalam berbagai daur hidup produk, sehingga ekstraksi bahan mentah dari alam bisa lebih efektif dan efisien.

Selain itu, pendekatan “circular economy” juga akan mengurangi timbulan limbah yang dihasilkan, karena sebisa mungkin limbah yang dihasilkan akan diolah lagi menjadi produk dan sekaligus bisa memberi nilai tambah secara ekonomi

Melalui penerapan industri hijau juga potensial terjadi efisiensi pemakaian bahan baku, energi dan air, sehingga limbah maupun emisi yang dihasilkan menjadi minimal dan proses produksi akan menjadi lebih efisien yang dapat meningkatkan daya saing produk industri nasional.

Komitmen penurunan emisi gas rumah kaca ini harus diakui membutuhkan usaha dan tindakan nyata yang menyeluruh dari seluruh sektor pengemisi gas rumah kaca.

Oleh karena itu itu pemerintah terus mendorong pengembangan industri hijau yang kompetitif dengan sasaran pemanfaatan peluang ekonomi ramah lingkungan (“green economy”) serta mampu menciptakan lapangan kerja baru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kontribusi sektor industri hijau pada PDB nasional.

Di sisi lain, investasi yang diperlukan untuk pengembangan industri hijau cukup besar, salah satunya adalah karena diperlukan penggantian mesin produksi dengan teknologi yang ramah lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan insentif dari pemerintah agar industri hijau bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Didukung Industri

Langkah pemerintah mengembangkan kawasan industri hijau mendapatkan dukungan dari pelaku industri.

PT Kayan Hydro Energy (KHE) misalnya telah menyatakan sejalan dengan langkah Presiden Jokowi dengan melaksanakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kalimantan Utara.

KHE mendukung dan sejalan dengan upaya pemerintah bahkan, telah mengembangkan konsep energi hijau sejak 2011.

Perusahaan itu juga merupakan inisiator dan pemrakarsa proyek PLTA yang terdiri atas lima Cascade di Sungai Kayan, Kecamatan Long Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.

Direktur Operasional KHE Khaeroni mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai hal terkait elektrifikasi untuk kebutuhan industri maupun pelabuhan.

"Sejak sepuluh tahun silam, kami sudah memulai apa yang diutarakan Presiden Jokowi. Studi teknis, sosial, ekonomi, budaya, serta sosialisasi dan proses perizinan untuk pembangunan PLTA sudah selesai," ujarnya.

Bahkan, lanjut Khaeroni, KHE sudah mendapat peringkat 5A3 dari Dun & Bradstreet. Sejak 2019 perusahaan sudah melakukan pekerjaan pra-konstruksi dan tahun ini telah menyiapkan kegiatan awal infrastruktur penunjang konstruksi untuk pembangunan PLTA Kayan Cascade yang berpotensi menghasilkan daya listrik sebesar 9.000 megawatt.

Langkah konkret yang sudah dilakukan KHE antara lain pekerjaan pembuatan jalan dari jalan pemerintah daerah menuju ke lokasi fasilitas umum sepanjang 4,2 kilometer. Selain itu, proyek dan pembuatan jalan dari fasilitas umum menuju PLTA Kayan Cascade sejauh 7 kilometer.

Selain itu juga mengirimkan peralatan proyek dan membangun gudang penyimpanan bahan peledak untuk memudahkan pekerjaan. Ke depan perusahaan berencana untuk segera melakukan pekerjaan peledakan pembuatan jalan menuju lokasi bendungan dimana kegiatan ini dilakukan di luar wilayah hutan.

"Karena Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sedang menunggu penetapan oleh instansi terkait. Kewajiban dan proses kelengkapannya sudah terpenuhi dan secara prinsip sudah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi masih menunggu penetapan,” kata Khaeroni.

Nilai investasi untuk PLTA ini mencapai 17,8 miliar dolar AS, dengan lebih dari Rp2 triliun dana sudah digelontorkan. Angka ini belum termasuk pembiayaan infrastruktur dan pengembangan industri.

Sejumlah kontrak pun sudah ditandatangani meliputi proyek engineering, procurement, dan construction (EPC) dengan Sinohydro Corporation Limited, salah satu pengembang terbesar PLTA di dunia, pada 31 Oktober 2018.

“Target PLTA Kayan masih sesuai perencanaan awal, yaitu konstruksi selesai pada tahun 2024 dan tahap commercial operation date (COD) pada tahun 2025 mendatang,” kata Khaeroni.

Semua berharap proyek pembangunan PLTA ini berjalan optimal sehingga nantinya sumber daya listrik yang besar ini dapat terintegrasi dengan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning-Mangkupadi.

Di kawasan industri tersebut, PT Indonesia Strategis Industri (ISI) sebagai mitra sinergis juga tengah melakukan berbagai kegiatan lapangan, termasuk pembebasan lahan.

Mereka sudah mendapatkan izin, dan sedang melakukan pembebasan lahan sekitar 1.500 hektare untuk tahun ini dan akan dilanjutkan hingga mencapai 5.000 hektare. Setelah pembebasan lahan selesai, tahun depan para pelaku industri itu akan melanjutkan dengan tahapan pematangan lahan, yakni berupa penimbunan, pemadatan, dan sebagainya.

Untuk kemudian mewujudkan kawasan industri hijau yang diharapkan mendatangkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan alam sekitar.

Pewarta : Hanni Sofia
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024