Jakarta (ANTARA) - Teknologi dan internet yang tak bisa lepas dari kehidupan selama pandemi COVID-19 membuat orangtua harus bisa menerapkan pola asuh digital agar anak tidak kecanduan gawai, kata psikolog Meriyati dari Ikatan Ahli Psikologi Indonesia.
"Pengasuhan digital bukan sekadar memasang fitur parenting control, tapi tetap perlu pendampingan secara psikologis," kata Meriyati dalam webinar kesehatan, Selasa.
Pola asuh digital tak cuma melibatkan orangtua, tetapi juga orang-orang dewasa di sekitar anak seperti kakek, nenek, bibi, paman maupun pengasuh. Orang-orang dewasa ini harus lebih dulu melek teknologi agar bisa beradaptasi dalam mengasuh anak sesuai perkembangan zaman.
"Jangan malu bertanya kalau merasa gaptek," dia mengingatkan.
Bila orangtua atau pengasuh gagap teknologi (gaptek), anak akan mencari jawaban dari sumber lain yang tidak terjamin keamanannya, sehingga ada risiko anak terpapar konten-konten negatif yang tidak diinginkan.
Tegakkan aturan secara konsisten agar tercipta kebiasaan baik, seperti aturan berapa lama anak boleh bermain gawai dalam satu hari. Sosialisasikan dengan orang-orang terdekat seperti kakek dan nenek agar sama-sama berkomitmen menjalankan pola asuh digital.
Internet dan gawai adalah pisau bermata dua dengan banyak manfaat sekaligus risiko. Tanpa pendampingan dari orang dewasa, anak bisa terkena dampak negatif seperti kesehatan mental terganggu akibat perundungan siber, kecanduan, kecemasan, kurang konsentrasi hingga tidak bisa jadi diri sendiri karena setiap orang bisa punya persona yang diinginkan di dunia maya.
Perlakukan anak seperti orangtua ingin diperlakukan, katanya mengenai pola asuh yang ideal. Buatlah komunikasi dua arah, ketika menerapkan aturan kepada anak, beri pengertian mengapa anak harus mematuhinya, apa saja dampak positif dan negatif dari aturan tersebut. Dengan pola asuh ini, orangtua tetap mendengarkan dan memberi ruang untuk anak berpendapat sehingga mereka tumbuh jadi mandiri, tapi tetap ada batasan dan kendali.
Dengan demikian, anak bisa mengendalikan diri, ceria, terbiasa melakukan komunikasi dua arah, tumbuh dengan sifat ramah dan bisa bekerjasama. Anak juga bisa terlibat dalam aktivitas sosial dan tak mudah jatuh ke dalam perilaku menyimpang karena dia merasa dirinya berharga.
"Pengasuhan digital bukan sekadar memasang fitur parenting control, tapi tetap perlu pendampingan secara psikologis," kata Meriyati dalam webinar kesehatan, Selasa.
Pola asuh digital tak cuma melibatkan orangtua, tetapi juga orang-orang dewasa di sekitar anak seperti kakek, nenek, bibi, paman maupun pengasuh. Orang-orang dewasa ini harus lebih dulu melek teknologi agar bisa beradaptasi dalam mengasuh anak sesuai perkembangan zaman.
"Jangan malu bertanya kalau merasa gaptek," dia mengingatkan.
Bila orangtua atau pengasuh gagap teknologi (gaptek), anak akan mencari jawaban dari sumber lain yang tidak terjamin keamanannya, sehingga ada risiko anak terpapar konten-konten negatif yang tidak diinginkan.
Tegakkan aturan secara konsisten agar tercipta kebiasaan baik, seperti aturan berapa lama anak boleh bermain gawai dalam satu hari. Sosialisasikan dengan orang-orang terdekat seperti kakek dan nenek agar sama-sama berkomitmen menjalankan pola asuh digital.
Internet dan gawai adalah pisau bermata dua dengan banyak manfaat sekaligus risiko. Tanpa pendampingan dari orang dewasa, anak bisa terkena dampak negatif seperti kesehatan mental terganggu akibat perundungan siber, kecanduan, kecemasan, kurang konsentrasi hingga tidak bisa jadi diri sendiri karena setiap orang bisa punya persona yang diinginkan di dunia maya.
Perlakukan anak seperti orangtua ingin diperlakukan, katanya mengenai pola asuh yang ideal. Buatlah komunikasi dua arah, ketika menerapkan aturan kepada anak, beri pengertian mengapa anak harus mematuhinya, apa saja dampak positif dan negatif dari aturan tersebut. Dengan pola asuh ini, orangtua tetap mendengarkan dan memberi ruang untuk anak berpendapat sehingga mereka tumbuh jadi mandiri, tapi tetap ada batasan dan kendali.
Dengan demikian, anak bisa mengendalikan diri, ceria, terbiasa melakukan komunikasi dua arah, tumbuh dengan sifat ramah dan bisa bekerjasama. Anak juga bisa terlibat dalam aktivitas sosial dan tak mudah jatuh ke dalam perilaku menyimpang karena dia merasa dirinya berharga.