Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jayapura Frans Pekey mengapresiasi kebijakan afirmasi di bidang politik bagi orang asli Papua (OAP) yang terdapat dalam perubahan kedua Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
“Ini akan mendorong dan mengakomodir kepentingan orang Papua,” kata Frans ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Perubahan kedua UU No. 21 Tahun 2001 memuat nomenklatur baru pengganti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Perubahan ini diatur dalam Pasal 6a ayat (1)-ayat (7).
Adapun poin yang diapresiasi oleh Frans adalah Pasal 6a ayat (2) yang membahas mengenai komposisi dalam DPRK, yang menyatakan orang asli Papua akan mengisi seperempat (1/4) dari jumlah DPRK yang dipilih melalui Pemilu dengan unsur perempuan OAP minimal sebesar 30 persen.
“Masyarakat Papua harus menyiapkan diri dengan baik,” ucap Sekda Kota Jayapura ketika membahas terbukanya kesempatan untuk meningkatkan peran politik OAP setelah perubahan kedua UU No. 21 Tahun 2001.
Frans mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kebijakan inovatif dari Pemerintah Pusat untuk mengatasi kecilnya angka keterwakilan OAP dalam pemerintahan daerah di beberapa wilayah.
“Contohnya di Kota Jayapura dari 40 kursi OAP hanya 13 orang; Kabupaten Jayapura dari 25 kursi, OAP 7 orang; Kabupaten Keerom dari 23 kursi, OAP 7 orang; Kabupaten Mimika dari 35 kursi, 18 OAP; dan Kabupaten Merauke 30 kursi dengan 3 OAP; itu orang Papua minoritas di DPRD,” kata Frans.
Oleh karena itu, Frans menilai Pasal 6a dalam perubahan kedua UU Otsus Papua tersebut akan menjadi solusi pada permasalahan keterwakilan OAP di jajaran pemerintah daerah.
Perubahan ini, menurut Frans, dapat mempermudah OAP untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. “Dan selain untuk mengalirkan aspirasi, kalau ada satu orang Papua yang duduk di kursi DPR itu, dia akan menjadi harapan dan tumpuan satu kampung,” katanya.
Frans menekankan terjadinya peningkatan signifikan pada sektor sosial dan ekonomi di suatu daerah apabila daerah tersebut diwakilkan oleh OAP. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh perasaan yang diemban oleh seorang perwakilan ketika menjadi tulang punggung daerah ketika dipercaya oleh masyarakatnya.
“Beberapa kali sudah kami usulkan juga di dalam forum (mengenai peningkatan perwakilan OAP), sehingga syukurlah bisa terakomodir dalam revisi ini,” katanya.
Selain mengapresiasi perubahan ketentuan keterwakilan OAP dalam pemerintahan daerah, Frans Pekey juga meyakini bahwa seluruh revisi pasal dalam perubahan kedua UU Otsus Papua akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Papua.
“Sekarang tinggal masyarakat Papua siap atau tidak untuk menyambut itu dan melaksanakannya bersama-sama dengan pemerintah daerah,” kata Frans menambahkan.
“Ini akan mendorong dan mengakomodir kepentingan orang Papua,” kata Frans ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Perubahan kedua UU No. 21 Tahun 2001 memuat nomenklatur baru pengganti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Perubahan ini diatur dalam Pasal 6a ayat (1)-ayat (7).
Adapun poin yang diapresiasi oleh Frans adalah Pasal 6a ayat (2) yang membahas mengenai komposisi dalam DPRK, yang menyatakan orang asli Papua akan mengisi seperempat (1/4) dari jumlah DPRK yang dipilih melalui Pemilu dengan unsur perempuan OAP minimal sebesar 30 persen.
“Masyarakat Papua harus menyiapkan diri dengan baik,” ucap Sekda Kota Jayapura ketika membahas terbukanya kesempatan untuk meningkatkan peran politik OAP setelah perubahan kedua UU No. 21 Tahun 2001.
Frans mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah kebijakan inovatif dari Pemerintah Pusat untuk mengatasi kecilnya angka keterwakilan OAP dalam pemerintahan daerah di beberapa wilayah.
“Contohnya di Kota Jayapura dari 40 kursi OAP hanya 13 orang; Kabupaten Jayapura dari 25 kursi, OAP 7 orang; Kabupaten Keerom dari 23 kursi, OAP 7 orang; Kabupaten Mimika dari 35 kursi, 18 OAP; dan Kabupaten Merauke 30 kursi dengan 3 OAP; itu orang Papua minoritas di DPRD,” kata Frans.
Oleh karena itu, Frans menilai Pasal 6a dalam perubahan kedua UU Otsus Papua tersebut akan menjadi solusi pada permasalahan keterwakilan OAP di jajaran pemerintah daerah.
Perubahan ini, menurut Frans, dapat mempermudah OAP untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. “Dan selain untuk mengalirkan aspirasi, kalau ada satu orang Papua yang duduk di kursi DPR itu, dia akan menjadi harapan dan tumpuan satu kampung,” katanya.
Frans menekankan terjadinya peningkatan signifikan pada sektor sosial dan ekonomi di suatu daerah apabila daerah tersebut diwakilkan oleh OAP. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh perasaan yang diemban oleh seorang perwakilan ketika menjadi tulang punggung daerah ketika dipercaya oleh masyarakatnya.
“Beberapa kali sudah kami usulkan juga di dalam forum (mengenai peningkatan perwakilan OAP), sehingga syukurlah bisa terakomodir dalam revisi ini,” katanya.
Selain mengapresiasi perubahan ketentuan keterwakilan OAP dalam pemerintahan daerah, Frans Pekey juga meyakini bahwa seluruh revisi pasal dalam perubahan kedua UU Otsus Papua akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Papua.
“Sekarang tinggal masyarakat Papua siap atau tidak untuk menyambut itu dan melaksanakannya bersama-sama dengan pemerintah daerah,” kata Frans menambahkan.