Jakarta (ANTARA) - Saat ditanya mengapa memilih Papua Nugini dari pada Indonesia, Maria Magdalena menjawab, "because I have plenty of friends in PNG."

Walaupun berayah seorang warga negara Indonesia dan dia sendiri sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia, bocah perempuan berusia 10 tahun ini bersekolah di sisi lain dari perbatasan RI-PNG. Kini dia sudah kelas empat.

Dia bersekolah di Wutung Primary School yang jaraknya sekitar satu kilometer dari Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia - Papua Nugini di Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.

Wutung adalah sebuah desa di Provinsi Sandaun di PNG barat laut yang berbatasan langsung dengan Indonesia di Distrik Skouw. Sedangkan Skouw sendiri berjarak 40 km dari pusat kota Jayapura.

Provinsi Sandaun ini beribu kota di Vanimo yang dihubungkan langsung ke Jayapura dengan sebuah jalan raya yang di bagian Indonesia-nya mulus indah bertepikan hutan dan sesekali rumah-rumah eksotis.

Maria hanya perlu berjalan kaki untuk mencapai sekolahnya dari tempat tinggalnya yang persis di tepi pagar PLBN Skouw.

Semula tak ada rencana berbicara dengan Maria. ANTARA hanya tertarik kepada satu sudut di sisi kanan pagar pembatas PLBN Skouw dari arah gerbang perbatasan RI-PNG.

Di sudut itu, beberapa barang produk PNG, dipajang. Ada kaus, ada bendera PNG, pun minuman dan makanan ringan yang di antaranya buatan Australia.

"Hanya yang itu yang buatan Indonesia," tunjuk Maria ke arah botol air mineral putih merek lokal Papua.

Sejak kata pertama yang ia ucapkan, bocah ini menarik perhatian. Supel bak pedagang sungguhan. Sorot matanya tajam dipenuhi rasa ingin tahu yang dalam.

"Saya ingin jadi dokter," kata Maria, dengan alasan profesi itu "bagus" yang mungkin maksudnya hebat atau mulia.

"Dokter untuk siapa?", ANTARA balik menanyai dia dari balik pagar yang memang terlarang untuk dilewati.

"Su pasti PNG," jawab Maria, yang sehari-sehari berbicara dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa PNG.

Maria tak punya banyak teman anak Papua karena di sisi Indonesia dari PLBN Skouw memang tiada sekolah yang dekat rumahnya.

Dia baru menemukan sekolah di wilayah PNG, sekitar satu kilometer dari tempat tinggalnya yang tepat di pagar pos lintas batas itu.

Wajar jika Maria hanya tahu PNG. Dunia yang dipijaknya hari ini adalah juga satu-satunya dunia yang dia ketahui.

Pilih Indonesia

Tapi orang dewasa yang sudah mengenal luasnya dunia, pandangannya berbeda dengan Maria.

"Saya pilih Indonesia, jauh lebih baik, di sini segalanya ada," kata Bobby Travia, tetangga keluarga Maria yang seperti ayah Maria adalah juga lelaki ber-KTP Indonesia, namun beristrikan warga PNG.

Saat didekati ANTARA Kamis pagi 14 Oktober itu, Maria sedang tak bersama ayahnya. Hanya ada Roberta, sang ibu yang tuna rungu, bersama dua adiknya, Vero dan Ali, yang masih berusia enam dan delapan tahun.

"Bapa sedang di Jayapura untuk PON," kata Maria, menjelaskan ayahnya yang ternyata relawan PON Papua.

Seperti keluarga Maria, banyak warga Papua beristrikan atau bersuamikan warga PNG. Bahkan lebih banyak lagi, memiliki saudara yang terpencar antara Papua dan PNG.

Sudah hampir dua tahun perbatasan RI-PNG ditutup karena pandemi, tapi karena ikatan keluarga dan hubungan sosial-ekonomi termasuk tanah atau kebun yang diusahakan di antara kedua wilayah, warga PNG dan Indonesia di perbatasan ini memiliki kartu khusus lintas batas yang berfungsi semacam paspor agar bisa melintas kedua wilayah.

Kuning untuk warga PNG yang hendak masuk Indonesia, dan merah untuk warga Papua yang hendak masuk PNG.

Ada yang datang masuk Indonesia sewaktu-waktu, tapi ada juga yang datang setiap hari.

"Sebelum pandemi, biasanya setiap hari seribu sampai dua ribu orang melintas masuk pintu perbatasan ini," kata John Pow, seorang penjaga PLBN Skouw.

Namun warga PNG yang memiliki kartu khusus tetap bisa masuk wilayah Indonesia, karena memiliki tanah yang mereka usahakan dan sudah mereka miliki jauh sebelum kedua negara berdiri. Selain karena demi berbelanja kebutuhan sehari-hari di Pasar Skouw yang adalah bagian dari PLBN Terpadu Skouw yang diresmikan Presiden Jokowi pada 2017.

"Harganya lebih murah," kata Diane Noe, dalam bahasa Inggris, karena seperti umumnya warga PNG yang datang ke pasar ini, tak bisa berbahasa Indonesia. "Setiap hari saya ke pasar ini," sambung Diane sambil menenteng dua kantong belanjaan.

Seorang wanita lain di sampingnya yang juga tetangga Diane di Wutung pun begitu. "Saya juga setiap hari ke sini. Dan setiap tahun mudik ke Papua untuk merayakan Natal bersama keluarga," kata perempuan yang kemudian mengenalkan diri dengan Marry James dan mengaku memiliki saudara dan keluarga di Papua.

Pasar Skouw setiap hari didatangi warga PNG, yang meluber saat hari libur Sabtu dan Minggu.

Menempati lahan seluas 3.600 meter persegi, pasar ini menjadi tempat untuk 304 kios yang meniagakan apa saja, dari sembako sampai barang elektronik.


Amal jariyah

Faktor harga dan kelengkapan barang adalah pertimbangan warga PNG mendatanginya. Dengan nilai tukar PNG yang lebih tinggi, segala produk Indonesia menjadi terlihat lebih murah bagi mereka.

"Mereka tak pernah menawar," kata Warasih, perempuan berusia 60-an tahun yang sudah 30 tahun berdagang di pasar ini.

"Kebanyakan membeli sembako dan pakaian," sambung Tahir Buton, yang seperti Warasih berasal dari Buton di Sulawesi Tenggara yang banyak ditemui di sudut mana pun Papua, termasuk Jayapura yang sudah menjadi kota melting pot atau bercampur baurnya etnis-etnis berbeda dari seluruh Indonesia.

Tak semua orang PNG datang ke pasar ini untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Laisiat Waiwai yang berusia 32 tahun, contohnya.

"Saya aslinya dari (pulau) New Britain, istri saya yang orang Wutung," kata Laisiat. New Britain adalah satu dari tiga pulau besar di PNG yang berjarak sekitar 1.200-an km dari perbatasan RI-PNG.

"Saya beli pakaian, onderdil motor, barang elektronik dan sejenisnya untuk dijual kembali di PNG," kata Laisiat lagi.

Pasar Skouw ini hanya sepelemparan batu dari pos pemeriksaan perbatasan di mana belasan prajurit Batalyon Infanteri 131/ Braja Sakti Kodam I Bukit Barisan kebagian berjaga periode ini.

Di seberang pintu pemeriksaan, ada dua helipad yang dikitari kebun seluas setengah hektar di mana dua orang sibuk memetik cabai rawit.

“Tadinya tidak ada yang percaya tanah ini bisa ditanami,” kata salah satu dari kedua orang itu yang ternyata tentara. Namanya Tomi, tepatnya Pratu Tomi Irawan.

“Ph (derajat asam-basa) tanah di sini netral, jadi bisa ditanami,” sambung rekannya, Pratu Alung Rangga, sambil anteng memetik cabai rawit yang dimasukkan ke sebuah ember.

Sudah sekitar sembilan bulan Tomi dan Alung bertugas di sini. Dua pemuda berumur 25 dan 26 tahun ini tak hanya terampil mengokang senjata dan selalu siaga bertempur.

Mereka juga jago bertani, malah sering menjadi tempat bertanya masyarakat mengenai bagaimana bercocok tanam yang baik.

“Ayah saya petani," kata Tomi yang mengaku dari keluarga transmigran di Lampung Tengah.

Berbagai macam sayuran dan buah-buahan mereka tanam di sini. Mereka menjadi mendapatkan tambahan, tapi lebih sering lagi mereka bagikan hasil tani ini kepada siapa pun masyarakat yang menginginkannya.

Tentu saja semua ini mereka lakukan saat waktu senggang, bahkan demi membunuh kangen kepada keluarga atau anak istri seperti dipendam Alung yang tak bisa menunggui istrinya nun jauh di Sumatera sana saat melahirkan anak pertama mereka yang kini sudah berusia dua bulan.

Selain menganggap bagian dari tugas ketentaraan dan bakti kepada negara, paling tidak menurut Pratu Tomi, bertanam sayuran dan buah-buahan ini juga "untuk amal jariyah" dan warisan positif tatkala mereka tuntas bertugas di PLBN Skouw.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024