Manokwari (ANTARA) - Senator Papua Barat Filep Wamafma berharap komitmen Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terkait penyidikan umum terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa kini bukan sekadar retorika.
“Tentu kita mengapresiasi kebijakan Jaksa Agung ini. Secara hukum, hal ini sangat dinantikan berbagai pihak sejak dulu. Mudah-mudah bukan pernyataan politis dan sekadar retorika kosong,” ujar Filep Wamafma, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua Barat dalam siaran persnya, Senin malam.
Wamafma berujar bahwa alasan disebutkan retorika berkaitan dengan komitmen penuntasan pelanggaran HAM yang dengan mudah diucap, namun sulit diselesaikan.
"Pernyataan ini kan semacam janji yang berulang-ulang karena di level eksekutif, sementara penyelesaian pelanggaran HAM masuk dalam Nawacita Presiden Jokowi," ujarnya pula.
Pada tahun 2018, kata Wamafma, sudah dibentuk Tim Gabungan Terpadu Untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, di bawah wewenang Menko Polhukam.
"Bahkan, Tim Khusus HAM juga sudah dibentuk Jaksa Agung. Tapi progresnya bagaimana,” kata senator asal Papua Barat itu bertanya pula.
Wamafma menilai bahwa rencana penuntasan kasus pelanggaran HAM berat seringkali terjadi saling pingpong antara Komnas HAM dan Jaksa Agung.
“Menurut Komnas HAM sudah cukup bukti, tapi menurut kejaksaan tidak cukup bukti, tidak ada saksi kunci, jadi tetap berjalan di tempat. Bagaimana pelaksanaan UU Pengadilan HAM jika semua tetap begitu. Harusnya kejaksaan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM,” kata Wamafma lagi.
Ia menyebutkan bahwa sudah 13 kasus yang diserahkan Komnas HAM kepada kejaksaan, namun satu pun belum dituntaskan.
"Bagaimana kelanjutannya. Khusus Papua misalnya, Wasior 2001, Wamena tahun 2003, Paniai 2014. Kita tunggu kasus mana yang akan dituntaskan terlebih dahulu," kata Filep Wamafma pula.