Jakarta (ANTARA) - Peneliti Bidang Perkembangan Politik Lokal LIPI Prof Hermawan Sulistyo menyarankan program Binmas Noken, Papua, yang dilaksanakan oleh Polri harus membumi.
"Ada perbedaan jarak waktu dan jarak peradaban yang harus dipahami pihak-pihak terkait di Papua," kata Prof Hermawan dalam webinar pelaksanaan Binmas Noken 2021, melalui zoom, Jumat.
Ia mengatakan, anggota Binmas yang terlibat dalam Satuan Tugas (Satgas) Binmas Noken di Papua, harus memahami adanya perbedaan jarak waktu dan jarak peradaban di Bumi Cendrawasih tersebut.
Prof Hermawan mencontohkan, orang Papua bergantung hidup pada hasil alam yang diciptakan Tuhan, ketika mengambil buah Matoa yang kini banyak disukai orang-orang di luar Papua, jika tidak bisa dipanjat, maka ditebang pohonnya.
Bagi masyarakat di luar Papua menilai cara orang Papua terbelakang, sementara cara pandang orang Papua hal itu tidak jadi soal karena masih ada pohon Matoa lainnya. Tetapi orang Papua tidak memikirkan jika yang mengkonsumsi buah Matoa tersebut semakin banyak jumlahnya.
Prof Hermawan mengkritisi beberapa program Binmas Noken yang tidak berjalan optimal di sejumlah kabupaten di Papua. Seperti program pertanian di Timika yang gagal karena salah memilih jenis tanaman.
Menurut dia, perlu peran akademisi untuk membantu mengkaji jenis tanaman pertanian apa yang cocok di Papua. Hasil penelitian ini dapat dieksekusi oleh anggota Binmas Noken di lapangan.
Prof Hermawan juga memberi catatan, agar petugas Polri yang ditugaskan di Papua harus mengubah sikap dasarnya, serta memiliki kemampuan teknikal.
Selain itu juga, kata dia, anggota Polri hendaknya menggunakan pendekatan "Soft Approach" dalam menjalankan operasi Binmas Noken.
Binmas Noken Polri merupakan Satgas Khusus di bawah Operasi Khusus Nemangkawi yang dibentuk Februari 2018.
Konsep Binmas Noken adalah perpaduan kata dari konsep Binmas sebagai satuan pada fungsi operasional kepolisian dan konsep Noken. Noken, tas tradisional yang bagi orang Papua adalah simbol martabat dan perabadan serta kehidupan.
Narasumber lainnya, Prof Regina T.C Tandelilin dari Universitas Gadja Mada (UGM) mengusulkan agar pembinaan Binmas Noken tidak hanya dalam bentuk pendidikan tapi juga menyertakan kesehatan.
"Karena tidak mungkin pendidikan didapat apabila kesehatannya tidak baik," kata Prof Regina.
Sementara itu Dr Andriana Elisabeth menyarankan perlu adanya program-program pengakuan, pemberdayaan, atau merancang pembangunan yang spesifik terhadap Papua.
Menurut dia, ada dua hal penting yang bisa jadi pedoman untuk meningkatkan efektivitas Binmas Noken di Papua, yakni pendekatan sensitifitas konflik, dan korelasi pendekatan perdamaian serta pembangunan untuk mengatasi "trust gap".
"Binmas Noken bisa mendukung keterlibatan OAP secara khusus, masyarakat Papua di daerah menjadi pelaku-pelaku yang bisa melakukan kerja, bisa bekerja maksimal dan menggali potensinya," kata Andriana.
Turut hadir dalam webinar ini, Brigjen Pol Ramdani Hidayat dari Satgas Binmas Noken, Prof Chryshnanda Dwiklaksana, serta para kapolsek yang merupakan Satgas Binmas Noken di Papua.
"Ada perbedaan jarak waktu dan jarak peradaban yang harus dipahami pihak-pihak terkait di Papua," kata Prof Hermawan dalam webinar pelaksanaan Binmas Noken 2021, melalui zoom, Jumat.
Ia mengatakan, anggota Binmas yang terlibat dalam Satuan Tugas (Satgas) Binmas Noken di Papua, harus memahami adanya perbedaan jarak waktu dan jarak peradaban di Bumi Cendrawasih tersebut.
Prof Hermawan mencontohkan, orang Papua bergantung hidup pada hasil alam yang diciptakan Tuhan, ketika mengambil buah Matoa yang kini banyak disukai orang-orang di luar Papua, jika tidak bisa dipanjat, maka ditebang pohonnya.
Bagi masyarakat di luar Papua menilai cara orang Papua terbelakang, sementara cara pandang orang Papua hal itu tidak jadi soal karena masih ada pohon Matoa lainnya. Tetapi orang Papua tidak memikirkan jika yang mengkonsumsi buah Matoa tersebut semakin banyak jumlahnya.
Prof Hermawan mengkritisi beberapa program Binmas Noken yang tidak berjalan optimal di sejumlah kabupaten di Papua. Seperti program pertanian di Timika yang gagal karena salah memilih jenis tanaman.
Menurut dia, perlu peran akademisi untuk membantu mengkaji jenis tanaman pertanian apa yang cocok di Papua. Hasil penelitian ini dapat dieksekusi oleh anggota Binmas Noken di lapangan.
Prof Hermawan juga memberi catatan, agar petugas Polri yang ditugaskan di Papua harus mengubah sikap dasarnya, serta memiliki kemampuan teknikal.
Selain itu juga, kata dia, anggota Polri hendaknya menggunakan pendekatan "Soft Approach" dalam menjalankan operasi Binmas Noken.
Binmas Noken Polri merupakan Satgas Khusus di bawah Operasi Khusus Nemangkawi yang dibentuk Februari 2018.
Konsep Binmas Noken adalah perpaduan kata dari konsep Binmas sebagai satuan pada fungsi operasional kepolisian dan konsep Noken. Noken, tas tradisional yang bagi orang Papua adalah simbol martabat dan perabadan serta kehidupan.
Narasumber lainnya, Prof Regina T.C Tandelilin dari Universitas Gadja Mada (UGM) mengusulkan agar pembinaan Binmas Noken tidak hanya dalam bentuk pendidikan tapi juga menyertakan kesehatan.
"Karena tidak mungkin pendidikan didapat apabila kesehatannya tidak baik," kata Prof Regina.
Sementara itu Dr Andriana Elisabeth menyarankan perlu adanya program-program pengakuan, pemberdayaan, atau merancang pembangunan yang spesifik terhadap Papua.
Menurut dia, ada dua hal penting yang bisa jadi pedoman untuk meningkatkan efektivitas Binmas Noken di Papua, yakni pendekatan sensitifitas konflik, dan korelasi pendekatan perdamaian serta pembangunan untuk mengatasi "trust gap".
"Binmas Noken bisa mendukung keterlibatan OAP secara khusus, masyarakat Papua di daerah menjadi pelaku-pelaku yang bisa melakukan kerja, bisa bekerja maksimal dan menggali potensinya," kata Andriana.
Turut hadir dalam webinar ini, Brigjen Pol Ramdani Hidayat dari Satgas Binmas Noken, Prof Chryshnanda Dwiklaksana, serta para kapolsek yang merupakan Satgas Binmas Noken di Papua.