Jakarta (ANTARA) - "Kalau sudah ada internet, kami pasti makin senang tinggal di sini," kata Yulianus Yesnat dengan wajah berbinar.
Yulianus merupakan kepala sekolah di Desa Bias, Distrik Murkim, Pegunungan Bintang, Papua. Pria 30an tahun itu tak sabar menanti rampungnya pembangunan Base Tranceiver Station (BTS) 4G di desa yang ia tinggali.
Apabila infrastruktur itu telah mengudara, tempat tinggalnya yang berada di daerah pegunungan akan terbebas dari "isolasi" jaringan internet.
Hari-hari Yulianus dihabiskan sebagai tenaga pendidik di Sekolah Dasar Negeri Bias. Terdapat 31 anak yang menjadi murid di sekolah tersebut.
Yulianus mengatakan ketiadaan akses internet di Desa Bias menyulitkan pekerjaannya. Di era yang serba digital saat ini, keberadaan internet dinilai mutlak tersedia.
Untuk mendapatkan sinyal internet 4G yang memadai, Yulianus harus jauh "turun gunung" ke Jayapura. Namun, bukan perkara mudah untuk bisa pergi ke ibu kota Provinsi Papua itu.
Akses transportasi dari Pegunungan Bintang ke Jayapura hanya bisa ditempuh melalui jalur udara dengan lama perjalanan mencapai 45 menit. Biaya yang dikeluarkan pun tak sedikit, bisa memakan jutaan rupiah.
Maka dari itu, kehadiran akses internet menjadi hal paling ditunggu bagi Yulianus dan masyarakat Papua lainnya yang tinggal di distrik-distrik terisolir.
Namun, persoalan tak hanya itu. Sama halnya dengan internet, jaringan seluler juga tidak bisa diakses dengan baik di sana.
Yulianus maupun warga Desa Bias lainnya harus berjalan kaki sekitar 30 menit menyeberangi sungai dan menaiki bukit yang lebih tinggi untuk mencari sinyal seluler 2G.
Padahal, sinyal seluler sangat dibutuhkan warga untuk menghubungi keluarga di luar desa. Banyak putra putri warga Desa Bias yang merantau hingga keluar Papua untuk melanjutkan pendidikan.
Dibutuhkan sinyal telekomunikasi yang memadai agar warga di sana bisa rutin berkomunikasi dengan anak-anak mereka.
Upaya BAKTI
Untungnya, segala kesulitan tersebut akan segera teratasi. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedang dan akan membangun BTS 4G di 7.904 desa/kelurahan 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan).
Dari 7.904 lokasi pembangunan BTS 4G, sebanyak 5.204 lokasi atau 65 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat.
Untuk Pegunungan Bintang sendiri, sebanyak 196 BTS 4G direncanakan akan dibangun pada 2022. Adapun total usulan pembangunan menara telekomunikasi di kabupaten itu sebanyak 261 titik.
Dari rencana pembangunan BTS 4G di 196 titik tersebut, 44 titik di antaranya tengah dalam pengerjaan, sementara 10 lainnya sudah mengudara. Untuk pembangunan BTS 4G di wilayah Pegunungan Bintang, BAKTI Kominfo bermitra dengan konsorsium PT IBS dan ZTE.
Menara BTS 4G yang berada di Distrik Bime, Pegunungan Bintang, Papua, Jumat (22/4/2022) (ANTARA/Fathur Rochman)
BAKTI Kominfo berkomitmen untuk terus berupaya mempercepat pembangunan BTS 4G di wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) Pegunungan Bintang.
"Bagaimana kesenjangan, khususnya konektivitas digital ini bisa tuntas di seluruh Indonesia, tidak terkecuali saudara-saudara kita yang ada di Pegunungan Bintang juga perlu mendapatkan sinyal seperti kita yang sudah lebih dulu mendapatkannya di Pulau Jawa," kata Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Latif.
Medan sulit
Dikutip laman Papua.go.id, Pegunungan Bintang merupakan kabupaten di Provinsi Papua yang disahkan pada 12 April 2003, dengan Oksibil sebagai ibukota kabupaten.
Sebelah utara Pegunungan Bintang berbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Jayapura. Sementara di selatan berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo. Sedangkan di timur berbatasan dengan Papua Nugini.
Kabupaten dengan 34 distrik tersebut memiliki kondisi geografis yang khas, di mana sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan. Penduduk di sana bermukim di lereng gunung terjal dan lembah-lembah kecil, terpencar, serta terisolir.
Dataran rendah hanya terdapat di bagian utara dan selatan dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang sangat rendah, sehingga sulit dijangkau bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di tanah Papua.
Hingga saat ini, sebagian besar pelayanan di wilayah kabupaten dengan luas 1.568.300 Ha dan berpenduduk 71.710 jiwa (data 2015) itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan transportasi udara.
Kondisi geografis di Pegunungan Bintang yang sedemikian "ekstrem" menghadirkan tantangan tersendiri dalam membangun menara BTS 4G di wilayah itu.
Head of Supply Chain Management PT IBS Meita Dwivernia mengakui bahwa proses pendistribusian material untuk membangun menara BTS 4G di wilayah Pegunungan Bintang sangat tidak mudah.
Untuk membangun satu menara BTS 4G saja, pihaknya harus mengangkut sekitar 90 jenis komponen dengan bobot 10 ton menggunakan transportasi udara.
PT IBS harus mengelompokkan 90 komponen yang terbagi atas tower, power, VSAT, dan BTS itu berdasarkan ukuran.
Material dengan dimensi panjang maksimal 3,5 meter diangkut menggunakan pesawat jenis caravan. Sedangkan material yang lebih pendek, dapat dimuat menggunakan pesawat jenis pilatus.
Adapun material dengan dimensi lebar seperti pagar atau antena, harus dibawa menggunakan helikopter secara eksternal memakai sling.
Proses pengangkutan material ke dalam pesawat maupun helikopter pun tak kalah rumitnya. Tiap-tiap material harus ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui total bobot keseluruhan guna mencegah terjadinya kelebihan muatan.
Para pekerja juga harus terampil dalam menata letak material yang dimuat baik di dalam kabin maupun di atas jaring agar tetap aman selama penerbangan.
Proses pengangkutan material tersebut dilakukan di Bandar Udara Senggeh, Kabupaten Keerom.
Sebelumnya, material itu dikirim ke Senggeh melalui jalur darat menggunakan truk dari gudang penyimpanan di Jayapura. Perjalanan darat itu memakan waktu sekitar enam jam.
Dalam proses pengiriman material via udara, pilot pesawat atau helikopter pun dituntut untuk fokus dan berhati-hati lantaran medan yang dilalui berada di antara bukit dan tebing pegunungan.
Mereka juga harus jeli dalam membaca kondisi cuaca. Apabila cuaca diperkirakan akan memburuk, maka proses pendistribusian material harus ditunda untuk sementara waktu.
"Kendalanya di cuaca. Kalau cuaca buruk, pengiriman tidak bisa dilakukan," kata Meita.
Selain cuaca, tantangan lain yang harus diwaspadai adalah isu keamanan. Pegunungan Bintang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah rawan gangguan keamanan.
Government Public Relation and Transportation PT IBS Benyamin Sembiring mengungkapkan bahwa kondisi keamanan yang belum kondusif turut mempengaruhi proses distribusi material dan pembangunan menara BTS 4G di wilayah 3T Papua, termasuk Pegunungan Bintang.
Pihaknya harus pintar-pintar membaca situasi di lapangan. Koordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait juga terus dilakukan untuk memastikan keamanan para pekerja selama proses pengiriman material dan pengerjaan pembangunan.
"Pada saat tertentu kita harus tarik ulur dulu, cooling down karena prosesnya dinamis, keamanannya cukup dinamis. Kami memahami apa yang harus didukung dengan segala tantangannya di Papua," ujar Benyamin.
Pengiriman material dari Senggih ke Pegunungan Bintang memakan waktu sekitar 20-45 menit tergantung lokasi yang dituju.
Setibanya di lokasi, material tersebut langsung ditempatkan di sekitar area pembangunan. Lokasi pembangunan diharuskan berada di dekat pemukiman agar pancaran sinyal telekomunikasi dapat diterima warga secara maksimal.
Menara BTS 4G dibangun di atas lahan seluas 20x20 meter. Lahan tersebut umumnya berasal dari hibah masyarakat, lalu dimanfaatkan dengan sistem pinjam pakai lahan.
Meita mengatakan apabila material telah tiba di lokasi, maka pembangunan menara BTS 4G sudah semakin mudah. Proses pembangunan dari mulai mendirikan tower, instalasi, hingga "on" atau mengudara membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga minggu.
Meski menghadapi berbagai tantangan, PT IBS berkomitmen untuk menggenjot proses pengerjaan pembangunan menara BTS 4G di Pegunungan Bintang agar target yang sudah dicanangkan bisa diselesaikan.
"Kita mempercepat, kita menambah kapasitas. Jadi kita menambah semua kapasitas untuk layanan logistik dengan semua kapasitas yang ada kita maksimalkan," kata Meita.
Berdayakan masyarakat
Namun, proyek BTS 4G di Pegunungan Bintang tidak berhenti di pembangunannya saja. Setelah berdiri dan beroperasi, BTS 4G membutuhkan perawatan agar jaringan komunikasi di daerah pedalaman Papua tersebut tetap terjaga kualitasnya.
Pada tahap ini, BAKTI Kominfo melibatkan masyarakat setempat untuk turut berperan dalam merawat BTS 4G yang telah dibangun.
Anang mengatakan pihaknya terus memberikan literasi kepada masyarakat setempat mengenai perawatan dan pemeliharaan infrastruktur menara BTS 4G.
Tak hanya itu, penduduk setempat juga diberdayakan sebagai penjaga menara BTS 4G (site keeper). Penjaga tersebut diberi pelatihan khusus tentang tata cara merawat menara BTS 4G.
Keberadaan penjaga menara BTS 4G ini penting untuk memelihara infrastruktur sekaligus mencegah terjadinya aksi-aksi sabotase yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
"Pendekatan ini cukup efektif dalam pelaksanaan infrastruktur ini ke depan selain pendekatan kami, kerja sama kami, koordinasi kami dengan aparat keamanan untuk menjaga infrastruktur tersebut," kata Anang.
Terpisah, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pegunungan Bintang Alferus Sanuari mengatakan bahwa dengan memberdayakan masyarakat setempat, potensi terjadinya kendala dalam pengoperasian menara BTS 4G bisa diminimalisir.
"Jadi kita berdayakan mereka supaya mereka merasa memiliki terhadap bangunan itu, dan mereka bisa menjaga supaya bangunan itu bisa digunakan dalam waktu yang lama," kata dia.
Literasi digital
Saat ini, sudah ada 10 menara BTS 4G yang mengudara di kabupaten dengan semboyan Terib Tibo Semo Nirya (Mari Bangkit Membangun Bersama) itu.
Salah satunya berada di distrik Bime. Masyarakat di sana, khususnya para generasi muda, sudah bisa memanfaatkan keberadaan internet, mulai dari untuk berkomunikasi hingga hiburan.
"Jadi sekarang anak-anak muda yang pintar-pintar itu mereka sudah bisa telepon pakai WhatsApp," kata Sekretaris Distrik Bime, Nerius Wisal.
Namun sayangnya, manfaat internet tersebut masih belum bisa dirasakan oleh kalangan tua. Mereka masih belum mengetahui cara memanfaatkan teknologi tersebut untuk kehidupan sehari-hari, termasuk memberikan nilai ekonomi.
Untuk itu, diperlukan edukasi secara menyeluruh kepada warga tentang pemanfaatan akses internet agar fasilitas menara telekomunikasi yang telah dibangun pemerintah bisa diberdayagunakan secara maksimal oleh masyarakat.
Hal tersebut turut menjadi perhatian BAKTI Kominfo. Anang mengatakan setelah BTS 4G yang dibangun mengudara, pihaknya langsung menerjunkan tim untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang pemanfaatan akses internet.
Sosialisasi itu bekerja sama dengan lintas kementerian, perguruan tinggi, serta gerakan-gerakan nasional yang memiliki visi untuk memberikan literasi digital ke masyarakat.
"Ini pekerjaan kami selanjutnya bagaimana masyarakat bisa nanti pada akhirnya menggunakan fasilitas layanan internet ini secara positif," kata dia.
Kementerian Kominfo sendiri telah memiliki program untuk mengembangkan talenta digital bernama Gerakan Nasional Literasi Digital.
Pada 2021, Kominfo telah melakukan literasi digital kepada sekitar 12,5 juta rakyat Indonesia di seluruh pelosok Tanah Air dengan empat kurikulum dasar yaitu digital skills (kecakapan digital), digital ethics (etika berdigital), digital safety (keamanan berdigital), dan digital culture (budaya berdigital).
Ditargetkan pada akhir tahun 2024, sebanyak 50 juta penduduk Indonesia sudah mendapatkan pelatihan digital tingkat dasar.
Pada akhirnya, membawa wilayah pedalaman di Indonesia menjadi wilayah yang terkoneksi bukan sekadar dengan membangun infrastruktur. Butuh pembangunan menyeluruh, termasuk membangun penduduknya.
BAKTI Kominfo sebagai perpanjangan tangan Pemerintah telah berupaya mengerjakan semua pembangunan tersebut. Dengan harapan, pembangunan BTS 4G di Pegunungan Bintang bukan hanya soal memperkenalkan teknologi kepada warga di sana, melainkan juga melepaskan predikat daerah tertinggal pada Pegunungan Bintang.
Yulianus merupakan kepala sekolah di Desa Bias, Distrik Murkim, Pegunungan Bintang, Papua. Pria 30an tahun itu tak sabar menanti rampungnya pembangunan Base Tranceiver Station (BTS) 4G di desa yang ia tinggali.
Apabila infrastruktur itu telah mengudara, tempat tinggalnya yang berada di daerah pegunungan akan terbebas dari "isolasi" jaringan internet.
Hari-hari Yulianus dihabiskan sebagai tenaga pendidik di Sekolah Dasar Negeri Bias. Terdapat 31 anak yang menjadi murid di sekolah tersebut.
Yulianus mengatakan ketiadaan akses internet di Desa Bias menyulitkan pekerjaannya. Di era yang serba digital saat ini, keberadaan internet dinilai mutlak tersedia.
Untuk mendapatkan sinyal internet 4G yang memadai, Yulianus harus jauh "turun gunung" ke Jayapura. Namun, bukan perkara mudah untuk bisa pergi ke ibu kota Provinsi Papua itu.
Akses transportasi dari Pegunungan Bintang ke Jayapura hanya bisa ditempuh melalui jalur udara dengan lama perjalanan mencapai 45 menit. Biaya yang dikeluarkan pun tak sedikit, bisa memakan jutaan rupiah.
Maka dari itu, kehadiran akses internet menjadi hal paling ditunggu bagi Yulianus dan masyarakat Papua lainnya yang tinggal di distrik-distrik terisolir.
Namun, persoalan tak hanya itu. Sama halnya dengan internet, jaringan seluler juga tidak bisa diakses dengan baik di sana.
Yulianus maupun warga Desa Bias lainnya harus berjalan kaki sekitar 30 menit menyeberangi sungai dan menaiki bukit yang lebih tinggi untuk mencari sinyal seluler 2G.
Padahal, sinyal seluler sangat dibutuhkan warga untuk menghubungi keluarga di luar desa. Banyak putra putri warga Desa Bias yang merantau hingga keluar Papua untuk melanjutkan pendidikan.
Dibutuhkan sinyal telekomunikasi yang memadai agar warga di sana bisa rutin berkomunikasi dengan anak-anak mereka.
Upaya BAKTI
Untungnya, segala kesulitan tersebut akan segera teratasi. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedang dan akan membangun BTS 4G di 7.904 desa/kelurahan 3T (terluar, tertinggal, dan terdepan).
Dari 7.904 lokasi pembangunan BTS 4G, sebanyak 5.204 lokasi atau 65 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat.
Untuk Pegunungan Bintang sendiri, sebanyak 196 BTS 4G direncanakan akan dibangun pada 2022. Adapun total usulan pembangunan menara telekomunikasi di kabupaten itu sebanyak 261 titik.
Dari rencana pembangunan BTS 4G di 196 titik tersebut, 44 titik di antaranya tengah dalam pengerjaan, sementara 10 lainnya sudah mengudara. Untuk pembangunan BTS 4G di wilayah Pegunungan Bintang, BAKTI Kominfo bermitra dengan konsorsium PT IBS dan ZTE.
BAKTI Kominfo berkomitmen untuk terus berupaya mempercepat pembangunan BTS 4G di wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) Pegunungan Bintang.
"Bagaimana kesenjangan, khususnya konektivitas digital ini bisa tuntas di seluruh Indonesia, tidak terkecuali saudara-saudara kita yang ada di Pegunungan Bintang juga perlu mendapatkan sinyal seperti kita yang sudah lebih dulu mendapatkannya di Pulau Jawa," kata Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Latif.
Medan sulit
Dikutip laman Papua.go.id, Pegunungan Bintang merupakan kabupaten di Provinsi Papua yang disahkan pada 12 April 2003, dengan Oksibil sebagai ibukota kabupaten.
Sebelah utara Pegunungan Bintang berbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Jayapura. Sementara di selatan berbatasan dengan Kabupaten Boven Digoel. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo. Sedangkan di timur berbatasan dengan Papua Nugini.
Kabupaten dengan 34 distrik tersebut memiliki kondisi geografis yang khas, di mana sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan. Penduduk di sana bermukim di lereng gunung terjal dan lembah-lembah kecil, terpencar, serta terisolir.
Dataran rendah hanya terdapat di bagian utara dan selatan dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang sangat rendah, sehingga sulit dijangkau bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di tanah Papua.
Hingga saat ini, sebagian besar pelayanan di wilayah kabupaten dengan luas 1.568.300 Ha dan berpenduduk 71.710 jiwa (data 2015) itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan transportasi udara.
Kondisi geografis di Pegunungan Bintang yang sedemikian "ekstrem" menghadirkan tantangan tersendiri dalam membangun menara BTS 4G di wilayah itu.
Head of Supply Chain Management PT IBS Meita Dwivernia mengakui bahwa proses pendistribusian material untuk membangun menara BTS 4G di wilayah Pegunungan Bintang sangat tidak mudah.
Untuk membangun satu menara BTS 4G saja, pihaknya harus mengangkut sekitar 90 jenis komponen dengan bobot 10 ton menggunakan transportasi udara.
PT IBS harus mengelompokkan 90 komponen yang terbagi atas tower, power, VSAT, dan BTS itu berdasarkan ukuran.
Material dengan dimensi panjang maksimal 3,5 meter diangkut menggunakan pesawat jenis caravan. Sedangkan material yang lebih pendek, dapat dimuat menggunakan pesawat jenis pilatus.
Adapun material dengan dimensi lebar seperti pagar atau antena, harus dibawa menggunakan helikopter secara eksternal memakai sling.
Proses pengangkutan material ke dalam pesawat maupun helikopter pun tak kalah rumitnya. Tiap-tiap material harus ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui total bobot keseluruhan guna mencegah terjadinya kelebihan muatan.
Para pekerja juga harus terampil dalam menata letak material yang dimuat baik di dalam kabin maupun di atas jaring agar tetap aman selama penerbangan.
Proses pengangkutan material tersebut dilakukan di Bandar Udara Senggeh, Kabupaten Keerom.
Sebelumnya, material itu dikirim ke Senggeh melalui jalur darat menggunakan truk dari gudang penyimpanan di Jayapura. Perjalanan darat itu memakan waktu sekitar enam jam.
Dalam proses pengiriman material via udara, pilot pesawat atau helikopter pun dituntut untuk fokus dan berhati-hati lantaran medan yang dilalui berada di antara bukit dan tebing pegunungan.
Mereka juga harus jeli dalam membaca kondisi cuaca. Apabila cuaca diperkirakan akan memburuk, maka proses pendistribusian material harus ditunda untuk sementara waktu.
"Kendalanya di cuaca. Kalau cuaca buruk, pengiriman tidak bisa dilakukan," kata Meita.
Selain cuaca, tantangan lain yang harus diwaspadai adalah isu keamanan. Pegunungan Bintang merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah rawan gangguan keamanan.
Government Public Relation and Transportation PT IBS Benyamin Sembiring mengungkapkan bahwa kondisi keamanan yang belum kondusif turut mempengaruhi proses distribusi material dan pembangunan menara BTS 4G di wilayah 3T Papua, termasuk Pegunungan Bintang.
Pihaknya harus pintar-pintar membaca situasi di lapangan. Koordinasi dengan pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait juga terus dilakukan untuk memastikan keamanan para pekerja selama proses pengiriman material dan pengerjaan pembangunan.
"Pada saat tertentu kita harus tarik ulur dulu, cooling down karena prosesnya dinamis, keamanannya cukup dinamis. Kami memahami apa yang harus didukung dengan segala tantangannya di Papua," ujar Benyamin.
Pengiriman material dari Senggih ke Pegunungan Bintang memakan waktu sekitar 20-45 menit tergantung lokasi yang dituju.
Setibanya di lokasi, material tersebut langsung ditempatkan di sekitar area pembangunan. Lokasi pembangunan diharuskan berada di dekat pemukiman agar pancaran sinyal telekomunikasi dapat diterima warga secara maksimal.
Menara BTS 4G dibangun di atas lahan seluas 20x20 meter. Lahan tersebut umumnya berasal dari hibah masyarakat, lalu dimanfaatkan dengan sistem pinjam pakai lahan.
Meita mengatakan apabila material telah tiba di lokasi, maka pembangunan menara BTS 4G sudah semakin mudah. Proses pembangunan dari mulai mendirikan tower, instalasi, hingga "on" atau mengudara membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga minggu.
Meski menghadapi berbagai tantangan, PT IBS berkomitmen untuk menggenjot proses pengerjaan pembangunan menara BTS 4G di Pegunungan Bintang agar target yang sudah dicanangkan bisa diselesaikan.
"Kita mempercepat, kita menambah kapasitas. Jadi kita menambah semua kapasitas untuk layanan logistik dengan semua kapasitas yang ada kita maksimalkan," kata Meita.
Berdayakan masyarakat
Namun, proyek BTS 4G di Pegunungan Bintang tidak berhenti di pembangunannya saja. Setelah berdiri dan beroperasi, BTS 4G membutuhkan perawatan agar jaringan komunikasi di daerah pedalaman Papua tersebut tetap terjaga kualitasnya.
Pada tahap ini, BAKTI Kominfo melibatkan masyarakat setempat untuk turut berperan dalam merawat BTS 4G yang telah dibangun.
Anang mengatakan pihaknya terus memberikan literasi kepada masyarakat setempat mengenai perawatan dan pemeliharaan infrastruktur menara BTS 4G.
Tak hanya itu, penduduk setempat juga diberdayakan sebagai penjaga menara BTS 4G (site keeper). Penjaga tersebut diberi pelatihan khusus tentang tata cara merawat menara BTS 4G.
Keberadaan penjaga menara BTS 4G ini penting untuk memelihara infrastruktur sekaligus mencegah terjadinya aksi-aksi sabotase yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
"Pendekatan ini cukup efektif dalam pelaksanaan infrastruktur ini ke depan selain pendekatan kami, kerja sama kami, koordinasi kami dengan aparat keamanan untuk menjaga infrastruktur tersebut," kata Anang.
Terpisah, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pegunungan Bintang Alferus Sanuari mengatakan bahwa dengan memberdayakan masyarakat setempat, potensi terjadinya kendala dalam pengoperasian menara BTS 4G bisa diminimalisir.
"Jadi kita berdayakan mereka supaya mereka merasa memiliki terhadap bangunan itu, dan mereka bisa menjaga supaya bangunan itu bisa digunakan dalam waktu yang lama," kata dia.
Literasi digital
Saat ini, sudah ada 10 menara BTS 4G yang mengudara di kabupaten dengan semboyan Terib Tibo Semo Nirya (Mari Bangkit Membangun Bersama) itu.
Salah satunya berada di distrik Bime. Masyarakat di sana, khususnya para generasi muda, sudah bisa memanfaatkan keberadaan internet, mulai dari untuk berkomunikasi hingga hiburan.
"Jadi sekarang anak-anak muda yang pintar-pintar itu mereka sudah bisa telepon pakai WhatsApp," kata Sekretaris Distrik Bime, Nerius Wisal.
Namun sayangnya, manfaat internet tersebut masih belum bisa dirasakan oleh kalangan tua. Mereka masih belum mengetahui cara memanfaatkan teknologi tersebut untuk kehidupan sehari-hari, termasuk memberikan nilai ekonomi.
Untuk itu, diperlukan edukasi secara menyeluruh kepada warga tentang pemanfaatan akses internet agar fasilitas menara telekomunikasi yang telah dibangun pemerintah bisa diberdayagunakan secara maksimal oleh masyarakat.
Hal tersebut turut menjadi perhatian BAKTI Kominfo. Anang mengatakan setelah BTS 4G yang dibangun mengudara, pihaknya langsung menerjunkan tim untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang pemanfaatan akses internet.
Sosialisasi itu bekerja sama dengan lintas kementerian, perguruan tinggi, serta gerakan-gerakan nasional yang memiliki visi untuk memberikan literasi digital ke masyarakat.
"Ini pekerjaan kami selanjutnya bagaimana masyarakat bisa nanti pada akhirnya menggunakan fasilitas layanan internet ini secara positif," kata dia.
Kementerian Kominfo sendiri telah memiliki program untuk mengembangkan talenta digital bernama Gerakan Nasional Literasi Digital.
Pada 2021, Kominfo telah melakukan literasi digital kepada sekitar 12,5 juta rakyat Indonesia di seluruh pelosok Tanah Air dengan empat kurikulum dasar yaitu digital skills (kecakapan digital), digital ethics (etika berdigital), digital safety (keamanan berdigital), dan digital culture (budaya berdigital).
Ditargetkan pada akhir tahun 2024, sebanyak 50 juta penduduk Indonesia sudah mendapatkan pelatihan digital tingkat dasar.
Pada akhirnya, membawa wilayah pedalaman di Indonesia menjadi wilayah yang terkoneksi bukan sekadar dengan membangun infrastruktur. Butuh pembangunan menyeluruh, termasuk membangun penduduknya.
BAKTI Kominfo sebagai perpanjangan tangan Pemerintah telah berupaya mengerjakan semua pembangunan tersebut. Dengan harapan, pembangunan BTS 4G di Pegunungan Bintang bukan hanya soal memperkenalkan teknologi kepada warga di sana, melainkan juga melepaskan predikat daerah tertinggal pada Pegunungan Bintang.