Jakarta (ANTARA) - Spesialis bedah urologi lulusan Universitas Indonesia dr. Hery Tiera, Sp.U, dalam konferensi pers, Jumat, mengatakan bahwa biopsi prostat robotik memiliki keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan metode lain saat mendeteksi kanker prostat.
“Keakuratan robotic prostate biopsy memungkinkan dilakukannya biopsi yang lebih terarah, pada lesi atau daerah yang dicurigai memiliki indikasi jaringan kanker. Oleh karena itu, nilai deteksinya lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya, dan prognosisnya pun lebih baik," kata Hery.
Selain itu, Hery melanjutkan, tindakan tersebut bersifat minimal invasif sehingga dapat mengurangi risiko komplikasi dan pendarahan pasca tindakan, serta minim risiko infeksi dengan proses pemulihan yang lebih singkat dan tanpa memerlukan rawat inap.
Teknologi robotik MRI/US fusion prostate biopsy akan dipandu oleh gambar dari pencitraan MRI. Potongan gambar dari hasil MRI yang dicurigai memiliki indikasi jaringan kanker akan dikontemplasi ke dalam sebuah robot platform untuk dipindai secara digital dan menggabungkannya dengan gambar USG real time. Selanjutnya, titik-titik biopsi akan ditentukan secara otomatis selama proses pengambilan sampel jaringan.
Sementara itu, kata Hery, MRI/US fusion-guided targeted biopsy berhasil meningkatkan angka deteksi kanker prostat yang signifikan sebesar 30 persen dari biopsi standar dan menurunkan diagnosis kasus insignifikan atau low-risk sebesar 89,4 persen.
"Dibandingkan dengan USG, MRI lebih baik dalam membedakan jaringan prostat abnormal dari jaringan normal," ujar dia.
Meski hanya diderita oleh pasien laki-laki, kanker prostat telah menjadi salah satu kanker dengan kasus terbanyak di dunia. Di Indonesia sendiri, pada 2018, sebanyak 7,1 persen dari total kasus kanker adalah kanker prostat, kata Hery mengutip data Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health Organization (WHO).
Adapun gejala-gejala kanker prostat, kata Hery, di antaranya terlalu sering buang air kecil, pancaran kencing lemah, disfungsi ereksi, hingga buang air kecil yang disertai darah.
"Angka kejadian memang paling banyak pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun. Sangat jarang ditemukan di bawah 50 tahun. Namun jika ada kondisi-kondisi tertentu, merasakan gejala tertentu, dan disertai adanya faktor risiko seperti riwayat keluarga, bisa (lakukan) deteksi di usia lebih muda," kata Hery.