Jayapura (ANTARA) - Kebudayaan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan memberi petunjuk tentang kemampuan beradaptasi suatu kelompok masyarakat yang dapat menjadi cerminan bagi kita dalam mengembangkan kehidupan bersama yang lebih baik. Kebudayaan menggambarkan tingkat peradaban manusia. Budaya berasal dari kata “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang artinya budi atau akal. Ia merupakan hasil pemikiran, tindakan dan karya manusia yang menjadi cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh komunitas yang kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Dalam pendapat ahli antropologi, Koentjaraningrat, budaya memiliki tujuh unsur universal yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian (Ekonomi), sistem religi (Kepercayaan) dan kesenian yang menjadi elemen dasar pada setiap kebudayaan di dunia. Dalam masyarakat Jayapura, salah satu bentuk unsur universal kebudayaan mereka adalah sempe atau tradisi gerabah untuk menyimpan makanan.
Sempe terdapat di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Tradisi gerabah, sempe terdapat pada Suku Pui, Suku Makanuai Satu dan Suku Makanuai Dua di Kampung Kayu Batu, Jayapura Utara, Kota Jayapura dan Suku Sentani, Kampung Abar, Kabupaten Jayapura. Sempe adalah produk gerabah dari tanah liat yang digunakan untuk menyimpan makanan terutama papeda atau salah satu peralatan hidup. Pembuatan sempe dilakukan dengan pemilihan bahan baku berupa tanah liat yang didiamkan di tempat terbuka selama satu minggu. Proses selanjutnya adalah mencampur tanah liat bersama air dan pasir kemudian dibentuk merupai bentuk yang diinginkan.
Bagian dasar gerabah dibentuk secara manual. Untuk bentuk selanjutnya, yaitu dinding dan badan, dalam proses pembentukan dibantu oleh tatap pelandas. Pembentukan mulut dan tepian menggunakan tangan. Setelah itu, sempe akan dibakar, diberi motif dan digosok permukaan luarnya dengan buah bakau. Pada Suku Pui diberi hiasan motif kadal dan buaya. Pada Suku Makanuai Satu bermotif moluska atau kerang dan gelombang laut. Suku Makanuai Dua bermotif atau bergambar ikan.
Pada Suku Sentani atau Kampung Abar, sempe dibuat dengan menyiapkan tanah liat, memisahkan batu dan kerikil dan mengurangi tingkat keasaman tanah, mencampur tanah liat dan sedikit pasir, membentuk jadi gerabah, mengeringkan dan membakarnya. Sempe dibentuk dengan alat, papan kayu berbentuk persegi sebagai alas untuk membuat wadah gerabah (yungmakhe), kayu yang menyerupai sendok nasi untuk meratakan ketebalan wadah gerabah dan menghaluskannya (yanggalu) dan batu bulat atau lonjong dipakai saat merapikan dan memadatkan badan wadah gerabah dari dalam (ruka kaliyme). Pembuatan sempe terkadang juga menggunakan mesin putar modern. Pada kampung Abar atau Suku Sentani, sempe bermotif Megalitik Tutari (garis geometris, figur manusia, dan simbol-simbol alam), Motif Yolu (kekuatan dan persaudaraan dalam keluarga) dan Motif Hambuwalewale (kekuatan dan kebersamaan masyarakat Abar).
Sempe tidak hanya dimanfaatkan sebagai peralatan hidup atau peralatan makan masyarakat tetapi juga sebagai bentuk mata pencarian atau ekonomi. Pada zaman prasejarah, sempe dari Suku Pui diperdagangkan ke beberapa daerah di pesisir utara Papua hingga Sarmi dan perbatasan Papua Nugini. Saat itu sempe dibarter dengan kapak batu dan manik-manik. Sementara pada Suku Sentani, sempe dibawa oleh nenek moyang keluarga Felle, diciptakan sebagai peralatan hidup, peralatan makan, kemudian berkembang hingga dijadikan sebagai bentuk mas kawin atau mahar kawin dan pengikat tali persaudaraan atau kekeluargaan. Kini, sempe karya kampung Abar menjadi semakin eksis dan mulai menjadi produk ekonomi masyarakat lokal terutama saat festival-festival lokal. Pelestarian tradisi gerabah sempe di Sentani diberdayakan dan diregenerasi juga melalui sanggar yang dikelola oleh Kelompok Pengrajin Tititan Hidup.
Sementara itu, hal ini berbanding terbalik dengan sempe karya suku Pui yang mulai terancam punah akibat semakin sedikitnya pengrajin sempe di Kampung Kayu Batu, Distrik Jayapura Utara. Melansir staf peneliti balai Arkeologi Jayapura, Hari Surtarto, pengrajin yang benar-benar terdata hanya tersisa satu orang, seorang mama pembuat gerabah dari Suku Pui meskipun memungkinkan adanya pengrajin-pengrajin lain yang belum terdata. Meski begitu ini tetap menjadi sebuah tanda ancaman hilangnya karya budaya salah satu suku yang mendiami Jayapura. Akibat dari globalisasi dan masuknya produk komersial seperti wadah plastik, membuat sempe menjadi terancam punah dan minimnya pemberdayaan atau regenerasi tradisi pembuatan sempe karya Kampung Kayu Batu oleh generasi muda. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan oleh masyarakat Kayu Batu, dinas terkait atau pemerintah serta konsumen gerabah untuk menjaga kelestariannya. Selain itu, perlu dilakukan juga penelitian dan pendokumentasian yang mendetail dan lengkap tentang tradisi pembuatan gerabah di Kayu Batu agar tradisi gerabah, sempe tidak hilang tergerus globalisasi.
Budaya sempe adalah budaya organik yang merupakan warisan nenek moyang Papua. Semua bahan dan proses pembuatan sempe alami, tidak tersentuh oleh bahan kimia sintetik. Terkadang unsur kimia sintetik memang diperlukan, namun efeknya bagi lingkungan dan kesehatan manusia menjadi taruhan dan masalah jika kita tidak bijaksana dalam menggunakannya. Hal ini sudah seharusnya menjadi nilai positif bagi kita untuk melestarikan, mengembangkan perabotan rumah tangga alami seperti sempe.
Dunia hari ini dibanjiri produk peralatan rumah tangga berbahan dasar plastik yang dapat mengakibatkan terkontaminasinya tubuh manusia oleh mikroplastik. Memang produk berbahan dasar plastik itu murah, praktis akan tetapi di balik semua itu ada harga yang kita harus tebus yaitu kerusakan lingkungan akibat penggunaan plastik dan kualitas kesehatan masyarakat terganggu. Oleh karena itu, mari kita jaga dan lestarikan, kembangkan sempe sebagai perabot rumah tangga lokal, warisan budaya nenek moyang yang ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat terutama di kota Jayapura.
*Benedicta Bintang Misi Kumanireng merupakan Juara I Lomba Menulis Tingkat SMA Se-Tanah Tabi pada Iven Corong Literasi Budaya 2025 yang diselenggarakan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII bersama Kintal Rum Fararur pada 18 Desember 2025 di Kota Jayapura.

