Jayapura (Antara Papua) - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Papua menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Papua 2016 yang dilakukan Gubernur Papua Lukas Enembe, sebesar Rp2.435.000, naik 11 persen dibanding UMP 2015 Rp2.193.000.

"Jadi pada prinsipnya 11 persen itu cukup bagi kami, tapi tidak sesuai dengan KHL(Kebutuhan Hidup Layak). Untuk itu maka kami melihat penetapan ini hanya sepihak, kami sebagai anggota pengupahan tidak dilibatkan untuk berbicaa dengan gubernur, itu yang kami sayangkan," ujar Ketua SPSI Papua Nurhaidah di Jayapura, Jumat.

Ia pun mempertanyakan cara pemghitungan yang dilakukan oleh dewan pengupahan dalam menetapkan UMP 2016, yang dianggapnya keliru dan dilakukan secara sepihak.

"Kalau mau pakai PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, kita mau tanya dulu formulasinya kaya apa, ini bukan UMP berjalan tetapi UMP berdasarkan KHL," ucapnya.

"Jadi diaturan itu, pasal 43, bunyinya itu UMP berdasarkan KHL. kemudian di pasal 44 bunyinya UMP berjalan, jadi sebenarnya kami sayangkan yang dilakukan oleh pemerintah disini untuk menetapkan kenaikan UMP 11 persen," sambung Nurhaidah.

SPSI pun meminta kepada Gubernur Papua untuk bisa meninjau kembali keputusan penetapan UMP 2016 yang ia nilai tidak berpihak kepada para pekerja.

"Yang jelas kami dari SPSI menolak dengan tegas kenaikan UMP sebesar 11 persen, masih ada waktu untuk kami mengajukan gubernur meninjau kembali karena kami merasa ini tidak adil bagi kami. Kalau seandainya gubernur punya hati nurani, mari kita bicara. ini nasib manusia yang kita tentukan dan perbaiki," kata dia.

Atas penolakkan tersebut, SPSI Papua akan segera menyurat kepada gubernur untuk melakukan peninjauan atas penetapan UMP 2016, dan bila tidak diindahkan, maka para pekerja mengancam akan melakukan demonstrasi.

"kami akan menyurat, apa bila didalam waktu tiga hari tidak ditanggapi, maka kami sepakat untuk pekerja diseluruh Provinsi papua untuk melakukan unjuk rasa," ujar Nurhaidah. (*)

Pewarta : Pewarta: Dhias Suwandi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024