Jayapura (Antara Papua) - Gubernur Papua Lukas Enembe diminta ingatkan para satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan instansi terkait agar tidak menggunakan mahkota yang terbuat dari burung Cenderawasih yang diawetkan tiap kali menggelar acara atau penyambutan tamu negara.

Permintaan ini disampaikan oleh Ketua Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) Fredy Wanda di Jayapura, yang mengaku prihatin dengan populasi burung Cenderawasih yang tiap kali diberitakan sering digunakan sebagai mahkota dalam acara resmi, padahal burung surga itu dilindungi oleh undang-undang.

"Kami berpendapat seperti itu, lihat saja kemarin dalam Festival Destika di Kalkote, Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura, lalu penjemputan bendera duplikat PON di Bandara Sentani, termasuk dalam perayaan HUT TNI di Kodam Cenderawasih tidak sedikit orang yang bangga dengan bangkai Cederawasih di atas kepala mereka," katanya.

Sebagai orang nomor satu di provinsi paling timur Indonesia, Gubernur Lukas Enembe mempunyai hak dan kewajiban untuk mengingatkan para bawahannya serta mengajak instansi vertikal maupun horisontal agar melestarikan burung Cenderawasih dari kepunahan dengan tidak menjadikannya mahkota yang diberikan kepada tamu atau dijadikan ikat kepala dalam suatu acara.

"Kami tahu bahwa Pak Gubernur Lukas pernah mengeluarkan pernyataan pada saat Konferensi Keanekaragaman Hayati dan Budaya Papua awal September lalu. Saat itu, Pak gubernur telah mengajak dan membuat kesepakatan bahwa burung Cenderawasih dan hewan endemik lainnya dilindungi, ini harusnya diindahkan oleh semua pihak," katanya.

Pada momentum itu, ungkap Fredy, para peserta dan masyarakat luas termasuk SKPD di lingkup gubernuran dan pemerintah kabupaten/kota diajak untuk menggunakan burung Cenderawasih yang imitasi atau serupa namun bukan bangkai burung Cenderawasih yang sudah diawetkan

Namun, belakangan ini tak sedikit yang masih menggunakan mahkota Cenderawasih asli terlebih tim tari yang gagal paham dengan ajakan atau imbauan Gubernur Lukas Enembe, bahkan tetap bangga dengan ketidakpahaman, selalu menampilkan burung Cenderawasih yang telah diawetkan dan dibuat menyerupai mahkota.

"FPPNG melihat bahwa untuk Papua sendiri baru Gubernur Lukas Enembe, Bupati Yapen Tony Tesar serta Kadis Kehutanan Jan Ormuseray serta Kepala Balai BKSDA Papua Noak Kapisa yang mengeluarkan pernyataan untuk menjaga burung Cenderawasih dan tidak lagi menggunakan mahkota yang asli," katanya.

Tapi, pernyataan tersebut ternyata belum bisa dijabarkan secara baik di lapangan. Kondisi ini jika dibiarkan maka akan memperparah keberadaan Cenderawasih itu sendiri.

FPPNG berpendapat bahwa sebenarnya ketika Gubernur Papua Lukas Enembe disambut oleh tim tari yang menggunakan mahkota Cenderawasih beberapa hari lalu di Bandara Sentani, maka saat itu juga seharusnya menunjukkan komitmennya untuk menjaga kelestarian burung surga ini dengan memberikan teguran langsung.

"Jika berbicara soal konservasi kami pikir teguran atau imbauan ini harus terus disampaikan, jangan tunggu hingga Cenderawasih punah dan menjadi bangkai diratusan kepala orang yang tidak paham baru membuat kita sadar," katanya.

Fredy yang baru saja pensiun dari Polisi Kehutanan Dinas Kehutanan Papua ini mengatakan bahwa ketika ijin pengelolaan hasil hutan tidak sebanyak sekarang, tiap hektare tanah masih bisa ditemukan 2-3 ekor Cenderawasih.

Tapi kini tiap 50-100 Ha belum tentu bisa melihat seekorpun sehingga sudah bisa menjelaskan bahwa ada ancaman yang nyata.

"Apalagi perburuan masih masive dan selalu kucing-kucingan dalam perdagangannya, ayo pak gubernur perlu memimpin memberikan pemahaman ini," kata Fredy Wanda.

Burung Cenderawasih seluruhnya memiliki 14 jenis dengan 43 spesies yang tersebar di Papua, PNG hingga Australia namun dari 43 spesies ini 28 di antaranya bisa ditemukan di Papua.

Cenderawasih sendiri menjadi hewan yang dilindungi sesuai dengan Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan masuk dalam status Citex Appendix 2 yang artinya bisa dipakai untuk penelitian dengan jumlah yang sangat terbatas dan burung tersebut adalah hasil perkembangbiakkan bukan yang diambil dari hutan secara liar.

Tak hanya itu pemanfaatannya juga harus mengantongi ijin dari BBKSDA sehingga tidak semuanya bisa dimanfaatkan meski untuk penelitian.

"Sekarang kami balik bertanya, itu mereka yang pakai bangkai di atas kepala mereka sudah berbuat apa untuk Cenderawasih? Sudah melakukan apa untuk konservasi? Kalau tidak ada ya sebaiknya jangan membuat kebodohan begitu," sindir Andre Liem, rekan Fredy Wanda.

Terakhir FPPNG juga menaruh khawatir agenda akbar PON XX bakal menjadi ajang perburuan dan pembantaian besar-besaran burung Cenderawasih apalagi banyak pejabat pusat yang hadir dalam festival di Papua kadang memotret dan mencoba memakai mahkota bangkai ini sesukanya.

"Bayangkan kalau ada puluhan pejabat pusat datang dan tak sengaja ikut memesan serta tim tari dari berbagai daerah ikut mengkampanyekan hal yang salah, tentu semakin terancam Cenderawasih di Papua," kata Andre. (*)

Pewarta : Pewarta: Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024