Tak pernah dibayangkan sebelumnya, kini HIV-AIDS menjadi momok yang menakutkan bagi warga Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun, ribuan orang di Mimika telah terinfeksi HIV. Sebagian diantaranya sudah meninggal dunia karena AIDS.

Epidemi HIV di Kabupaten Mimika merupakan salah satu yang paling cepat perkembangannya diantara kabupaten/kota di Provinsi Papua, bahkan di seluruh Indonesia.

Kasus HIV pertama kali ditemukan di Mimika pada sekitar tahun 1996. Dari beberapa sumber diperoleh informasi bahwa kasus HIV di Mimika mula-mula ditemukan pada empat orang Wanita Pekerja Seks (WPS) di lokalisasi Kilometer 10 Kampung Kadun Jaya, Distrik Mimika Timur.

Setelah itu, kasus HIV-AIDS di Mimika terus meningkat tanpa bisa dikendalikan.

Pada 1997 meningkat menjadi tujuh (tiga kasus baru ), 1998 sebanyak 13 kasus (enam kasus baru), 1999 sebanyak 35 kasus (22 kasus baru ), 2000 sebanyak 72 kasus (37 kasus baru), dan 2001 sebanyak 158 kasus (96 kasus baru ).

Selanjutnya pada 2002 jumlah kasus HIV-AIDS di Mimika sebanyak 268 kasus (111 kasus baru), 2003 sebanyak 486 kasus (217 kasus baru ), 2004 sebanyak 716 kasus (230 kasus baru ), 2005 sebanyak 1.024 kasus (308 kasus baru ), dan 2006 sebanyak 1.176 kasus (227 kasus baru).

Kemudian pada 2007 meningkat lagi menjadi 1.478 kasus (kasus baru 277), 2008 sebanyak 1.793 kasus, Juni 2009 sebanyak 1.993 kasus, 2010 sebanyak 2.400 kasus, 2011 sebanyak 2.823 kasus, 2012 sebanyak 3.190 kasus, 2013 sebanyak 3.599 kasus.

Adapun perkembangan kasus HIV-AIDS di Mimika dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu pada September 2014 tercatat sebanyak 4.072 kasus (kasus baru sebanyak 414 kasus sejak Januari-Desember), selanjutnya pada Desember 2015 sebanyak 4.583 kasus. Adapun temuan kasus baru HIV-AIDS pada 2016 hingga Oktober mencapai lebih dari 300 kasus.

Prevalensi HIV-AIDS menurun
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Mimika Raynold Ubra mengatakan dalam lima tahun terakhir prevalensi HIV-AIDS di Mimika kian menurun dari 35 persen pada sekitar 2005 menjadi 1,3-1,4 persen.

"Dibandingkan dengan periode 2005-2009, prevalensi HIV di Mimika sekarang sudah menurun drastis. Dulu sampai 35 persen dari total penduduk Mimika," jelasnya.

Penurunan tingkat prevalensi HIV-AIDS di Mimika itu, katanya, menunjukkan bahwa pemerintah daerah bersama stake holders terkait lainnya cukup serius bekerja untuk memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat dari ancaman infeksi HIV.

Upaya perlindungan atau proteksi kepada warga dari bahaya dan ancaman HIV-AIDS justru lebih ampuh terhadap warga dua suku asli di Mimika yaitu Suku Amungme dan Kamoro.

Temuan kasus baru HIV pada warga dua suku itu jauh lebih rendah dibanding dengan warga dari suku-suku migran baik yang bermigrasi dari kawasan pegunungan Papua dan Papua lainnya, termasuk warga migran dari luar Papua.

Sesuai data KPA Mimika, kualifikasi penularan HIV/AIDS di Mimika berdasarkan populasi suku didominasi oleh warga suku kekerabatan (lima suku yaitu Dani, Damal, Nduga, Moni, dan Mee), diikuti warga Papua lainnya dan warga non-Papua.

"Dari data yang ada, ternyata sebagian besar orang yang terinfeksi merupakan pendatang dari luar Mimika, sedangkan penduduk asli di Mimika sangat sedikit. Artinya warga asli Mimika cukup terlindungi dari ancaman penularan HIV/AIDS," jelas Raynold.

KPA Mimika bersama pihak-pihak terkait lainnya, katanya, terus berupaya menemukan kasus-kasus baru HIV melalui pemeriksaan darah dan VCT (Voluntary Consulting & Testing) agar orang yang terinfeksi dapat terproteksi, tidak terstigmatisasi serta diberikan pendampingan termasuk dalam hal mengonsumsi obat Anti Retroviral (ARV).

Tahun ini, KPA Mimika menargetkan dapat menjangkau hingga 40 ribu warga Mimika untuk melakukan pemeriksaan HIV. Hingga Oktober 2016, warga yang sudah melakukan pemeriksaan HIV sudah mencapai lebih dari 35 ribu.

Dari jumlah itu, yang positif terinfeksi HIV sekitar lebih dari 300 orang.

"Kami sangat yakin akan menutup kasus pada akhir tahun tidak lebih dari 400 kasus karena polanya hampir sama selama beberapa tahun terakhir," kata Raynold.

Ia mengatakan, dibutuhkan kerja bersama antarsemua komponen serta lintas sektoral untuk sebuah kerja besar dapat mengeliminasi kasus HIV-AIDS dari Tanah Kamoro-Bumi Amungsa.

"Keterlibatan semua sektor mutlak diperlukan mengingat masalah HIV/AIDS tidak cukup diatasi oleh jajaran kesehatan sendiri, tetapi membutuhkan dukungan dan peran aktif semua kalangan, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat sendiri," harapnya.

Jangan Terlena
Sementara itu pegiat masalah HIV-AIDS di Mimika Pastor Bert Hogendoorn OFM mengingatkan semua kalangan setempat agar tidak terlena dengan menurunnya trend penularan dan infeksi HIV-AIDS di Mimika.

Ketua Yayasan Peduli AIDS Timika (YPAT/Yapeda) itu mengatakan secara umum di seluruh dunia kini infeksi HIV-AIDS sedang mengalami trend penurunan.

"Epidemi apapun pada suatu saat akan mengalami titik jenuh. Artinya, mereka yang calon potensial untuk tertular HIV sudah terinfeksi. Kalaupun sekarang ada penurunan jumlah kasus, namun itu tidak berarti kita sudah berhasil. Risiko penularan masih tetap ada," ujarnya.

Misionaris asal Belanda yang sudah puluhan tahun berkarya di Papua itu mengapresiasi keterlibatan banyak pihak pada acara peringatan Hari AIDS Sedunia yang berlangsung di Mapurujaya, ibu kota Distrik Mimika Timur pada Kamis (1/12).

Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan tersebut termasuk para pelajar dari sekolah-sekolah, mahasiswa Politeknik Kesehatan Timika, komunitas Lokalisasi Kilometer 10, Pemkab Mimika, KPA, Puskesmas dan Rumah Sakit, Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) serta Departemen Publik & Community Healt PT Freeport Indonesia.

"Kegiatan ini mengingatkan kita semua bahwa epidemi HIV-AIDS tetap ada terus di Timika dan tetap ada korban. Keterlibatan semua pihak sangat penting sebagai bentuk ungkapan kepedulian dan kesadaran kita semua atas masalah yang besar ini," tutur Pastor Bert.

Menurut dia, kasus HIV-AIDS di Mimika masih sangat potensial bisa meningkat lagi jika tidak dilakukan upaya serius untuk memeranginya.

Alasannya, kata Pastor Bert, mobilitas warga di Timika dari berbagai tempat sangat tinggi.

"Persoalannya, di Timika sering masuk ke luar orang-orang yang kurang sadar soal seks bebas di luar nikah. Permulaan kasus ini di Timika karena soal seks bebas. Sekitar dua persen dari jumlah orang yang terinfeksi yaitu anak-anak muda, pelajar dan mahasiswa," jelasnya.

Fokus orang muda
Lembaga YPAT/Yapeda yang dipimpin Pastor Bert sejak 1999 sudah terlibat aktif dalam program penanggulangan masalah HIV-AIDS di Mimika.

Akhir-akhir ini, YPAT/Yapeda semakin fokus untuk melakukan pembinaan dan pendampingan kepada orang-orang muda mengingat kalangan orang muda termasuk kelompok berisiko tinggi terinfeksi.

"Anak-anak muda itu mau mencoba segala hal baru, termasuk dalam hal hubungan seks di luar nikah. Apalagi di Timika tidak semua orang muda berada di bawah pengawasan orang tua mereka. Ada yang tinggal dengan orang lain sehingga pengawasan kepada mereka sangat kurang," ujarnya.

Pastor Bert menilai kalangan muda di Mimika, terutama di Kota Timika sangat rentan melakukan aktivitas seks bebas.

"Kesan saya mereka (orang muda) tidak hanya semakin gampang bicara soal hubungan seks, tetapi juga dalam praktek mereka sepertinya menganggap biasa hal yang sebetulnya sangat sakral itu. Buktinya, ada anak-anak yang masih SD dan SMP sudah hamil. Ini sangat berisiko tertular HIV," katanya lagi.

Selama beberapa tahun terakhir, YPAT/Yapeda telah merekrut ratusan orang muda bergabung dalam wadah Pemuda Indonesia Lawan AIDS (PILA) sebagai relawan dan kader penyuluh sebaya untuk melakukan sosialisasi kepada rekan-rekan mereka di sekolah-sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

YPAT/Yapeda sudah 13 kali merekrut relawan PILA dengan jumlah setiap angkatan 60-100-an pemuda (termasuk pelajar dan mahasiswa).

Tidak itu saja, YPAT/Yapeda juga terlibat dalam kegiatan pendampingan kepada Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA). Para ODHA tersebut ada yang ditampung Panti Asuhan dekat Rumah Sakita Mitra Masyarakat (RSMM) Timika dan sebagian lagi ditampung di Kantor YPAT/Yapeda di kawasan Sempan, Kelurahan Inauga Timika.

"Ada yang kami tangani langsung, ada juga yang tinggal di Panti Asuhan. Masalah yang kami hadapi yaitu anggaran yang terbatas sehingga mengalami kesulitan dalam perawatan ODHA. Kami juga kesulitan dalam kegiatan-kegiatan upaya preventif melatih penyuluh sebaya. Semua kegiatan yang kami jalankan kami berupaya mencari orang atau sponsor yang bersedia untuk membantu," tutur Pastor Bert.

Ia berharap ke depan perlu ada dukungan nyata dari pemerintah daerah dan pihak-pihak lain terutama dalam hal anggaran untuk bersama-sama melakukan kerja besar mengeliminasi kasus HIV-AIDS dari Tanah Amungsa dan Bumi Kamoro. (*)

Pewarta : Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024